Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Pengalaman Daftar JKN BPJS: "System Corrupt" sampai "Dokel Pemutihan"

14 Maret 2014   14:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 2209 9
Selasa (18/2/2014), sore, saya mendaftar peserta Jaminan Kesehatan Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (JKN BPJS) jalur mandiri (bukan penerima upah) secara daring (online) di www.bpjs-kesehatan.go.id. Penasaran saja; bagaimana sih pelaksanaan program sosial raksasa kreasi pemerintahan SBY ini?

Saya klik kanal 'Layanan Peserta' di situs di atas. Kemudian saya klik lagi subkanal 'Pendaftaran Peserta', lantas mulai saya isi formulir JKN BPJS mandiri di situ: ada kolom 'Identitas' dan 'Alamat'. Semua yang wajib diisi saya isi. Selesai. Gampang sekali. Saya telah terdaftar dan memiliki nomor registrasi pendaftaran serta virtual account. Terakhir, saya klik tombol 'Simpan'.

Setelah itu, saya klik tombol 'Registrasi Keluarga'. Maksudnya, setelah daftarkan diri sendiri, giliran saya daftarkan anggota keluarga (istri dan anak-anak), dengan menggunakan nomor registrasi online saya tadi. Istri didaftarkan, berhasil. Anak pertama didaftarkan, berhasil. Nah, giliran anak ke-2 dan ke-3, enggak berhasil. Wah, "system corrupt" nih kupikir.

Disebut berhasil, manakala pendaftaran itu diterima oleh sistem, dan kemudian kita menerima surel pemberitahuan aktivasi berikut nomor rekening virtual bank-bank (Mandiri, BNI dan BRI) ke mana pembayaran disetor. Saya tak menerima surel demikian untuk pendaftaran anak ke-2 dan ke-3. Padahal, katanya, pendaftaran anak sampai tiga orang.

Tips mendaftar secara daring sederhana saja: siapkan terlebih dahulu alamat email aktif (untuk pengiriman aktivasi), KTP, NPWP (nomornya disalin), dan kartu keluarga (nomor dan identitas di sana diperlukan).

Sebagai warga dengan ekonomi biasa saja (bukan orang kaya raya seperti Pakde Kartono), dari sebuah kota kecil pula, saya memilih iuran yang paling kecil, yakni per bulan per anggota keluarga Rp 25.500 (manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III). Sekalian strategi juga. Sebab, katanya sih, jika sakit beneran maka kelas perawatan bisa pindah dengan kekurangan biaya ditanggung sendiri.

Sebenarnya, selama ini saya paling malas masuk asuransi model begini. Bagi saya, tidak masuk akal menggantungkan sesuatu hal yang belum pasti (resiko sakit), sedangkan iurannya wajib (pasti) harus dibayar dan iuran itu hilang (hangus) jika tak terjadi resiko (sakit). Mending duitnya ditabung sendiri saja, dikelola sendiri, dengan otonomi luas mau diapakan saja, tanpa ribet birokrasi.

Namun, prinsip demikian belum tentu cocok dengan istri dan anak-anak. Karena itu, istri dan anak-anak tetap juga masuk asuransi. Dan, sekarang, ditambah lagi JKN BPJS.

Senin (10/3/2014), atau tiga minggu setelah mendaftar daring tadi, dan setelah menyetor iuran ke rekening virtual, saya antar istri jemput kartu ke BPJS Kesehatan (eks ASKES) di Jalan Khatib Sulaiman, Padang, dengan membawa kelengkapan: (i) KTP asli dan fotocopy, (ii) copy kartu keluarga, (iii) copy akta kelahiran anak, (iv) print out formulir isian pendaftaran daring, (v) pas foto berwarna ukuran 3 × 4 cm masing-masing satu buah; dan (vi) bukti transfer iuran ke virtual account.

Sampai di BPJS Padang hari masih pagi, sekitar pukul 09.00 Wib, tapi antrian sudah mengular.

Ternyata, untuk peserta yang sudah mendaftar secara daring, nyaris tak perlu antri. Di sinilah terbukti, bahwa belum banyak warga yang memanfaatkan layanan pendaftaran secara daring. Umumnya pendaftar secara luring (offline) di kantor BPJS Kesehatan.

Istri langsung menuju ke meja bertuliskan 'Pembuatan Kartu'. Di sana diperlihatkan daftar lalu diminta pilih puskesmas atau nama "dokel" (dokter keluarga) tempat pelayanan kesehatan paling dekat rumah. Kartu BPJS Kesehatan dicetak dan diserahkan. Selesai. Hanya butuh waktu sekitar lima menit saja buat cetak kartu BPJS Kesehatan. Sedikit kekurangan di meja ini petugasnya kurang ramah (lebih ramah tukang parkir di depan).

Terkait dokel tersebut ada catatan tersendiri. Awalnya, saya menduga belum ada dokel demikian, karena dari informasi yang saya baca, dokel tersebut membutuhkan pendidikan khusus spesialis bergelar Sp.FM (spesialist family medicine), yang kabarnya baru UI yang akan membuka jurusan tersebut di Indonesia dan itupun tahun depan.

Ternyata, yang disebut "dokel" oleh BPJS Kesehatan tak lebih dokter umum dan dokter gigi yang membuka klinik layanan kesehatan swasta. Saya menyebutnya manasuka sebagai "dokel pemutihan". Dokel ini sebagai pemeriksa (penyaring) awal keluhan pasien dan jika diperlukan akan dirujuk ke rumah sakit tertentu rujukan BPJS.

Kupikir-pikir, hebat juga ya sistem layanan kesehatan Indonesia masa kini dan masa mendatang, terlepas masih ada kekurangan di sana-sini, namun masih taraf wajar berhubung program baru.

Sistem dokter keluarga dikembangkan serius dan terlembaga, mirip di negara-negara maju. Yang paling penting tentu saja sistem JKN BPJS itu sendiri. Hemat saya, program JKN BPJS merupakan "master piece" 10 tahun pemerintahan SBY.

Saran kepada (a) warga masyarakat: bila memungkinkan lebih baik pilih daftar secara daring, karena lebih simpel dan menghindari antrian yang panjang, dimana pergi ke BPJS Kesehatan hanya untuk jemput kartu saja; dan (b) BPJS Kesehatan: kiranya dapat memperbaiki layanaannya baik online maupun offline demi kepuasan konsumen dan penghargaan kepada Pak SBY di sisa masa jabatannya (Ruhut mode on, hehehe).

(Sutomo Paguci)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun