Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Langit di ujung rantau

28 Juni 2025   16:44 Diperbarui: 28 Juni 2025   15:49 56 1
Angin malam di pelabuhan itu menggigit kulit. Kapal perlahan menjauh dari dermaga, meninggalkan jejak riak di laut yang gelap. Dafa berdiri di dek, menatap lampu-lampu kota yang makin lama makin kecil. Ia tak membawa banyak, hanya ransel berisi baju, sepatu lusuh, dan harapan yang ia pelihara sejak kecil: keluar dari desa kecilnya dan mencari hidup yang lebih layak di kota besar.

Di kampungnya, Dafa hanyalah anak petani dengan tanah yang tak lagi subur. Ibunya menjahit baju seadanya, bapaknya kini terlalu renta untuk mencangkul. Sementara teman-temannya memilih tinggal dan pasrah pada nasib, Dafa memilih merantau, meski tak tahu pasti apa yang menantinya di seberang.

Di Jakarta, segalanya serba cepat. Orang-orang berjalan dengan langkah terburu, tak ada yang saling menoleh, apalagi bertanya siapa namamu dan dari mana asalmu. Dafa menginap di musala kecil di pinggiran pasar, hidup dari pekerjaan serabutan: kadang angkut barang, kadang jadi tukang parkir.

Namun satu hari, ia bertemu Pak Aji, pemilik toko alat tulis yang sering didatanginya untuk sekadar menumpang duduk. Pak Aji melihat keuletan Dafa dan memberinya pekerjaan tetap: membantu mengurus toko dan mencatat barang. Dari situlah hidup Dafa perlahan berubah.

Setiap malam sebelum tidur, Dafa menulis surat untuk ibunya --- meski ia tahu tak akan langsung dibalas. Dalam surat-surat itu, ia menceritakan hal-hal kecil: bagaimana ia belajar menggunakan komputer, betapa kagetnya ia saat pertama kali naik eskalator, dan bagaimana langit di kota besar tak seindah di desanya.

Setahun kemudian, saat langit Jakarta penuh kembang api menyambut tahun baru, Dafa berdiri di depan kios kecil miliknya sendiri --- hasil dari tabungan, kerja keras, dan kepercayaan Pak Aji. Ia menggantung foto keluarganya di dinding kios: ibunya tersenyum malu, bapaknya duduk bersandar dengan topi caping.

Rantau memang bukan tempat yang ramah bagi semua orang. Tapi bagi Dafa, rantau mengajarkannya bertahan, bangkit, dan bermimpi. Di ujung langit kota yang asing, ia menemukan rumah kedua --- bukan dalam bentuk bangunan, melainkan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri.

Malam itu, sebelum menutup kios, Dafa menulis satu kalimat di buku catatannya:
"Aku datang dengan tangan kosong, tapi pulang nanti akan kupastikan ada kebanggaan yang bisa kubawa."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun