Bayangkan sebuah negeri yang diberkati dengan kekayaan alam berlimpah: perut bumi yang penuh emas, nikel, batu bara, minyak, dan gas. Lautan yang dipenuhi ikan, hutan rimba yang kaya kayu, dan tanah yang begitu subur hingga pepaya pun bisa tumbuh di pinggir jalan. Negeri ini, jika kekayaannya dikelola dengan benar, bisa menjamin warganya hidup makmur.
Itulah yang pernah disampaikan Mahfud MD dalam sebuah podcast bersama Denny Sumargo. Menurut perhitungannya, jika sumber daya alam dikelola dengan benar, setiap warga Indonesia bisa menerima Rp 20 juta per bulan tanpa harus kerja. Sebuah pernyataan yang mengguncang kesadaran publik sekaligus membuka luka lama: mengapa kenyataan kita begitu jauh dari potensi yang ada?
Indonesia Kaya, Rakyat Miskin
Mari kita buka data. Indonesia memiliki:
*Cadangan nikel terbesar di dunia, bahan baku penting baterai listrik.
*Tambang emas Grasberg di Papua, salah satu yang terbesar di planet ini.
*Sumber daya batu bara dan minyak bumi yang hingga kini masih menjadi komoditas ekspor utama.
*Laut yang luas, dengan potensi perikanan mencapai jutaan ton setiap tahun.
Dengan semua kekayaan itu, logikanya rakyat Indonesia seharusnya hidup makmur. Namun, kenyataannya, kita masih disuguhi berita tentang kemiskinan, stunting, PHK massal, dan buruh dengan upah pas-pasan.
Mengapa paradoks ini terus terjadi? Jawabannya sederhana: kekayaan alam kita tidak pernah benar-benar dikuasai rakyat.
Ketika Kekayaan Tersedot Oligarki
Siapa yang menguasai sumber daya alam kita? Apakah negara? Apakah rakyat? Atau justru segelintir kelompok yang memiliki akses politik dan modal?
Said Didu dalam berbagai kesempatan menyebut fenomena ini sebagai permainan "Geng Solo" dan "Parcok" (Partai Coklat = Polisi). Satir ini menggambarkan bagaimana kekuasaan dan oligarki berselingkuh dengan aparat penegak hukum.
*Tambang ilegal bisa berjalan mulus karena ada "pengamanan."
*Konflik agraria selalu dimenangkan korporasi dengan dukungan aparat.
*Regulasi yang seharusnya melindungi rakyat justru disusun untuk memberi karpet merah bagi investor.
Dalam dunia nyata, rakyat hanya kebagian debu tambang dan air sungai yang tercemar, sementara oligarki mengisi rekening di luar negeri dan membeli jet pribadi.
Matematika Keadilan yang Mustahil
Mari kita coba berhitung dengan logika sederhana. Jika total kekayaan SDA Indonesia yang diekspor setiap tahun mencapai ribuan triliun rupiah, lalu dibagi kepada 270 juta penduduk, maka setiap orang bisa mendapatkan belasan hingga puluhan juta rupiah per bulan.
Namun, apa yang terjadi? Rakyat justru digelontori BLT Rp 200 ribu menjelang pemilu, sementara para oligarki bisa memindahkan triliunan rupiah hanya dengan sekali transfer lewat rekening di luar negeri.
Keadilan sosial ala UUD 1945 seolah hanya menjadi kalimat indah di ruang kelas SD yang tak pernah mewujud di kehidupan nyata.
Oligarki: Dari Orde Baru ke Reformasi
Banyak orang berasumsi bahwa reformasi 1998 menandai berakhirnya kekuasaan oligarki. Faktanya, oligarki tidak hilang---mereka hanya berganti wajah dan kostum.
*Dulu, oligarki dekat dengan penguasa Orde Baru.
*Kini, oligarki bertransformasi menjadi "donatur politik," pemilik media, dan pengendali regulasi.
Robison & Hadiz dalam bukunya Reorganising Power in Indonesia (2004) menjelaskan bahwa reformasi tidak menghapus oligarki, melainkan meredistribusi kekuatan mereka ke lebih banyak aktor politik. Dengan kata lain, jika dulu oligarki terkonsentrasi pada segelintir orang dekat istana, kini oligarki menyebar ke banyak partai, pejabat, dan institusi negara.
Parcok: Satir Tentang Seragam Coklat
Istilah "Parcok" atau "Partai Coklat" yang dimaksud Said Didu jelas merujuk pada institusi yang berseragam coklat: polisi. Bukan untuk menghina secara personal, melainkan kritik satir bahwa institusi yang seharusnya menjaga keamanan rakyat seringkali terlihat lebih mesra dengan kepentingan modal.
Fenomena ini bisa dilihat dalam banyak kasus:
*Tambang ilegal di Kalimantan dan Sulawesi berjalan mulus karena ada "beking."
*Kriminalisasi aktivis lingkungan yang melawan perampasan tanah.
*Pengamanan proyek strategis nasional yang lebih condong pada kepentingan investor ketimbang keselamatan rakyat sekitar.
Satir ini menjadi kritik keras bahwa kekuasaan negara telah direbut oleh oligarki---dengan polisi sebagai "pengawal setia" kepentingan ekonomi.
Rakyat Jadi Penonton
Bayangkan sebuah stadion besar bernama Indonesia. Di tengah lapangan, para oligarki berpesta pora, memamerkan kekayaan, meminum anggur mahal, dan membakar cerutu. Sementara itu, rakyat duduk di tribun, disuruh tepuk tangan, bahkan harus membeli tiket masuk untuk menonton pesta itu.
Lebih ironis lagi, rakyat sering dihibur dengan narasi nasionalisme: suruh bangga karena Indonesia kaya sumber daya alam, padahal kekayaan itu tak pernah menyentuh perut mereka.
Mahfud MD benar: Rp 20 juta per bulan itu mungkin. Tetapi bagi rakyat kecil, jumlah itu hanya akan hadir sebagai mimpi indah yang terbangun oleh suara alarm jam weker.
Kenapa Tidak Pernah Beres?
Jawabannya pahit: karena oligarki telah menguasai seluruh sendi kekuasaan.
*Politik: Partai politik dibiayai oleh para cukong.
*Ekonomi: Kekayaan terkonsentrasi pada segelintir konglomerat.
*Hukum: Aparat dan penegak hukum sering berpihak pada modal.
*Media: Narasi publik dikendalikan pemilik modal besar.
Winters (2011) dalam bukunya Oligarchy menjelaskan bahwa oligarki adalah pemerintahan oleh para kaya, yang menggunakan uang untuk mempertahankan pengaruh politik dan hukum. Jika demikian, bagaimana mungkin rakyat bisa menagih Rp 20 juta per bulan?
Satir Pahit: BLT Sebagai Candaan
Mari kita jujur: Rp 20 juta per bulan mungkin hanya bisa terwujud di Excel sheet atau pidato pejabat. Yang nyata justru BLT recehan, kartu bantuan, dan sembako murah menjelang pemilu.
Rakyat diajak berterima kasih sambil antre panjang di kantor pos, sementara para oligarki cukup menekan tombol di iPad mereka untuk memindahkan kekayaan bernilai ratusan miliar ke rekening offshore.
Bukankah ini satir paling pahit dalam sejarah republik?
Refleksi: Apa yang Bisa Dilakukan Rakyat?
Pertanyaan terakhir adalah: apakah rakyat akan terus terjebak dalam mimpi 20 juta per bulan itu? Ataukah mulai sadar bahwa oligarki hanya bisa dilawan dengan kesadaran politik kolektif?
Selama rakyat masih sibuk diprovokasi dengan isu identitas, saling curiga, dan disibukkan oleh gimmick politik, oligarki akan terus berpesta.
Dan mungkin, suatu hari nanti, kita akan benar-benar sadar bahwa kemerdekaan ekonomi belum pernah kita raih.
Referensi:
*Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.
*Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.
*BBC Indonesia (2023). Indonesia kaya SDA, tapi rakyat miskin: mengapa?
*Pernyataan Mahfud MD, Podcast Denny Sumargo (2024).
*Said Didu, berbagai pernyataan publik (2024).
Prabowo Subianto: " Paradoks Indonesia", 2025.
Disclaimer:
Tulisan ini bersifat analisis kritis dengan gaya naratif satir. Tujuan utamanya adalah menggugah kesadaran publik mengenai ketidakadilan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Tidak dimaksudkan untuk menyerang individu atau institusi tertentu, melainkan sebagai refleksi sosial-politik yang berbasis pada data dan literatur.
#MahfudMD #Oligarki #IndonesiaKayaRakyatMiskin #Parcok #GengSolo #SumberDayaAlam #KeadilanSosial