Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kue Ulang Tahun untuk Saya

27 Agustus 2020   15:46 Diperbarui: 27 Agustus 2020   15:56 689 3
"Happy birthday, Ibu!". Anak-anak berebutan mencium tangan saya, seorang anak menyodorkan kue ulang tahun berbentuk lingkaran, disiram coklat leleh dengan whipped cream warna-warni lengkap dengan buah cherry kalengan manis bersandar di salah satu gundukan cream.

 "Eh, lo patungan kurang ceban yak". Seru seorang siswa kepada temannya. Sama sekali tidak berbisik. Volume normal sekitar 100 hertz frekuensinya, cukup untuk kategori audiosonik, dan daun telinga saya merespon. "What ???" kue yang sedianya hendak saya potong pun gagal, membuat saya harus menatap dengan wajah kencang kepada siswa yang bicara tadi.

 Saya benar-benar terganggu. Belum juga mendapat kejelasan, siswa yang berdiri paling dekat dengan saya berbisik "Bu, ibu tau enggak tadi aku naek sepeda beli kue itu di Menceng, mana bannya bocor lagi, saya dorong sepedanya,si Putri yang pegang kuenya".

Astaga...tiba-tiba nafsu saya memperlakukan kue ulang tahun lazimnya memotong lalu menyantap bersama menguap seketika, entah hilang kemana? Saya duduk di kursi, entah harus bicara apa. Anak-anak melongo. "Ibu gak suka kuenya, ya?"tanya seorang anak, suaranya pelan sekali. "Kenapa harus beli kue segala sih?"Tanya saya."Kan , ibu ulang tahun, biar seru, Bu". Keseruan apa yang mereka inginkan?


Sejak kecil, saya tidak pernah meritualkan ulang tahun sebagai hal yang spesial. Tapi almarhum ibu selalu susah payah membuatkan kami nasi kuning atau apalah untuk kami makan bersama, ketika putra-putrinya ulang tahun. Saya ingat betul, pagi-pagi beliau harus ke pasar dan memasak semuanya sendirian. Padahal saya tidak pernah meminta, kenapa ibu terlalu sibuk untuk itu? Begitu kira-kira fikiran saya saat itu.

 Sepeninggal ibu, tiba-tiba saya rindu suasana itu, ibu yang repot di dapur sejak pagi di hari ulang tahun saya. Seolah-olah hari itu khusus buat saya.

Tidak ada kado atau kue ulang tahun yang mahal-mahal. Suapan sesendok nasi tumpeng. Doa ibu yang beruntun tiada henti, masih hangat menyelinap di hati.

Saya merasa di cintai ibu sepanjang hayat. Bahkan ketika kami harus berpisah raga.

Sekarang apa salahnya si Entong ditagih patungan, padahal bapaknya kembang kempis untuk mencari sesuap nasi di tengah pandemi.  Betapa naifnya si eneng yang ibunya cuma buruh cuci, harus memikirkan bagaimana membiayai sepeda itu ke bengkel? Demi apa? Demi untuk menghargai saya? Demi untuk pembuktian bahwa mereka mencintai saya?

 Begitu inginnya saya katakan pada wajah polos itu, Tanda cinta bukan hanya dari sebuah kue , sesendok nasi tumpeng, sebuket bunga. Bahkan lebih dari itu. Cinta ada pada hati yang tulus mendoakan, Yang memberi tanpa menerima. Yang kehadirannya begitu di rindukan.

Tapi saya membisu, tak berkata sepatahpun.  Sampai akhirnya "Baiklah anak2, Mari kita potong kue ini!" Anak-anakpun bersorak sorai.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun