Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sahabatku? (Bab 5)

16 Agustus 2019   15:03 Diperbarui: 16 Agustus 2019   15:05 9 0
"Assalamu'alaikum Ukhti!" canda Dewa meneleponku pukul 19.00, ia memutus alunan musik di telepon pintar yang tersambung ke kabel headseatku.

"Wa'alaikumussalam Akhi!" balasku.

"Kenapa kamu?" tanya Dewa. Aku mengangkat sebelah alis dari tempatku berada.

"Tidak apa-apa!" bohongku.

"Hm..." Dewa kembali bernada tak percaya padaku.

"Ron, bagaimana ini?" tanyaku. Ron? Aron? Lho, malam-malam bisa bersama Dewa.

"Alula, hm...!" Aron ikut-ikutan.

"Tadi aku sakit di bawah perut tapi hanya sebentar. Tanda aku benar-benar haid!"

"Oh..." jawab mereka bersamaan.

"Kenapa Aron bisa bersama Dewa?" tanyaku.

"Aku memang merencanakan mengerjakan tugas di rumah Dewa dan Dewa nyatanya harus menjengukmu!"

"Hm..." kini aku yang bergantian.

"Salah sendiri mengikutiku sampai rumah!"

"Tahu, kenapa tidak ajak aku?"

"Aduh..." ku kira Aron akan memperingati Dewa pula.

Sepanjang itu kami berbincang dan tak terasa kami juga mengerjakan tugas bersama yang kebetulan tugas yang ku kerjakan sama dengan mereka.

"Sudah selesai, tidur dulu ya!"

"3 tugasmu bagaimana?"

"Sudah ku selesaikan!"

"Di?"

"Sekolah!" ku dengar mereka menepuk kening.

"Efek masa pubertas!" ucap Aron.

"Hahaha..."

---

"Tuh kan, Alula masih lemah!" ucap Aron dari kejauhan. Dewa seperti biasa, ia tidur di kelas.

"Eh Al, ajari aku Bahasa Inggris yang ini dong!"

"Aduh lagi tidak enak badan!"

"Masih bisa masuk sekolah?"

"Ya... harusnya diusahakan!"

"Berarti kamu harus usaha ajari aku!"

"Mari ku ajari!" ucap Aron dan Fada menggeleng.

"Kamu kasar!"

"Tunggu Dewa bangun!"

"Atau tunggu Arsha datang!"

"Ah, mereka tak semutu Alula!"

Tuk! sebuah ketukkan meja dari Dewa membuat Fada terkejut. Ia bangun dari tidurnya.

"Berarti kemarin-kemarin Alula tidak mutu?" tanya Aron yang membuatku mengepal tangan. Tak seharusnya karibku berkata demikian. Fada langsung keluar dari kelas.

"Kamu hanya membutuhkan Alula?" teriak Aron ketika Fada hampir berada di luar kelas bernada tanya.

"Tuh, Dewa benar bukan?"

"Masalah apa?" tanya Dewa sambil mengusap kelopak mata.

"Tahu ah!" ya, itulah efek Dewa ketika bangun tidur. Ya sebenarnya Dewa walau bangun tidur bisa saja langsung menyambung ke pokok pembicaraan hanya sayang itu hanya sebuah kode baginya.

"Al, pulang ya!"

"Mau main Playstation!" sambung Dewa. Aku mengangguk dan ketika aku keluar dari kelas rupanya rokku ada sesuatu.

"Ah!" aku langsung menurunkan tas ke bagian bawah pinggul dan pulang.

Begini efek masa haid, badan lemah, wajah pucat, nafsu makan meningkat, hampir dehidrasi, ya... karena kita mengeluarkan darah kotor. Ini sedang lagi banyak-banyaknya. Aku belum pengalaman akan hal itu, yakinlah sampai di rumah ekspresiku sama seperti saat Dewa ke rumah.

Tuh kan, cermin saja paham.

---

Hari ke hari Fada aneh, terkadang baik, terkadang seperti perangko, terkadang mencela, dia maunya apa? Apa aku harus percaya pada firasat dua karib priaku?

Padahal pandai IPS, tapi aku dibilang bodoh saat bertanya materi yang belum ku paham. Kalau aku bodoh, berarti harus banyak belajar bukan? Hm.

Aku tidak memaksa, terserah, namun sebaliknya, Fada bersifat pemaksa ketika aku benar-benar tak ingin menjawab entah karena kondisi fisik atau perasaanku yang sedang tidak mendukung.

Hari ini hujan deras, aku terpaksa pulang ke rumah menerobos hujan dan tubuhku basah semua.

"Kasihan!" ucap suara yang melesat seperti angin usai sebuah mobil berwarna hitam melewatiku. Aku mengenal suara itu. Seperti suara Fada. Kaca mobil bagian belakang terbuka dan bersamaan itu hujan berhenti.

"Hujan berhenti?" batinku namun dugaanku salah. Ada payung yang melindungiku. Ekspresi Fada yang hampir seperti tokoh jahat di film gagal karena sosok itu.

"Harusnya aku bawa payung dua. Syukurlah Aron pulang dengan transportasi umum!" ucap suara itu masih setia memayungiku. Aku menoleh, ya, dia salah satu karibku, Dewa.

Memang, Dewa lebih sering bersamaku ketimbang Aron karena Aron cenderung mengejar waktu untuk bersama keluarga. Jadi aku lebih sering bertelepon atau mengirim pesan singkat untuk berbincang layaknya karib.

Sedangkan Dewa adalah sosok yang ku bilang suka muncul dimana-mana namun ia berkepribadian santai. Jika diurutkan, kepribadian santainya berada di peringkat atas, aku di peringkat dua dan Aron di peringkat 3. Apalagi Aron sering berkata.

"You know, aku ini kutu buku, perpustakaan dekat rumah adalah hawa nafsuku!" ya, I know Bro.

"Sepertinya ini tanda Fada akan menjauhimu."

"Entah, ini seperti penjelajah sungguhan, mencari tahu arti persahabatan yang sesungguhnya!" batinku berkata seperti itu.

Dewa berusaha menjubahkan jas hujannya ke tubuh dengan tangan kirinya.

"Pakai sampai rumah!" Dewa langsung kabur menghindariku. Jangan-jangan takut petir.

Fada, perempuan itu, entah ia menganggapku apa. Kadang aku dianggap sahabat termutu dan kadang terburuk. Syukur masih ada Dewa dan Aron. Mereka selalu berada di sekitarku.

"Al, kamu jauhi Dewa dan Aron ya!" pinta Fada tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Mereka penghibah!" aku tak mengindahkan perkataannya.

Namun setiap aku berkumpul bersama mereka, pasti ia menarikku. Terus menerus seperti itu. Aku hanya bisa berkomunikasi via telepon dan pesan singkat.

"Kamu tidak ada masalah?" tanya Aron dalam telepon.

"Tak apa!" jawabku menyembunyikan.

"Ayolah kita sudah karib, jangan disembunyikan!" sambung Dewa. Aron sepertinya memakai pengeras suara.

"Tidak, aku tak apa!"

"Semangat ya, aku tutup teleponnya!"

Fada, entah apa yang terjadi padamu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun