Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Membongkar Romantisme Kepemimpinan Hamba

11 April 2025   14:54 Diperbarui: 15 April 2025   02:52 186 0
Sejak Robert Greenleaf memperkenalkan konsep "servant leadership" pada awal 1970-an, dunia manajemen dan gereja seperti menemukan mantra baru. Kisah Leo, tokoh pelayan dalam novel "Journey to the East" karya Hermann Hesse, diubah Greenleaf menjadi kerangka kepemimpinan: pemimpin sejati adalah mereka yang terlebih dahulu menjadi pelayan. Narasi ini terdengar menyegarkan, bahkan revolusioner. Namun, dalam iklim sosial pascakolonial yang sarat ketimpangan kuasa, romantisme ini layak ditinjau ulang.

Gereja, yang kerap mengambil inspirasi dari teladan Yesus yang membasuh kaki murid-Nya, segera mengadopsi istilah "kepemimpinan hamba" tanpa banyak kritik. Retorika ini menyebar dari seminar kepemimpinan gerejawi hingga strategi rekrutmen organisasi Kristen. Tapi apakah benar teladan Yesus hanya soal menjadi pelayan yang rendah hati? Ataukah kita tengah terjebak pada narasi yang mengilapkan kekuasaan, bukannya membongkarnya?

Di banyak ruang pelayanan, istilah "hamba" justru menjadi tameng ideologis bagi mereka yang tetap memegang kendali. Mereka melayani, secara simbolik, namun tetap mengatur, mengarahkan, dan menentukan arah struktur. Relasi kuasa tetap tak berubah; hanya bungkusnya yang kini terdengar lebih spiritual. Seolah-olah, dengan melabeli diri "pelayan", para pemimpin terbebas dari pertanyaan soal privilese dan dominasi.

Kritik ini bukan tanpa dasar. Mitch McCrimmon, dalam esainya yang tajam, menyebut "servant leadership" sebagai ide yang buruk, terutama karena tidak pernah benar-benar menjawab persoalan siapa yang memegang kuasa, dan bagaimana kuasa itu bekerja. Teolog seperti Kristina Lizardy-Hajbi mengungkap bagaimana narasi ini bisa menjadi perpanjangan kolonialisme dalam gereja: pemimpin kulit putih menyuruh jemaat kulit berwarna "melayani" demi semangat kekristenan, tanpa membongkar sejarah eksploitasi yang melingkupinya.

Di sinilah diakonia perlu diangkat kembali, bukan sebagai sinonim dari pelayanan, tetapi sebagai koreksi teologis dan praksis terhadap konsep kepemimpinan hamba. Kata "diakonia", yang berasal dari bahasa Yunani "diakonos", memang sering diterjemahkan sebagai "melayani." Namun dalam tradisi gereja mula-mula, istilah ini bukan sekadar tindakan karitatif, melainkan bentuk solidaritas radikal kepada mereka yang terpinggirkan.

Diakonia bukan panggilan untuk tunduk dalam struktur yang tidak adil, melainkan komitmen untuk membongkar struktur tersebut. Diakonia menempatkan pemimpin sebagai mitra, bukan majikan yang menyamar sebagai pelayan. Ia tidak menghilangkan kuasa, tetapi mengarahkannya pada pemulihan. Dalam model ini, pemimpin tidak mengglorifikasi pengorbanan pribadi sebagai puncak spiritualitas, tetapi mempraktikkan keadilan yang transformatif.

Gagasan ini menjadi sangat penting ketika mendengar suara seperti Jacquelyn Grant, teolog perempuan kulit hitam, yang menolak keras glorifikasi atas bahasa kehambaan dalam kekristenan. Bagi Grant, menyuruh perempuan kulit hitam untuk "menjadi hamba" demi meneladani Yesus bukanlah ajakan spiritual, melainkan reproduksi trauma yang diturunkan dari sistem perbudakan. Gereja perlu lebih peka: tidak semua retorika Alkitab dapat diterjemahkan secara harfiah tanpa memperhatikan konteks sosial dan sejarah kekerasan yang menyertainya.

Alih-alih berkutat dalam romantisasi kehambaan, gereja perlu membangun model kepemimpinan yang berpijak pada misi Allah yang membebaskan. Model ini dapat dirumuskan dalam lima peran diakonal: pemimpin sebagai bijak bestari yang memelihara hikmat, sebagai utusan yang menyuarakan suara Allah, sebagai sahabat seperjalanan yang hadir dalam luka komunitas, sebagai pengelola yang merawat sumber daya dengan adil, dan sebagai penyembuh yang menyentuh luka dunia tanpa syarat.

Lima peran ini melampaui wacana pengorbanan personal yang kerap digaungkan dalam "servant leadership". Ia menawarkan kerangka baru yang tidak anti-kuasa, tetapi sadar kuasa. Tidak anti-pemimpin, tetapi menolak pemimpin yang menindas atas nama pelayanan.

Ironisnya, banyak gereja hari ini masih sibuk menempelkan label "pelayan" pada semua posisi strategis, sembari lupa bahwa Yesus bukan hanya membasuh kaki, tetapi juga membalik meja-meja penindas di Bait Allah. Kepemimpinan Yesus adalah tindakan kenabian, ia tidak hanya melayani, tetapi juga melawan.

Kini saatnya gereja tidak hanya mengutip Yesus, tetapi juga hidup dalam semangat-Nya: berdiri di sisi yang tertindas, menolak kekuasaan yang menyamar sebagai kerendahan hati, dan membangun praktik kepemimpinan yang benar-benar membebaskan. Diakonia memberi arah: dari simbol menuju aksi, dari retorika menuju perubahan struktural. Dan di sanalah gereja menemukan Kembali wajahnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun