Di era digital yang serba cepat ini, arus informasi dan budaya asing masuk tanpa batas. Generasi muda sering kali terhanyut oleh tren global, namun kadang melupakan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Di sinilah Pendidikan Pancasila hadir, bukan hanya sebagai mata kuliah formal yang wajib ditempuh mahasiswa, melainkan sebagai fondasi penting dalam membentuk pribadi berkarakter, berjiwa kebangsaan, dan berdaya saing.Â
Materi yang saya baca menegaskan bahwa Pendidikan Pancasila adalah usaha sadar dan terencana untuk mendorong mahasiswa mengembangkan potensi dirinya. Proses pembelajaran yang digunakan berbasis student centered learning, artinya mahasiswa dituntut aktif menggali pengetahuan, membangun sikap, dan melatih keterampilan. Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila dijadikan guiding principle agar mahasiswa tidak hanya menjadi lulusan pintar secara akademik, tetapi juga menjadi warga negara yang baik (good citizenship).Â
Urgensi Pendidikan Pancasila semakin terasa jika dikaitkan dengan peran mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa. Mahasiswa bukan hanya dipersiapkan untuk dunia kerja, tetapi juga untuk memegang estafet kepemimpinan di masa depan. Tanpa bekal nilai-nilai Pancasila, para pemimpin muda ini bisa rentan terpengaruh oleh paham-paham asing yang justru merongrong kebangsaan. Karena itu, Pendidikan Pancasila berfungsi sebagai benteng sekaligus kompas moral, agar mahasiswa tetap memiliki identitas dan komitmen kebangsaan yang kokoh.Â
Namun, menurut saya, tantangan terbesar dari Pendidikan Pancasila bukanlah pada materinya, melainkan pada praktiknya. Di kelas, mahasiswa bisa saja memahami teori tentang persatuan, keadilan, atau gotong royong. Tetapi apakah nilai-nilai itu benar-benar tercermin dalam perilaku sehari-hari? Misalnya, apakah mahasiswa mau bergotong royong dalam kegiatan kampus, menghargai perbedaan pendapat, atau bersikap adil dalam organisasi? Tanpa implementasi nyata, Pancasila hanya berhenti sebagai hafalan, bukan sebagai pedoman hidup.