Reshuffle kabinet selalu disambut dengan sorotan media dan harapan masyarakat. Pergantian menteri dianggap sebagai momentum perubahan, seolah wajah baru akan otomatis membawa kebijakan baru yang lebih baik. Namun, kenyataannya sering jauh dari ekspektasi. Pertanyaannya adalah apakah reshuffle benar-benar menjawab kebutuhan rakyat, atau sekadar strategi politik untuk meredam tekanan dan menjaga stabilitas kekuasaan ?
Jika tujuannya hanya menjaga keseimbangan koalisi dan menenangkan elite politik, maka publik kembali menjadi penonton yang tak pernah diajak bicara. Demokrasi seharusnya mengutamakan suara rakyat, bukan sekadar kursi kekuasaan yang dipertukarkan di meja politik. Lebih menyedihkan, reshuffle sering kali tidak disertai evaluasi terbuka terhadap menteri lama. Rakyat tidak pernah tahu apa indikator kegagalan, atau capaian apa yang dianggap kurang. Akibatnya, pergantian ini terasa seperti permainan kursi siapa yang dianggap mengganggu, dia yang digeser.
Publik berhak menuntut lebih. Jika reshuffle hanya dijadikan alat kekuasaan, maka kekecewaan akan terus berulang, sementaramasalah yang sesungguhnya tidak pernah terselesaikan. Padahal, rakyat butuh sesuai yang lebih dari sekedar wajah baru. Mereka butuh pemimpin yang hadir dengan solusi konkret, target jelas, dan komitmen memperbaiki nasib orang banyak. Bayangkan petani yang menunggu kebijakan harga yang adil, butuh migran yang mendamba perlindungan, atau mahasiswa yang resah melihat biaya pendidikan semakin mahal. Apakah reshuffle benar-benar menyentuh masalah mereka?
Yang dibutuhkan masyarakat bukan sekadar simbol perombakan, melainkan perubahan nyata dalam kebijakan seperti harga kebutuhan pokok yang stabil, lapangan kerja yang terbuka, serta pelayanan publik yang adil. Jika reshuffle gagal menjawab kebutuhan dasar ini, maka ia tak lebih dari sekadar drama pergantian aktor di panggung yang sama, dengan naskah yang lama dan terus berulang.Â
Rakyat tidak butuh janji lagi, mereka butuh bukti.Â