Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Mari Dukung Petisi Melanie Tedja...

12 Juli 2014   19:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:32 1455 15
MARI mendukung Melanie Tedja. Aktivis ini menggagas petisi untuk Revisi Undang-undang MD3. Melalui change.org, Jumat (11/7/2014), ia memposting protes atas keluarnya UU yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (8/7/2014) itu. Judulnya Mempetisi Judicial Review Terhadap Revisi UU MD3.

Itu reaksi keras sang aktivis atas hasil revisi UU Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Intinya, petisi berisi dukungan uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Petisi ditujukan untuk Humas dan Sekretariat MK. http://www.change.org/id/petisi/tolak-revisi-ruu-md3-ajukan-judicial-review-ke-mahkamah-konstitusi

Melanie Tedja menuliskan, hasil revisi UU MD3 telah memberikan kekuasaan sangat besar kepada anggota DPR. "Adanya kekuasaan yang sangat tinggi untuk satu koalisi di legislatif. Koalisi permanen yang diusung 6 fraksi memiliki 63 persen dari total 560 kursi," tulis Melany dalam petisinya seperti dikutip dari Detikcom.

Langkah mundur

Sesungguhnya keluarnya UU MD3 hasil revisi itu, telah menuai banyak protes keras. Antara lain terkait pasal yang mengistimewakan para wakil rakyat dari panggilan penegak hukum. Dalam pasal 245 ayat 1 UU MD3 disebutkan: "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan."

Tidak heran kalau UU baru ini dinilai sebagai langkah mundur. "Ini sebuah kemunduran. Sebab jika hanya pemanggilan dan permintaan keterangan, penegak hukum tidak perlu izin kemana-mana," kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hifdzil Alim, Sabtu (12/7/2014).

Hifdzil Alim mengatakan, belajar dari putusan MK atas uji materi UU Pemda, pemanggilan dan permintaan keterangan kepala daerah atas kasus pidana tak perlu izin ke presiden. "Sekarang, kenapa DPR harus minta izin ke majelis kehormatan? Benar-benar mundur."

Dengan pasal ini saja, kita patut mempertanyakan komitmen para politisi dari koalisi Merah Putih pendukung Capres Prabowo Subianto-Cawapres Hatta Rajasa atas pemberantasan korupsi. Bisa saja semangat antikorupsi mereka diragukan.

Asal tahu saja, revisi itu disetujui fraksi partai-partai pendukung Prabowo-Hatta: Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar dan Demokrat. Para pendukung Capres Joko Widodo-Cawapres Jusuf Kalla (PDIP, PKB, Hanura) menentang dan memilih walk out. Mereka ramai-ramai meninggalkan ruang sidang paripurna dan tidak ikut dalam pengambilan keputusan tersebut.

Dengan semangat menggugat komitmen antikorupsi kubu Prabowo-Hatta itu, Hifdzil Alim mempertanyakan apa sebetulnya kemauan DPR di balik revisi UU MD3? Karena dengan produk hukum baru ini, penegak hukum dibuat repot dengan prosedur lebih panjang untuk memanggil anggota DPR. "Kalau mempermudah, kenapa harus dibuat birokrasi projusticia yang panjang. Kenapa tidak dipangkas saja."

Sikap KPK

Khusus untuk KPK, Hifdzil Alim meyakini lembaga antikorupsi tersebut tidak terpengaruh terhadap UU MD3 ini. Pasalnya, lembaga yang dipimpin Abraham Samad itu memiliki UU 30 Tahun 2002 yang lebih spesifik. "KPK kan lex specialis. Jalan terus."

Ketua KPK Abraham Samad dan wakilnya Busyro Muqoddas memastikan, UU MD3 itu tidak berpengaruh terhadap prosedur pemanggilan seorang anggota DPR yang terkena kasus di KPK. UU KPK adalah lex specialis.

"UU KPK dan UU Tindak Pidana Korupsi, tetap lex specialis, sehingga pemeriksaan anggota DPR tidak memerlukan izin," kata Abraham Samad, Jumat (11/7/2014).

Lex specialis berarti lebih khusus. Dengan begitu, ketentuan dalam UU terkait, harus lebih diprioritaskan. Dalam UU 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan lembaga antikorupsi itu memiliki kewenangan memanggil pejabat eksekutif maupun legislatif, tanpa memerlukan izin dari pihak manapun. Tidak Mahkamah Kehormatan Dewan, calon pengganti Dewan Kehormatan DPR, sesuai UU MD3 baru itu.

Abraham dan Busyro menyebutkan, proses pemberantasan tindak pidana korupsi, jenis tindak pidana khusus, tidak boleh dihalang-halangi oleh suatu produk hukum.

Kalau MD3 memuat aturan tentang itu, berarti DPR dan pemerintah tidak punya keinginan memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Padahal, kata Abraham Samad, korupsi di negeri ini sudah sangat masif sehingga diperlukan tindakan progresif, bukan justru membuat aturan yang melemahkan pemberantasan korupsi.

Abraham Samad benar. Saat ini saja, tindak pidana korupsi begitu masif, apatah lagi jika UU MD3, yang disahkan dalam rapat paripurna DPR dipimpin Wakil Ketua Priyo Budi Santoso dari Golkar itu, diberlakukan.

Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, UU MD3 itu untuk menjaga marwah DPR. Wibawa lembaga para wakil rakyat itu harus dijaga, sehingga tidak boleh dipanggil-panggil begitu saja tanpa bukti jelas dan kuat. Kecuali kata politisi Partai Demokrat itu, dalam kasus tertangkap tangan.

Pertanyaannya, kenapa hanya wibawa DPR yang perlu dijaga? Bukankah lembaga tinggi negara bukan hanya DPR?

Jadi, sebelum UU MD3 itu diberlakukan kita mendukung upaya judicial review ke MK oleh pihak manapun, kelak. Sebagai dukungan moral mari kita dukung petisi Melanie Tedja. Tentu dengan harapan ada yang segera membawa masalah itu ke MK, seraya berharap MK membatalkannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun