Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Covid, Idul Fitri dan Purifikasi Kemanusiaan

24 Mei 2020   08:27 Diperbarui: 24 Mei 2020   13:32 25 0
Hilal 01 Shawal 1441 Hijriah terdeteksi menampakan senyum kemenangannya tepat di atas ufuk barat pada Sabtu. Lantas Kementrian agama RI tanpa ragu mengumumkan jadwal terlaksananya sholat Idul Fitri bagi umat Islam Indonesia jatuh pada hari Ahad 24 Mei 2020. Ini akan menjadi Hari lebaran yang serba galau bagi sebagian besar umat Islam tentunya. Meskipun gemuruh takbir, tasbih, tahlil dan tahmid terkumandang syahdu di speaker-speaker masjid, namun suasana kebatinan umat sesungguhnya gugup menyambut hari besar utama umat Islam ini. Suasana berbeda kemenangan batin ini justru menjadi penuh duka ketika pemerintah melalui Gugus Tugas covid 19 masih mengumumkan fakta zahir naiknya kurva jumlah masyarkat yang positif terpapar covid berikut angka kematiannya yang turut melonjak naik.

Covid-19, jenis virus agresif dan mematikan nampaknya belum sedikit pun menunjukan itikad baik untuk berdamai dengan komunitas semesta lainnya khususnya manusia. Entah apa yang merasukinya? Covid 19 yang telah menghantui penduduk bumi sejak awal tahun 2020 masih saja belum memberikan kesempatan adaptasi bagi imunitas tubuh manusia sebagai inang epideminya. Meskipun sudah banyak negara yang menunjukan capaian positif terhadap upaya seriusnya dalam memutus mata rantai penyebaran Covid, namun ada pula negara yang mulai melemparkan handuk putih tanda menyerah dari pertarungannya meng-knock out si misterius covid ini. Dan Indonesia tentu saja termasuk dalam jenis negara yang kedua ini. Setelah pemerintah pusat dengan penuh harap cemas merekomendasikan kepada masyarakat untuk mencoba terbiasa dengan tatanan kehidupan yang adaptif di masa-masa pandemik, sehingga bisa terbentuk sebuah norma baru atau yang disebut new normal. Tentunya Demi menyalamatkan perputaran mesin ekonomi dan kestabilan kehidupan sosial politik nasional yang kian hari kian menyedihkan.

Momentum lebaran bagi masyarakat +62 merupakan tradisi spritual yang pada prakteknya turut melekat tradisi sosial khas Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain di dunia. Namun untung tak dapat diraih, Fenomena mudik dan halal bil halal yang menjadi ikon aktifitas selebrasi andalan umat Islam Indonesia di hari kemenangan idul fitri kali ini harus diperpanjang hingga entah 1 atau bahkan lebih ke lebaran tahun-tahun yang akan datang. Sungguh sebuah kesedihan tersendiri bagi suasana kebatinan kolektif masyarakat khususnya umat Islam Indonesia yang terkenal sangat sensitif sosial nan berbudi luhur. Suasana sungkeman terhadap kedua orang tua yang rindu menanti kepulangan anak-anaknya terpaksa dijeda oleh jarak yang bukan tak ingin di lewati. Juga untuk sementara tak lagi ada menu khas ketupat dan opor ayam andalan ibu yang selalu sempat dinikmati bersama keluarga di rumah. Dalam tautan nada-nada takbir, tahlil dan tahmid inilah, sedu sedan dan air mata kerinduan pun auto mengalir tak terbendung mananggung cekaman sepinya kemenangan.

Tak ada kesempatan yang abadi, tak ada tempat di bumi yang selamanya bisa ditinggali. Semuanya memiliki masa yang terbatas, kecuali Dia yang tak dibatasi dimensi waktu dan tempat. Dia Allah, Tuhan pemilik langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Covid-19 merupakan gejala semesta sekaligus menjadi belaian lembut jemari Tuhan bagi hamba-hambanya yang sering melampaui batas. Kesombongan dan keserakahan telah menjadi alasan historis kemanusiaan dalam menunaikan tugas-tugas ke-khalifahannya di bumi Allah yang semakin rapuh oleh beban eksplorasi dan eksploitasi yang tidak adil. Bagaimanapun, Alam semesta yang juga merupakan makhluk, tentunya memiliki cara untuk mengekspresikan kekecewaannya terhadap kecurangan manusia yang selalu ingin menang sendiri. Sementara manusia yang cenderung tak berkesudahan keinginannya, justru mengiringi segala obsesinya dengan pilihan-pilihan sikap kufur nikmat yang tentu mengundang kemurkaan.

Puasa, sebagai ikhtiar transedental kedekatan manusia yang khusus di mata Allah merupakan instrumen sosial sekaligus tarbiyatun nafs yang terbukti efektif bagi kualitas kejiwaan manusia. Di sepanjang zaman dan di banyak kaum, puasa dipraktekan sebagai cara terbaik dalam membangun ketangguhan batin, kesehatan jiwa dan kebugaran raga. Berpuasa bagi kemanusiaan, sesungguhnya sama pentingnya dengan kepuasan tubuh terhadap materi. Puasa adalah sama mewah dengan pakaian sutera atau tas dan sepatu kulit impor bagi kesempurnaan emosional. Dan puasa sama persis seperti kehendak jasmaniah dan akal atas asupan gizi dan pemenuhan ilmu penetahuan bagi pemuliaan kemanusiaan menuju kedekatannya pada sifat dan karakter ketuhanan. Puasa adalah matahari yang bermanfaat bagi tumbuh kembang dan penguatan kapasitas  mikrokosmos kemanusiaan.

Idul fitri sebagai simbol pesta kemenangan bagi mereka yang berpuasa merupakan momentum pengejahwantahan equalitas kemanusiaan yang berkeadilan di atas panggung dan pentas sosial. Setiap insan di hari yang fitri ini berhak untuk bahagia, sebagai wujud kembalinya mereka pada kesucian jiwa. Terhadap saudara seiman yang berkekurangan, maka sangat wajib dicukupkan kebutuhannya oleh saudara-saudara mereka yang berkecukupan rezekinya melalui zakat dan infaq tanpa terkecuali. Meski pandemik Covid 19 membatasi ruang gerak lahiriyah hajatan kemenangan umat Islam kali ini, namun kemerdekaan batiniah adalah kesejatian cinta yang tak pernah mampu dihentikan oleh perkara apapun. Keintiman batin dan kemesraan sosial harus senantiasa terawat secara istiqomah sepanjang hayat. Pemberian maaf yang tulus dan saling mendo'akan antara sesama muslim juga bagi pemimpin dan keselamatan atas bangsa dan negara menjadi kado perayaan idul fitri yang tak pernah ternilai harganya. Puasa dan covid mesti dimaknai secara positif sebagai upaya pemurnian kembali (purifikasi) kemanusiaan baik secara kuantitas maupun secara kualitas, menuju Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hingga terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun