Ilustrasi Penyadap Karet (Sumber: .google.com/search?q=petani+karet)
“Seberat-berat mata memandang,
Berat lagi bagi orang yang memikulnya”
(Ungkapan khas orang Melayu Riau bila melihat penderitaan orang lain)
Pendahuluan
Pemberitaan Harian Kompas (12/05/2015) halaman 18 yang berjudul Rendah, Industri Serap Karet. Indonesia Belum Mampu Jadi Produsen Ban Terbesar., seakan-akan menindaklanjuti tulisan saya di Kompasiana (04/05/2015) yang berjudul Petani Karet: Gagah di Zaman Penjajah, Merana di Alam Merdeka.
Apa yang dilakukan Kompas dan komitmen pemangku kepentingan antara lain Kementerian Perindutrian yang akan membuat kebijakan untuk menyeimbangkan antara pasokan dan permintaan serta meningkatkan penggunaan produksi karet alam untuk industri merupakan wujud nyata dalam usaha menaikkan harga karet. Salah satu hal yang perlu diperhatikan, jika kelak harga jual karet kelak benar-benar naik, keuntungan terbesar hendaknya jangan hanya dirasakan pedagang (terutama pedagang besar) saja, tetapi juga dirasakan kalangan penyadap karet itu sendiri. Seperti yang saya utarakan dalam tulisan di Kompasiana itu, selama ini kalau harga karet naik, kenaikan itu tidak banyak dinikmati penyadap karet.
Tulisan saya yang di Kompasiana tersebut berdasarkan pengamatan saya di Desa Dusun Tuo, Kecamatan Kuantan Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.
Dalam pantauan saya harian Kompas melalui wartawannya di daerah cukup sering mengangkat permasalahan yang dihadapi petani karet di berbagai daerah seperti di Jambi, Sumatera Selatan (Sumatera) dan juga di Kalimantan. Walaupun yang diangkat dalam tulisan itu terbatas pada daerah tertentu saja tetapi hakekatnya telah menyuarakan permasalahan yang sama di daerah lain. Apalagi Kompas langsung membicarakan hal tersebut kepada kementerian terkait. Semoga ada solusi nyata.
Pemangku kepentingan di tingkat Pemerintah Pusat perlu diinformasikan tentang permasalahan mendasar yang dihadapi penyadap karet. Karena pemangku kepentingan di provinsi maupun kabupaten/kota sejauh tidak bisa berbuat maksimal, salah satunya terkait dengan kewenangan. Selain itu Pemda juga tidak punya terobosan dan rencana strategis jangka panjang. Inilah yang membedakan antara negara kita dengan negara produsen karet lainnya.
Pemda masih berpikir konvensional dalam menanggulangi merosotnya harga karet, seperti perlunya membentuk koperasi, petani harus menjual langsung ke perusahaan, atau menggandeng investor membangun pabrik karet di daerah penghasil karet. Tetapi usaha tersebut tidak juga mendatangkan hasil yang maksimal.
Yang lebih konyol lagi, pejabat terkait mengatakan tinggi-rendahnya harga ditentukan oleh harga pasar dunia. Untuk itu mereka menyuruh penyadap karet tersebut bersabar dan berdoa kepada Tuhan semoga harga karet cepat naik..Tetapi entah sampai kapan. Masyarakat hanya bisa menelan ludah.
Strategi Menaikkan Harga Karet.
Dalam usaha meningkatkan harga jual karet dan kesejahteraan penyadap karet pada umumnya saya menawarkan solusi antara lain sebagai berikut:
1.Membuat regulasi/kebijakan yang inovatif.
Perkebunan karet boleh dikatakan ada di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian penduduk yang mata pencarian hidupnya bergantung kepada karet ini sangat besar jumlahnya. Berdasarkan kenyataan itu sangat mungkin dibentuk semacam Bulog yang khusus mengurusi karet. Pemerintah dapat menetapkan harga jual terendah di tingkat penyadap karet. Dengan demikian penyadap karet tidak bisa dipermainkan pedagang “nakal”.
Selain itu Pemerintah Pusat perlu membuat regulasi/kebijakan khusus di bidang perkaretan. Berbagai kebijakan yang ada selama ini tidak berjalan dengan baik. Jika pada sektor lain bisa dibuat kebijakan khsusus, tentu hal yang sama dapat juga diberlakukan di sektor karet ini.
Harapan kepada Pemerintah Pusat—dalamhal ini langsung kepada presiden, saya nilai tidak cukup di tingkat Kementerian/Lembaga saja, karena terbukti selama ini tidak berhasil—memang sangat besar, karena di tingkat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terkesan sudah kehabisan akal (tidak ada inovasi). Presiden sebagai Kepala Negara harus berbuat sesuatu untuk menjaga eksistenti warga negara yang hidup dari usaha menyadap karet. Jika pada petani padi presiden sangat antusias, mestinya terhadap petani karet juga demikian.
Untuk itu pihak yang berkepentingan—termasuk media seperti Kompas ini—harus terus menerus memberitakan dan memberikan informasi yang memadai kepada presiden, agar presiden mengetahui permasalahan yang terjadi dan dapat memberikan arahan dan instruksi yang diperlukan kepada kementerian/lembaga atau pejabat terkait.
Selain itukementerian/lembaga atau pejabat terkait juga harus aktif mengumpulkan infromasi terkait karet ini. Jangan hanya bereakasi setelah diberikan atau dikonfirmasikan. Paradigma seperti itu sudah usang. Bukanklah salah satu dari Nawacita adalah menghadirkan kembali peran negara saat diperlukan masyarakat.
2.Meningkatkan penggunaan karet alam untuk kepentingan industri.
Ini sejalan dengan pemberitaan Harian Kompas yang intinya pemangku kepentingan baik di dalam maupun di luar negeri sepakat meningkatkan penggunaan karet alam untuk industri dan akan berusaha menyeimbangkan antara pasokan dengan permintaan. Pertanyaannya, kapan komitmen itu akan dijalankan dan bagaimana implementasinya nanti di lapangan. Apakah akan dipatuhi semua pihak-pihak terkait? Lalu siapa yang mengawasinya?
3.Meningkatkan kualitas karet.
Petani harus meningkatkan kualitas (mutu) karet yang diolahnya. Bila kualitasnya jelek akan dijadikan alasan oleh pedagang untuk membeli karetnya dengan harga rendah. Ini dapat dilaksanakan oleh Pemda melalui dinas terkait. Di sini diminta kesungguhan kepada daerah.
Getah Buku/Ojol (Sumber: google.com/search?q=petani+karet)
4.Meremajakan tanaman karet.
Tanaman karet masyarakat kebanyakan sudah berumur tua, sehingga produksinya rendah. Untuk itu perlu kebun karet yang sudah tua dan kulitnya sudah rusak, perlu diremajakan.
5.Memberikan bantuan/pinjaman lunak.
Untuk meremajakan tanaman karet tersebut, petani karet perlu dibantu secara maksimal. Tidak seperti sekarang, dimana bantuan yang diberikan sangat terbatas. Selebihnya ditanggung petani. Ini semakin menyusahkan petani karet.
6.Membuat usaha sampingan.
Mengingat harga karet yang tidak menentu pihak-pihak yang berkepentingan perlu memikirkan kemungkinan menganjurkan petani karet untuk membuat usaha sampingan, sesuai dengan minat, bakat, potensi dan karakteristik desa, serta prospek pemasarannya.
7.Komitmen.
Sebaik apapun regulasi/kebijakan yang dibuat tetapi bila tidak diikuti dengan komitmen maka akan berakhir dengan kekecewaan. Bukankah sudah jamak kita dengan ungkapan, “undang-undangnya sudah baik tetapi dalam implementasinya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan”.
Jangan sampai terjadi ungkapan yang terkenal di daerah ini: “Minyak habis sambal tak enak”, atau “Rumah siap pahat berbunyi”. Artinya semua usaha dan jerih payah tidak memberikan faedah yang maksimal.