Nenek itu anak tunggal, tetapi beliau memiliki 10 anak. Ibuku anak nomor 9. Dari 10 anak ini, muncullah puluhan cucu dan cicit. Kalau lebaran tiba, semua anak, cucu, dan cicit datang dan berkumpul di rumah nenek. Kebetulan rumah nenek terletak di samping rumah orang tuaku. Jadi semaraknya benar-benar terasa. Sebab, gara-gara rumah nenek itu kecil, rumahku yang jauh lebih besar jadi kelimpahan anak-cucu tadi itu.
Kalau kami sedang berkumpul, semua orang berceloteh. Celoteh anak ke cucu. Cucu ke cucu. Cucu ke cicit. Beberapa cucu laki-laki yang kaya membawa petasan dari kota, lalu membagi-bagikannya ke cucu yang lain di kampung. Dar ... dar ... suara petasan saling bersahutan.
Sementara cucu yang ada di kampung biasanya sudah menyiapkan semacam meriam dari bambu. Kami menyebutnya, lodong. Suaranya sangat menggelegar karena menggunakan karbit atau minyak tanah sebagai bahan bakarnya.
Usai shalat ied, acara silaturahmi digelar. Berbagai jenis makanan yang telah disiapkan diserbu. Mulai dari kacang goreng, goreng ketan, sampai ketupat. Masakan juga bermacam-macam jenisnya, mulai dari mi goreng, opor ayam, sambel kentang goreng, semur daging dan ikan goreng.
Sehari atau dua hari sebelum hari lebaran, kami saling kirim masakan. Masakan kiriman lalu dicampur-campur, dijadikan satu di katel yang besar. Oh enaknya, dan kami namakan itu "bebeye". Kalau bebeye dicolek pakai ketupat atau pakai ketan goreng yang masih panas, wah lezat sekali. Itulah makanan favorit keluarga besar kami.
Setelah itu, kami bersama-sama ke kompleks makam keluarga, yang juga berada tidak jauh dari rumah nenek, untuk berdoa di makam kakek, yang telah lama meninggal. Saya sendiri belum pernah bertemu kakek karena beliau sudah meninggal sewaktu saya masih kecil. Saya hanya bisa mengenal wajah kakek dari satu-dua foto hitam-putih yang sudah buram. Doa dipimpin oleh ustadz dan diikuti oleh puluhan anak-cucu tadi itu.
Nah, nenekku meninggal 15-an tahun lalu. Dan, sejak saat itulah suasana kesemarakan mulai terasa berkurang. Tambah berkurang lagi setelah ibuku juga meninggal beberapa tahun kemudian. Anak tertua nenek, seorang perempuan, kemudian kami jadikan semacam pengganti nenek. Ia menjadi yang dituakan dan karena itu seluruh keluarga lalu merasa wajib datang ke rumahnya kalau lebaran. Beliau meninggal lima tahun lalu.
Yang dituakan sekarang adalah anak kedua nenek, juga seorang perempuan. Kembali orang-orang seakan wajib mendatangi rumahnya kalau lebaran. Namun pada lebaran kali ini, rumah itu seperti "tidak wajib" lagi didatangi karena sang anak kedua tersebut meninggal beberapa bulan lalu. Pada lebaran kali ini, yang saya rasakan betul, adalah tidak ada lagi orang dituakan. Sehingga, tidak tampak ada "pusat" kesemarakan lebaran.
Di keluarga intiku sendiri, yang dituakan adalah ayah, yang sudah berusia 78 tahun. Baru sebulan berhenti merokok dan kemarin tampak kesehatanya sangat baik. Alhamdulillah. Meski demikian, ayahku tidak dituakan, antara lain mungkin karena bukan keturunan langsung dari nenekku. Saudara-saudaraku dari garis ayah berada di kota lain.
Apa yang terjadi sekarang? Berlebaran seperti hanya menjadi urusan keluarga masing-masing. Bersilaturahmi dilakukan hanya dengan sekedar datang ke rumah, basa-basi, lalu berlalu, pamit, dengan alasan masih banyak saudara yang belum disalami.
Di makam pun demikian. Orang berkerumun di banyak makam yang tersebar. Mereka adalah keluarga inti masing-masing yang ditinggalkan. Masing-masing keluarga berdoa untuk orang yang ada dalam kuburan di hadapan mereka, yakni orang tua masing-masing atau keluarga inti yang telah meninggal lebih dulu. Tidak ada lagi doa bersama oleh sanak saudara yang dipimpin oleh pak ustadz. Bahkan makam kakek, seperti tidak menjadi penting lagi. Demikian juga makam nenek, menjadi yang nomor dua didatangi setelah makam orang tua.
Makanan di rumahku juga tidak banyak lagi. Ketupat cukup hanya untuk keluarga inti, dan cukup untuk persediaan dua hari saja. Sebab, masing-masing keluarga sudah punya ketupat. Tidak ada lagi celoteh kangen-kangenan antarkeluarga. Keluarga yang jauh juga tidak datang ke kampung karena mereka di sana juga sudah punya anak-cucu, bahkan cicit. Sudah ada keluarga besar sendiri.
Karena itu pula, semarak lebaran hanya berlangsung pagi hari saja. Usai shalat ied, kita salam-salaman di mesjid, lalu bubar. Siang harinya, pas makan siang, sudah tidak ada lagi kegiatan mencolok yang menandai sebuah ritual lebaran. Padahal ini di kampungku sendiri. Usai sudah.
Hari lebaran yang dulu ditunggu-tunggu karena kesemarakannya, kini hambar sudah. Tidak ada lagi celoteh antarkeluarga besar, tidak ada lagi petasan yang saling bersahutan. Lodong sudah lama pula hilang karena bambu sudah susah dicari. Lebaran ini berlangsung begitu singkat.
Maka pada lebaran ini, untuk pertama kalinya saya tidak mengajukan cuti. Kebetulan dua hari lebaran, plus hari Minggu, menjadikan kita bisa libur tiga hari. Cukup. Pulang kampung sehari menjelang lebaran, dan kembali ke Jakarta pada hari Minggu. Hari Senin ini sudah bekerja lagi, termasuk mengetik "curhat" ini di Kompasiana.
Meski demikian, kita pasti akan tetap menantikan lebaran tahun depan, bukan? Bukan karena ingin berlebarannya sih, tetapi tentu saja karena kita ingin kembali bersua dengan bulan ramadhan, yang penuh berkah itu.
Semoga kita bisa bersua kembali dengan bulan ramadhan agar kita kembali mendapat berkah. Amiiin.