Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Menyikapi Protokol New Normal

26 Mei 2020   23:59 Diperbarui: 27 Mei 2020   00:02 136 0
Setelah sebelumnya sempat menjadi tanda tanya, pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

Keputusan ini berisi protokol normal baru atau "new normal", di masa pandemi Corona, khususnya di bidang perkantoran dan industri. Berhubung pandemi Corona belum sepenuhnya reda, maka akan lebih afdol, jika istilah "new normal" ini, kita sebut sebagai "fase adaptasi", terhadap pandemi Corona.

Sebagai seorang pekerja kantoran, sebetulnya saya cukup lega, karena akhirnya pemerintah turun tangan, dengan membuat sebuah regulasi kongkrit. Harapannya, regulasi ini bisa terus konsisten, sehingga tidak menghasilkan kebingungan baru di masyarakat.

Tapi, setelah melihat lagi situasi yang ada, khususnya yang sedang saya alami, kelegaan ini bercampur dengan rasa khawatir. Maklum, saya mendapat pemotongan gaji di kisaran hampir 70 persen akibat imbas pandemi COVID-19, selama dua bulan terakhir.

Sebelumnya, pada masa awal pandemi Corona di Indonesia, saya harus rela mendapat separuh gaji, masih tidak minus, karena berhemat sedemikan rupa. THR? Ah, sudahlah!

Alhasil, saya berada dalam kondisi "besar pasak daripada tiang", khususnya dalam dua bulan terakhir. Situasi ini, pastinya juga dialami jutaan tenaga kerja di seluruh Indonesia, termasuk di Jakarta, kota tempat saya tinggal dan bekerja saat ini.

Pada titik ekstrem, ada juga yang harus rela tak dibayar sepeserpun, bahkan kehilangan pekerjaan. Apa boleh buat, pandemi Corona kali ini, sukses membuat perekonomian nasional agak limbung, dengan meningkatnya angka PHK akibat perlambatan ekonomi.

Secara pribadi, kekhawatiran saya akan protokol ini adalah, jika seseorang dengan kondisi pendapatan jauh dari jumlah "normal" diajak beraktivitas secara "normal", dengan biaya "normal", berapa lama ia akan bertahan?

Kekhawatiran ini muncul di pikiran saya, karena hidup dalam kondisi "tidak normal" saja saldo sudah minus, apalagi mencoba kembali ke mode "normal". Lagipula, kita semua belum tahu pasti, berapa lama masa transisi, sampai akhirnya semua kembali normal seperti biasa. Apalagi, pertambahan kasus pandemi Corona juga masih belum reda, atau minimal bisa dikontrol.

Alhasil, saya lalu mencoba membahas tentang kemungkinan "work from home", setidaknya sampai besaran gaji kembali normal, ke atasan saya di kantor. Ternyata, atasan saya pun punya kekhawatiran yang sama.

Bukan bermaksud malas keluar rumah, tapi keadaan di lapangan memang masih belum memungkinkan, dan segala kemungkinan tetap perlu diantisipasi. Optimisnya ini hanya sebentar, meski kemungkinan lain masih terbuka, mengingat segala kerusakan yang sudah ada.

Berhubung durasi waktu "pulih"-nya masih belum jelas, penting untuk memastikan, ada waktu cukup panjang, untuk bisa tetap bertahan. Apalagi, biaya hidup di Jakarta relatif tinggi.

Jadi, selama situasi belum memungkinkan, penyesuaian tetap perlu dilakukan. Jangan sampai "new normal" menciptakan masalah baru, akibat pengeluaran kembali "normal", saat pemasukan masih jauh dari normal. Bisa dibilang, aturan ini sangat ideal, hanya untuk mereka yang gajinya aman dari imbas pandemi Corona.

Andai sudah normal pun, kita tetap harus berhemat, untuk memperbaiki "defisit" selama masa pandemi Corona, sambil berjaga-jaga, andai ketidakpastian kembali datang. Karena, meski biasa datang tanpa ada seorangpun yang mengundang, ketidakpastian sejatinya adalah tamu rutin kehidupan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun