Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Merindukan Anak-Anak Amungme

15 Oktober 2020   12:06 Diperbarui: 15 Oktober 2020   22:09 351 6
Y Mikarni Eny Nandasari
Merindukan Anak-Anak Amungme


Irianto Jawame, anak bertinggi badan 136 centimeter dengan berat sekitar 40 kilogram tertidur “di bawah” kaki anak-anak lain di kamar asramanya. Anak-anak lain tidur membujur seturut dipan. Irianto tidur melintang menempel telapak-telapak kaki teman-temannya.

Itu adalah cara Irianto menjaga teman-temannya agar bisa segera tidur atau setidaknya tidak beranjak turun dari tempat tidur. Tubuhnya yang besar dan berotot sering membuat orang salah duga. Ia dikira anak SMP padahal baru kelas tiga SD. Bila Irianto sudah yakin teman-temannya itu sudah terlelap, barulah ia pindah ke tempat tidurnya sendiri.“Saya membuka pintu dan masuk kamar itu. Saya melihat apa yang dibuat Ryan, begitu saya biasa memanggilnya, tersenyum sendiri. Anak semuda itu sudah memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat,” kata Y. Mikarni Eny Nandasari.

Ibu asrama
Mikarni Eny adalah ibu asrama kamar dua tempat Ryan menjadi ketuanya. Ada 11 anak di kamar itu. Ryan memimpin mereka dengan penuh wibawa.
Malam memang telah beranjak sepi pada pukul 21.00 WIT ketika itu. Derik-derik suara alam di sekitar Asrama Nemangkawi, Kampung Beanekogom di lembah Tsinga pedalaman Kabupaten Mimika, Papua seperti telah meminta 80 anak asrama, 27 anak perempuan dan 53 anak laki-laki, berhenti bicara. Tenang dan hening. Paling banter bisik-bisik yang hanya didengar telinga persis di sebelahnya.

Eny sengaja mengontrol anak-anak asuhnya. Perempuan kelahiran Pontianak, 23 Desember 1991 tersebut ingin tahu bagaimana cara anak-anak asuhnya dapat cepat tidur. Suatu hal yang berbeda dengan anak-anak di kamar asrama yang lain.

Sa jaga mereka Ibu Guru. Nanti sa pindah ke atas. Kalo dong su tidur,” kata Ryan ketika Eny menanyakan mengapa dirinya tidur di bawah kaki teman-temannya.

Eny mengagumi tanggung jawab besar dalam diri Ryan. Kadang-kadang Ryan meletakkan badannya di antara dua anak yang sibuk saling cerita demi menghentikan ocehan mereka sementara malam sudah larut.  

Ryan akan menguji apakah temannya sudah tidur dengan memanggil-manggil namanya. Mengajaknya bercakap dalam bahasa Amungkal, bahasa daerah setempat. Bila tiada lagi kata terucap, barulah ia tenang untuk kembali ke dipan tempat ia tidur.


Mengenali anak asuh
Anak semuda itu rela mengorbankan tidur cepatnya demi ketenangan bersama. Begitulah Eny mencatat dengan baik dalam hatinya.
Sebagai walikamar atau pembina, pengasuh kamar, Eny berusaha mengenali anak asuhnya satu per satu. Ia mengamati tingkah laku mereka. Ia mendengarkan cerita-cerita yang meluncur dari bibir anak-anak lugu pedalaman Papua tersebut.

Dari cerita-cerita yang diungkapkan Ryan misalnya, Eny jadi tahu, ia adalah anak laki-laki pertama dari enam bersaudara. Seorang kakak perempuan yang ia miliki tidak membuatnya manja. Keluarganya tinggal di sub-kampung Doli.

Ayahnya bekerja di yayasan dan mendidik Ryan menjadi lelaki Papua sejati. Ryan sering diajak ayahnya berdua saja untuk berburu kus-kus. Pada lain waktu, Ryan memimpin adik-adiknya untuk berburu kus-kus.

Ryan akan angkat kayu bakar untuk ibunya. Kadang ia juga memasak membantu ibunya.

Pembina kesehatan
Semangat yang terpancar dari anak-anak Suku Amungme yang berjiwa putih bersih itu benar-benar membuat Eny jatuh cinta.
Eny masuk lembah Tsinga di pedalaman Kabupaten Mimika pada tahun 2016. Ketika itu ia datang sebagai tenaga pembina kesehatan melalui Yayasan Generasi Amungme Bangkit (GAB).

Eny mengajarkan bagaimana hidup bersih dan sehat. Dalam perkembangan selanjutnya, tahun 2017 ia juga mengambil kesempatan menjadi pembina kamar. Mendampingi secara lebih intensif 11 anak di asrama, kamar dua.

Bersama anak-anak itu, Eny bukan hanya mengajar, tetapi juga belajar banyak hal.

Menjadi mama bagi anak Amungme
Suatu kali Eny mendapati kelas asuhannya ribut. Mereka semestinya tidur siang. Akan tetapi, sementara anak-anak di ruang lain sudah tenang, anak-anak asuhannya ramai. Ia mendatangi mereka dan meminta mereka berdiri.

Selepas memberitahu kesalahan mereka, hukuman dijatuhkan. Eny memukul tangan mereka satu per satu dengan besi batangan.

“Kalau ibu guru pukul kalian, bukan tangan kalian saja yang sakit, tapi ibu guru punya hati juga sakit,” kata Eny di depan anak-anak Amungme tersebut.

Itu adalah ungkapan spontan. Ia sempat heran, bagaimana ungkapan itu bisa tiba-tiba terkatakan.
Hukuman yang ia jatuhkan ternyata membuat dirinya tidak bisa tidur. Ada rasa bersalah yang mengganggu. Akhirnya Eny memutuskan bahwa besoknya harus meminta maaf pada anak-anak belia tersebut. Dan itulah yang kemudian dia lakukan.

“Katakan pada ibu, kalian anggap seperti siapa ibu guru ini?” tanya Eny pagi itu kepada anak-anak.

“Seperti saya punya mama,” kata sejumlah anak.

“Kalau demikian, peluklah ibu,” ucap Eny.

Dalam sekejap ruangan tersebut dipenuhi keharuan. Anak-anak minta maaf atas kesalahan mereka kemarin. Sementara Eny juga meminta maaf karena menghukum terlalu keras.

“Saat itu saya bertanya dalam hati, inikah rasanya menjadi seorang ibu?” ungkap Eny yang ketika itu masih lajang.

Itulah momen di mana Eny lantas sungguh-sungguh jatuh cinta dengan anak-anak Suku Amungme yang ia asuh.

Hari-hari berikutnya dilalui Eny dengan larut dalam kehidupan anak-anak Amungme tersebut. Bermain bersama, bercanda bareng, meladeni permintaan mereka memainkan satu peran, atau menggigit biskuit bergantian dengan satu anak.

Eny mencurahkan kasih sayang sebagai seorang mama pada anak-anak.

Selain bertanggung jawab atas kamar nomor dua, tugas Eny adalah mendampingi anak-anak belajar sore. Ia mendampingi belajar anak-anak kelas dua berlanjut ketika mereka naik kelas tiga.

Dua tahun Eny membantu mereka memahami pelajaran yang anak-anak dapat di sekolah.

Mengajarkan hidup bersih dan sehat
Sementara itu tugas utama Eny tetap menjadi pembina kesehatan anak-anak. Perhatian utama Eny adalah memperkenalkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Kepada anak-anak Amungme dikenalkan bagaimana cara mandi pakai sabun secara rutin, keramas, cuci tangan, gosok gigi, mencuci pakaian, membuang sampah dengan membedakan sampah kering dan sampah basah, dan sebagainya.

“Di lembah Tsinga kan dingin. Awalnya, bagi anak-anak, mandi itu bukan sesuatu yang wajib mereka jalani,” ungkap Eny.
Tidak mudah menanamkan PHBS pada anak-anak.

Pada awal program Eny hampir putus asa. Setiap kali anak-anak kembali ke asrama dari liburan di rumah, Eny melihat gigi mereka kembali kuning, tubuh dan rambut kotor, lantas akan muncul dan menyebar penyakit kulit.

Perilaku hidup bersih dan sehat di asrama ternyata tidak dilanjutkan ketika mereka berada di tengah-tengah keluarga.

“Mengapa setiap kali seperti harus memulai dari nol,” keluh Eny.

Alumna Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Harapan Bangsa Purwokerto, program profesi ners ini lantas memutar otak. Ia mengupayakan berbagai cara menanamkan PHBS.

Setiap hari Kamis ia mendapat kesempatan bertatap muka dengan para siswa di sekolah. Seringkali Eny membuat tatap muka tersebut dalam bentuk seminar kecil. Misalnya soal bagaimana gosok gigi.

Dalam seminar, bukan dirinya yang bicara, akan tetapi anak-anak kelas 4 yang bicara di depan adik-adik mereka. Sebelumnya Eny memberi materi dan melatih anak-anak kelas 4 tersebut.

Adik-adik kelas akan melatihkan ke adik-adik kelas berikutnya. Demikian seterusnya.

“Dengan cara ini mereka saya latih percaya diri. Selain itu juga belajar dari mengulang. Anak-anak paling cepat belajar dengan mengulang,” tandas Eny.

Kadang kegiatan tersebut dibuat dalam bentuk kemah. Anak-anak diminta ke kampung, mengambil sampah dan mengenali mana sampah basah dan sampah kering.

Sesekali Eny menggunakan metode mewarnai gambar. Anak-anak mewarnai gambar sesuai tema PHBS.


Rambut gundul

Eny mencukur gundul anak laki-laki sekembali ke asrama selepas liburan. Sementara rambut anak-anak perempuan dipotong pendek. Hal ini dilakukan untuk mencegah terbawanya kutu rambut ke asrama dan menjaga kebersihan rambut mereka.

Pada setiap kamar Eny menyediakan baby oil dan minyak kayu putih atau minyak telon.

Baby oil dioleskan pada bagian-bagian tubuh yang cenderung kering. Iklim lembah Tsinga yang dingin membuat kulit cenderung kering.

Sementara itu minyak kayu putih atau minyak telon anak-anak pakai untuk menghangatkan perut selepas mandi.

“Kalau mereka mengeluh pusing, saya minta mereka mengoleskan minyak itu di tengkuk atau dahi. Mereka juga bisa hirup dengan hidung aroma minyak itu untuk mengurangi rasa pusing,” papar Eny.

Eny mendorong anak-anak menggunakan dua minyak tersebut mengingat ada kecenderungan mereka minta obat ketika mengeluh pusing.

Menjenguk orang tua keluarga Amungme

Akan hal penyakit kulit, Eny harus bekerja lebih keras. Selepas liburan ada saja anak yang “membawa pulang” penyakit kulit. Semacam scabies. Penyakit tersebut lantas menjalar ke teman-teman lain.

Eny harus membantu mengobati mereka. Biasanya beberapa bulan lantas sembuh atau menghilang.

Eny memahami, permasalahan perilaku hidup bersih dan sehat harus pula dilakukan di keluarga anak-anak. Pada sisi lain ia berharap anak-anak membawa pulang kebiasaan hidup bersih sehat itu ke rumah. Ada yang berhasil. Akan tetapi ada juga yang belum berhasil.

Eny lantas memutuskan untuk sekali waktu ikut ke rumah saat anak-anak berlibur. Selain dapat berkenalan dengan keluarga, Eny akan menjenguk kamar mandi. Ia ingin memastikan memastikan apakah sabun mandi, sikat gigi, pasta gigi ada di situ atau tidak.

“Permasalahannya memang barang-barang tersebut tidak mudah didapatkan. Sabun dan pasta gigi yang banyak ada di kota Timika,” kata Eny.

Studi tertunda gara-gara Covid-19

Bulan Mei 2019 Eny mengundurkan diri. Niatnya studi lanjut ia sampaikan baik-baik ke pihak yayasan.

Yayasan Generasi Amungme Bangkit (GAB) tempat Eny bergabung adalah lembaga sosial yang digagas dan didirikan oleh Manuel John Magal, asli suku Amungme. Yayasan dapat memahami alasan Eny.

Mereka juga tetap membuka diri seandainya selepas studi lanjut Eny hendak kembali ke Tsinga, mendampingi anak-anak Amungme.

Eny pulang Pontianak dan lantas ke Jakarta untuk mempersiapkan segalanya. Kampus yang menjadi tujuan Eny adalah Catholic University of Applied Sciences of North Rhine-Westphalia di Koln, Jerman.

Sembari mempersiapkan berbagai urusan administrasi, Eny kursus bahasa Jerman yang membutuhkan waktu sekitar enam bulan.

Belum juga tuntas satu tahun Eny kursus, bulan Maret 2020 pandemi Covid-19 merusak segalanya. Eny terdampar di Jakarta ketika pandemi mengamuk.

Tidak mau berdiam diri atas kondisi yang ada, Eny lantas bergabung dalam tim relawan pengukur suhu MRT. Ia bahkan kemudian mendaftarkan diri dalam tim perawat Wisma Atlit untuk korban Covid-19 mulai 30 Maret.

Eny sempat mengajukan perpanjangan kontrak tugas hingga berakhir pada 19 Juni.

Bertahan dalam balutan APD
Dalam bertugas Eny mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap. Selama 10 jam dalam balutan APD lambung dan kandung kemih harus kuat, kacamata google akan berembun, masker berlapis, bekasnya menjadi luka di wajah.

“Sangat menguras tenaga. Rekorku, aku belum pernah pakai pampers dewasa selama memakai APD. Rahasiasnya adalah, satu jam sebelum tugas tidak makan dan minum,” ungkap Eny.

Bagian berat berikutnya adalah saat melepaskan APD. Proses dekontaminasi ini harus betul-betul sesuai prosedur.
Berada di Jakarta, di tengah zona merah, bahkan persis berhadapan dengan pasien Covid-19 di Wisma Atlit dihayati Eny sebagai “rezeki”.
Sesungguhnya, ketika berada di Mimika, Papua, Eny juga berada di zona merah.

Bulan Desember 2018 ia dan teman-teman harus dievakuasi pasca insiden Nduga, Wamena. Keadaan dirasa gawat selepas terjadi penembakan yang menewaskan 15 pekerja pembuatan jalan Trans Papua.

Kepulangan Eny dan teman-teman ke lembah Tsinga sempat tertunda menunggu keadaan sungguh-sungguh aman.

Menikah di Gombong
Covid-19 pada akhirnya juga memundurkan rencana pernikahan Eny dengan kekasihnya Hugo Gian, asal Gombong, Jawa Tengah. Eny dan Hugo bertemu di tengah-tengah anak-anak Amungme. Hugo adalah pamong atau pengasuh di asrama anak-anak Amungme.

Rencananya mereka berdua menikah pada Juni 2020.

Pernikahan tersebut akhirnya baru berlangsung pada 8 Agustus 2020 di Gereja St. Mikael Gombong.

Pernikahan, Covid-19, negara-negara yang menutup pintu bagi orang dari Indonesia membuat Eny mengubah rencana studi. Ia memutuskan akan melanjutkan studi di Indonesia. Dan lebih dari itu, setahun lewat selepas pulang dari Papua ternyata bayang-bayang anak-anak Amungme seperti terus membuntutinya.

“Ketika saya di Wisma Atlit ternyata saya juga bertemu pasien anak Amungme,” ungkap Eny.

Hugo, suaminya sudah kembali ke Mimika. Sebagai istri, ia tentu pada akhirnya akan menyusul ke Mimika. Akan tetapi hari-hari ini Eny masih mengambil jeda.

Perjalanan ke Mimika bukan perjalanan yang singkat. Bila ia bertolak dari Pontianak, maka akan ke Jakarta sekitar satu jam dengan pesawat.
Dari Jakarta ke Timika paling cepat enam jam atau bahkan lebih lama karena harus transit di Makasar atau Denpasar. Eny akan lanjut naik helikopter dari Timika ke Kampung Beanekogom di Lembah Tsinga sekitar 30 menit.

Akan tetapi bila moda pesawat yang ada adalah pesawat kecil Susi Air, ia akan turun di bandara Mulu, Tsinga. Sesudah itu jalan kaki ke Kampung Beanekogom sekitar empat jam.

Rindu anak Amungme
Eny masih menyimpan kerinduan bertemu anak-anak Amungme. Ia rindu mendengar kembali  celotehan mereka. Termasuk cerita-cerita rakyat yang sempat mereka ungkapkan yang belum lengkap Eny tangkap maksudnya.

“Anak-anak itu tidak takut hantu. Mereka bilang, hantu bisa mereka tangkap karena lucu. Tetapi mereka takut dengan ‘tuan tanah’,” kata Eny.

“Konon ‘tuan tanah’ itu tinggi besar dan berwarna gelap. Ia bisa berubah-ubah wujud dan menghilangkan orang. ‘Tuan tanah’ itu semacam makhluk penunggu kampung,” tambah Eny lewat WhatsApp.

“Saya belum bisa membayangkan seperti apa wujud ‘tuan tanah’ itu,”  kata Eny mengakhiri perbincangan.

Sutriyono Robert

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun