Merupakan sebuah pelajaran hidup yang cukup berharga bisa menjadi bagian ureueng Aceh yang terlahir di perkampungan. Karena banyak kreatifitas yang sifatnya turun temurun didapatkan dari sana. Dan berikut merupakan nukilan catatan yang saya rekam ulang berdasar pengamatan saya dalam beberapa observasi selama di Aceh, disamping pengalaman yang langsung melibatkan saya sendiri sebagai pengguna: [caption id="attachment_126514" align="alignleft" width="300" caption="Situek atawa peuleupeuk, yang juga acap digunakan untuk mainan anak-anak (kagakribet.com)"][/caption]
Situek Situek adalah sebutan untuk pelepah pinang yang diambil dan dipotong sehingga berbentuk piring dan memang dipergunakan sebagai wadah untuk makan. Di Aceh, khususnya di perkampungan--tidak hanya di pedalaman--, masyarakat sering menanam pohon pinang, menurut cerita pada awalnya penanaman pohon pinang itu terpengaruh oleh kegemaran orang-orang tua di Aceh yang gemar makan sirih, dan pinang menjadi bahan tambahan yang dimakan berbarengan dengan sirih. Situek ini menjadi piring yang sangat praktis, selain ringan juga dengan mudah bisa didapatkan. Pun juga bisa tahan lama, tentunya juga tidak mengenal istilah pecah. Ringan untuk dipegang dan sangat berpengaruh pada kenikmatan makanan yang dilahap dengan mempergunakan situek ini. Kebetulan saya sendiri pernah beberapa kali sempat menikmati makan nasi bersama penduduk desa dengan mempergunakan situek ini. Situek ini juga bisa juga diambil dari
peleupeuk ue (pelepah kelapa).
Bateei Bateei, tentunya untuk sekarang tidak pernah lagi dipergunakan oleh masyarakat Aceh, khususnya di [caption id="attachment_126517" align="alignright" width="186" caption="Tempurung yang sudah diolah sehingga berbentuk bagus dan menarik. Yang dipergunakan untuk minum biasanya yang berukuran lebih kecil (Gbr: bp.blogspot.com)"][/caption] perkotaannya. Tetapi untuk di perkampungan, bateei masih acap menjadi alat untuk mereka pergunakan buat minum. Iya, bateei merupakan wadah minum yang dibuat dari tempurung kelapa, biasanya yang berbentuk kecil dan seukuran genggaman saja. Saya juga pernah mencoba minum dengan mempergunakan bateei ini. Apakah ini natural saja sifatnya, biasa-biasa saja tetapi memang saat meminum air dengan mempergunakan bateei ini, air yang diminum terasa lebih nikmat saat ditelan. Untuk pembuatan bateei ini masyarakat perkampungan di Aceh tentu tidak harus menyengaja untuk membuatnya. Karena mereka sering bisa dengan mudah mendapatkannya beriringan dengan
gulee kuah leumak (baca: gulai bersantan) yang membutuhkan santan kelapa sebagai bahan dasarnya. Selesai
ue teukruet (kelapa diparut), tempurung kelapa akan diolah dengan membersihkan bulu-bulu sisa serabut dengan mempergunakan
sikin (pisau). [caption id="attachment_126520" align="alignleft" width="195" caption="Nyan keuh nyoe kamoe Aceh (malaysiana.pnm.my)"][/caption]
Batee Pipeh Batee Pipeh merupakan alat untuk menggiling cabe yang terbuat dari batu. Bentuknya memang ada pipih (maka disebut batee pipeh), juga ada yang berbentuk sisi dalamnya cekung (meski cekung tetap disebut batee pipeh). Yang pertama harus mempergunakan batu berbentuk panjang, sedang yang selanjutnya itu harus dengan batu yang sesuai dengan kecekungan batee pipeh ini, biasanya cukup batu sungai berbentuk agak bulat dan sedikit bergerigi untuk lebih mempercepat penggilingan cabe. Dan saya sendiri juga pernah mempergunakan batee pipeh untuk menggiling cabe. Lagi pula, dari sejak memilih tinggal berjauhan dari orang tua untuk pendidikan, saya tidak diberikan blender untuk acara masak-memasak sendiri, tetapi cuma batee pipeh. Juga menggiling cabe dengan batee pipeh ini punya kelebihan tersendiri, keringat keluar deras karena memang mempergunakan kedua tangan yang bergerak kuat dan akan menekan agar cabe bisa tergiling halus. Saat bersama dengan rekan-rekan kostan dulu, mereka kerap mengatakan,"gulee nyang ta taguen sajan nyan keubiet mangat that, mungken karena na meutamah ngoen nyuem reuoh nyeung ilee dari geutiek Teungku Joel bunoe." (Terj: gulai yang baru kita masak tadi benar-benar enak. Mungkin karena ada tambahan rasa dari keringat yang keluar dari (maaf) ketiak Teungku Joel tadi.) Iya, tentu yang terakhir ini sekedar ledekan saja.
Sareng singkee Nah apa lagi ini? Yap, kebutuhan tambahan untuk memasak saat tidak memiliki saringan sewaktu [caption id="attachment_126524" align="alignright" width="172" caption="Nah, yang dipakai untuk menyaring santan cukup tangan kanan saja (Gbr: sukasenam.com)"][/caption] meremas kelapa untuk diambil santan. Sekarang mungkin dimana-mana bisa dengan mudah bisa didapat santan yang siap pakai, tidak perlu harus berlelah-lelah
puliek ue (mengupas kelapa),
kruet ue (mengukur kelapa) dan
ramah (meremas kelapa untuk mengambil santan). Tetapi, orang Aceh, khususnya pengalaman saya sendiri saat harus memasak gulai yang membutuhkan santan, ketika itu memang harus mempergunakan cara ureung tuha gampoeng (orang tua kampung), sekedar untuk bisa mendapatkan santan. Yap, saat terdesak tidak memiliki saringan sedang santan dibutuhkan untuk memasak gulai, tangan menjadi alat untuk memisahkan santan dengan ampas kelapa yang sudah diremas. Caranya, sambil duduk berjongkok meremas kelapa yang sudah diparut ini, lengkap dengan
capah yang sudah terisi air. Ketika dirasa sudah cukup diperas santan yang ada dalam parutan kelapa, tinggal mengangkat tangan yang dipergunakan untuk meremas tadi (wajib tangan kanan), siku diarahkan ke wadah untuk menampung santan. Bagaimana dengan keringat di tangan yang pasti tercampur? Nah, di sini menjadi cerita tersendiri. Sama sekali tidak boleh mengizinkan rasa jijik muncul, atau tidak bisa mengecap
gulee kuah leumak tadi. Dari sini saya mencoba menafsirkan penyebab tak teraba logika (sepertinya) kenapa orang Aceh bisa memiliki rasa kebersamaan yang sangat tinggi, dan kepedulian pada sesama yang tak kalah tinggi.
Capah Ini alat dapur yang juga disebutkan di atas. Terbuat dari bahan kayu yang sudah diolah sedemikian rupa, memiliki bentuk mirip batee pipeh yang cekung di dalam. Dengan besar yang juga tidak jauh dari batee pipeh, sekitar ukuran 2 jengkal lebar, dan panjang 3 jengkal, dan tinggi berkisar seukuran mata kaki (maklum, model mengukur orangtua). Wadah ini, selain dipergunakan untuk ramah ue, juga untuk menggiling cabe kerap dipergunakan. Tetapi untuk tujuan terakhir itu hanya pada saat tertentu ketika misal sedang tidak memiliki batee pipeh. Demikian beberapa bentuk alat dari gampoeng di Aceh yang bisa saya tuangkan dalam tulisan sederhana ini. Semoga saja menjadi bahan inspirasi untuk kita yang sedang menjalani hidup di dunia yang sudah serba instant.
KEMBALI KE ARTIKEL