Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Saat Pandemi Kembali Mengganas

21 Juni 2021   21:35 Diperbarui: 21 Juni 2021   22:21 284 3
Kembali mengganas. Begitulah situasi terkait pandemi virus Corona di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, belakangan ini.

Disebut demikian, karena pertambahan angka kasus penderita COVID-19 belakangan sudah mencapai lima digit dalam sehari. Jumlah ini belum termasuk orang tanpa gejala, atau mereka yang tidak tercatat.

Pertanyaannya, apa saja yang sudah dilakukan selama ini?

Tentu saja, ini jadi langkah mundur karena di tahun kedua sejak pandemi mulai merebak, kasus hariannya malah mencetak rekor pertambahan.

Celakanya, untuk saat ini tak ada pembatasan aktivitas sangat ketat, seperti pada bulan-bulan awal masa pandemi di Indonesia.

Jadi, ada sedikit kekhawatiran kalau ini masih jauh dari selesai. Semua masih tampak berjalan seperti biasa. Tak ada pengetatan yang benar-benar serius.

Kalau begini terus, bukan kejutan kalau rekor masih akan tercipta. Ini jelas bukan sebuah prestasi, tapi tragedi.

Protokol kesehatan? Ini hanya sebentuk formalitas. Sebuah mantra sakti yang jadi lampu hijau pelaksanaan berbagai kegiatan, karena pada kenyataannya lebih banyak dilanggar daripada ditaati.

Alih-alih membuat keadaan terkendali, "protokol kesehatan" rasa formalitas ini justru membuat semua jadi kacau. Kebebalan tumbuh subur, menghasilkan kecerobohan kolektif, khususnya pada mereka yang meremehkan keadaan.

Memang, vaksinasi mulai dilakukan, tapi masih banyak yang belum dijangkau. Jadi, ini belum sepenuhnya bisa diandalkan untuk menghasilkan kekebalan kolektif.

Jujur saja, situasi belakangan ini memang sangat membingungkan. Kasus naik, tapi pariwisata dan mobilitas sosial (baik domestik maupun internasional) belum benar-benar ditertibkan.

Begitu juga dengan acara-acara  seperti pernikahan atau syukuran. Semua berlangsung begitu saja. Banyak orang berjubel tanpa masker dan jaga jarak.
Tak ada larangan yang benar-benar tegas, sepanjang "sesuai protokol kesehatan".

Semua itu menjadi cermin paling gamblang, dari ketertiban yang tidak membudaya, dan lemahnya antisipasi sejak awal. Andai semua tertib dan mampu diantisipasi dengan baik, situasi tak akan berlarut-larut.
 
Pada masa awal pandemi di Indonesia, penertiban dan pengetatan baru benar-benar dilakukan, setelah ada kasus penderita virus Corona yang terkonfirmasi di Indonesia.

Padahal, seharusnya ini dilakukan sejak sebelum ada kasus lokal, sebagai bentuk pencegahan. Alhasil, saat kasus virus Corona mulai ada, banyak sektor lumpuh total, kepanikan dimana-mana, seiring kasus positif yang jumlah totalnya terus bertambah.

Saat situasi mulai sedikit membaik, semua mulai berjalan lagi, dengan sejumlah penyesuaian. Masalahnya, ini justru membuat banyak orang lengah, dan membuat situasi justru kembali memburuk.

Akibatnya, kita terjebak dalam situasi berlarut-larut, dengan masalah relatif sama, begitu-begitu saja. Semua terlihat seperti jalan di tempat, sebelum akhirnya mulai melangkah mundur belakangan ini.

Semua ini kadang membuat miris, karena yang sejak awal sudah berusaha menahan diri, serasa jadi pesakitan. Tetap diam disalahkan, bicara apalagi.

Kalau sudah begini, rasanya sangat menyakitkan. Semua sama-sama mati langkah, dan masih dicekam kekhawatiran akan pandemi.

Pandemi yang entah kapan ujungnya ini, beserta segala imbasnya, memang mendatangkan banyak cerita, termasuk soal naik-turun angka kasus yang hadir. Ada juga beragam luka dan trauma yang hadir karenanya.

Berangkat dari situ, "pulih" dan melupakan semua hal buruk tentang pandemi memang jadi harapan. Tapi, itu semua tetap butuh waktu, dan durasinya tergantung pada masing-masing individu.

Untuk saat ini, kita hanya perlu tetap waras, supaya pada saatnya nanti, kita bisa pulih dengan baik, karena punya waktu untuk memulihkan diri, sesuai dengan yang kita butuhkan. Keadaan memang sedang kacau, tapi bukan berarti kita boleh ikut kacau.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun