Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Compassion Dimulai dari Mana?

6 Maret 2020   22:33 Diperbarui: 6 Maret 2020   23:59 1149 46
Ketika kedua orangtua bekerja di luar rumah. Sebagian besar bayi ditinggalkan di jasa penitipan bayi, atau pengasuh bayi. Sampai usia Paud, mereka cepat-cepat dimasukkan ke sekolah Paud, lalu TK, SD, SMP, dan seterusnya.

Mampukah kita orangtua menjamin, bahwa mereka ketika berada di tempat penitipan tersebut mendapatkan pembelajaran perilaku sesuai yang kita inginkan? Yang jelas prasangka baik terhadap mereka yang kita titipi anak tersebut. Namun cukupkah hanya dengan prasangka baik?

Ketika dalam asuhan pengasuh bayi, benarkah pembelajaran perilaku diberikan kepadanya? Mulai dari cara makan, cara minum, cara berbicara, cara sopan santun lainnya.

Atau ketika di sekolah Paud, lalu TK, SD, SMP, dan seterusnya terjaminkah bahwa teman-temannya menjadi pendukung bagi berkembangnya perilaku mulai? Dari sekian banyak teman yang bergaul dengannya, satu di antara sekian teman barangkali ada yang kebetulan berperilaku kurang terpuji. Dan pengaruh jelek biasanya akan lebih cepat diserap dan diikuti.

Sekian banyak pertanyaan dan prasangka kemudian menjadi pikiran bagi sebagian orangtua. Tak sedikit yang cuek bebek. Yang penting sekolah, yang penting cepat besar, lulus sekolah, bekerja, menikah dan pisah dari orangtua.

Bagaimana kontrol perilaku mereka?

Sementara ketika kedua orangtua bekerja di instansi pemerintah (PNS), pinger print teng, akan dimulai pukul delapan, dan pulang pukul empat sore. waktu tempuh diperjalanan sekian menit atau sekian jam. Kalau kota besar, terhalang macet. Hingga akhirnya sampai di rumah, sudah senja.

Persiapan mandi dan lain-lain sambil istirahat dan normal kembali nimimal 1 jam berikutnya. Tinggal kita hitung berapa waktu tersisa untuk keluarga di rumah. Termasuk anak di antaranya.

Dengan begitu, interaksi dengan keluarga menjadi berkurang. Kemudian keluarlah istilah, "Yang penting dalam komunikasi adalah kualitas dan bukan durasi." Bisa benar, bisa juga tidak.  

Jika hanya menanyakan hal-hal tertentu bisa memerlukan waktu yang relatif singkat. Atau ketika jelang waktu makan malam, semua anggota keluarga berkumpul. Ada komunikasi yang terbangun. Seberapa lama waktu makan dibutuhkan? Anggaplah satu jam. Nah, dalam satu jam itulah komunikasi yang katanya kulitasnya harus baik.

Dalam waktu satu jam itu, sambil makan pula. Cukupkah untuk mengamati dan memberikan atau diskusi tentang perilaku? Kita semua bisa membayangkan atau mengalaminya mungkin.

Selesai makan, masing-masing sudah kembali ke aktifitas seperti biasa. Bapaknya kalau ada lembur pekerjaan kantor yang dibawa pulang akan melanjutkan bekerja. Demikian juga ibu. Sementara anak-anak juga ada yang belajar, ada yang mainana gawai. Hingga akhirnya masuk kamar dan tidur.

Begitu pagi, masing-masing orang berburu dengan waktu mempersiapkan segala sesuatunya agar tak ketinggaln atau terlambat. Mungkin sarapan pagi sudah jarang dilakukan bersama.

Demikian seterusnya, lalu datang akhir pekan. Masing-masing punya acara sendiri-sendiri. Ibu dengan kesibukannya mempersiapkan kebutuhan untuk satu minggu ke depan. Beres-beres rumah. Bapaknya istirahat total, atau mengejar hobi untuk rekreasi.

Sementara anak-anak sudah punya acara sendiri dengan teman-temannya.

Tak terasa, kita semakin tua, anak-anak menjadi dewasa. Perilaku mereka bagaimana? Tak sempat terpikirkan. Yang penting tak melakukan kejahatan. Titik.

Akhirnya jangan heran ketika kita sudah beranjak tua. Tinggal hanya berdua, suami istri. Anak-anak sudah tinggal sendiri dengan keluarganya. Mengikuti rutinitas yang kita ajarkan hingga mereka dewasa. Sebagian mereka lupa pada kita.

Mereka mengakui dan berterima kasih telah mengasuh dan mendidik mereka. Kadang ketika lebaran atau natalan setahun sekali berkumpul. Berkangen-kangen ria. Setelahnya? Kembali lagi dengan rutinitas seperti biasa. Sementara pada hari-hari biasa, kita jarang berkomunikasi dengan anak-anak kita.

Makanya banyak kita temukan, terutama di negara maju dan modern, kita orangtua dikembalikan seperti pembelajaran kita ketika mereka kecil. Ditipkan! Panti-panti jompo bertebaran. Para perawat dibayar dengan uang.

Lalu kemana kasih sayang, welas asih, empati, kasihan/terharu? Entahlah. Karena yang anak kita kenalkan adalah seperti itu. Jadi itulah yang mereka ketahui.

Makanya pernah pak Mendikbud mengemukakan tentang dosa pendidikan. Salah satunya adalah mengembalikan pendidikan pada jati dirinya. Yaitu compassion. Dimulai dari penghapusan UN. Karena ketika UN masih menjadikan acuan kelulusan, maka pendidikan hanya dinilai dengan angka. Perilaku menjadi tidak berarti apa-apa.

Dalam kesempatan lain beliau juga pernah mengemukakan tentang Compasion dan  Computational Thinking. Untuk pembenahan perilaku menggunakan Compassion, sementara untuk peningkatan kecerdasan menggunakan Computational Thinking.

Seperti dilansir laman cnbcindonesia.com, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan dua kompetensi baru dalam sistem pembelajaran anak Indonesia. Dua kompetensi tambahan itu adalah Computational Thinking dan Compassion. (18 Februari 2020)

Pada kesempatan ini, kita hanya bahas salah satunya saja yaitu Compassion.

Menurut KBBI, Compassion artinya keharuan, perasaan kasihan/terharu, membangkitkan rasa kasihan. Dalam makna yang termasuk dalam istilah compassion adalah welas asih, empati, kasih sayang, dan lain-lain.

Cerita di atas adalah cerita hidup dalam kondisi normal. Walau pun kadang cerita berbeda dengan kondisi nyata. Ada yang lebih baik, tapi tak sedikit yang lebih buruk.

Lantas sebaiknya bagaimana?

Compassion adalah naluri manusia. Ketika lahir mereka dibekali dengan compassion dalam dirinya. Dalam islam disebut fitrah manusia. Lingkungan kemudian yang jadi pengaruh perubahan pertama kali. Setelah itu dibentuk kembali oleh pendidkan.

Nah, peran penjagaan, pemeliharaan terletak pada keluarga. Oleh karenanya Compassion harus dimulai dari lingkungan keluarga. Sejak dini jika bisa. Peran penting ibu sebagai perawat dan pemelihara bayi hingga besar menjadi tiang utama. Berikutnya ayah, saudara, keluarga dekat, lingkungan sekitar, dan pendidikan (sekolah).

Pembiasaan Compassion di dalam rumah dimulai dari hal yang paling sederhana. Peran orangtua jelas adalah pemberi contoh teladan.

Misalnya ketika berpapasan dengan anak memberikan senyuman, berkata lembut dan penuh kasih sayang, berempati ketika ada anggota keluarga yang sedang sakit. Kebiasaan, saling menyalahkan. Dan ini akan berakibat buruk bagi perkembangan perilaku anak.

Banyak sekali contoh-contoh Compassion yang dapat dibiasakan di dalam rumah. Yang jelas, pembiasaan merupakan yang terpenting. Dalam kondisi apa pun, jangan meninggalkan Compassion di dalam rumah.

Dengan begitu lambat laun Compassion tertanam dalam diri anak dan membekas hingga mereka dewasa.

Orangtua tak pernah berharap meminta balasan atas jerih payah yang diberikan, tetapi tak ingin juga ketika kita tua merana ditinggalkan anak-anak kita.***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun