Oleh: Ronald Sumual Pasir
Ketika video viral menampilkan beberapa negara Afrika secara tegas menolak tawaran "bantuan besar" dari pemerintahan Donald Trump, banyak orang mungkin terkejut. Mengapa negara-negara yang selama ini dicap miskin dan terbelakang justru menolak paket bantuan ekonomi dan aliansi militer dari negara adikuasa seperti Amerika Serikat? Bukankah bantuan semacam itu biasanya diterima dengan tangan terbuka?
Namun dunia telah berubah. Afrika hari ini bukan Afrika abad ke-20. Penolakan ini bukan sekadar reaksi spontan, tetapi merupakan sinyal perubahan paradigma: tentang kedaulatan, tentang martabat, dan tentang sejarah panjang eksploitasi.
Bantuan yang Tidak Pernah "Gratis"
Selama ini, istilah "bantuan luar negeri" dari Amerika Serikat seringkali hadir dengan embel-embel tersembunyi. Bantuan keuangan, pembangunan infrastruktur, bahkan subsidi makanan, pada akhirnya mengikat negara penerima dalam ketergantungan sistemik. Hal ini dikaji secara mendalam oleh Dambisa Moyo, ekonom asal Zambia, dalam bukunya Dead Aid (2009). Menurut Moyo, bantuan luar negeri tidak hanya gagal mengangkat Afrika dari kemiskinan, tapi juga menciptakan siklus korupsi, ketergantungan, dan lemahnya akuntabilitas pemerintah lokal.
Dalam konteks Donald Trump, pendekatannya terhadap negara-negara Global South (termasuk Afrika) sangat transaksional. Dalam banyak pidatonya, Trump menegaskan bahwa Amerika tidak akan memberikan bantuan secara cuma-cuma. Bantuan harus diikuti oleh "loyalitas", "dukungan diplomatik", atau bahkan kesediaan untuk menjadi pangkalan militer.
Maka, penolakan negara-negara Afrika terhadap tawaran Trump bukan semata-mata penolakan terhadap uang, tetapi terhadap bentuk kolonialisme baru yang dibungkus dalam amplop dolar.
Jejak Imperialisme AS di Afrika
Amerika Serikat memang tidak memiliki sejarah kolonialisme langsung di Afrika seperti Inggris, Prancis, atau Belgia. Namun, sejak era Perang Dingin, AS aktif menanamkan pengaruh melalui program bantuan, pelatihan militer, dan intervensi politik. Contoh nyata adalah dukungan CIA terhadap kudeta Mobutu Sese Seko di Kongo tahun 1965, yang menumbangkan pemerintahan sah Patrice Lumumba --- pahlawan anti-kolonial yang progresif.
Dalam dekade terakhir, kehadiran AS di Afrika semakin bernuansa militer melalui AFRICOM (United States Africa Command). Pangkalannya tersebar di beberapa negara seperti Djibouti, Niger, dan Kamerun. Dalam laporan The Intercept (2018), AFRICOM dituding melatih pasukan-pasukan lokal yang kerap melakukan pelanggaran HAM terhadap warganya sendiri atas nama perang melawan terorisme.
Jadi, ketika Trump menawarkan "aliansi militer" sebagai bagian dari paket bantuannya, negara-negara Afrika tentu mengingat kembali luka lama: keterlibatan militer asing kerap hanya menciptakan konflik baru, bukan stabilitas.
Kedaulatan Sebagai Harga Mati
Negara-negara seperti Ghana, Rwanda, dan Namibia kini mulai menampilkan wajah baru Afrika: modern, berdaulat, dan tidak mudah ditundukkan oleh janji bantuan asing. Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo, dalam pidato terkenalnya di hadapan Presiden Prancis Emmanuel Macron (2017), dengan tegas menyatakan bahwa Afrika harus membangun dirinya sendiri tanpa terus-menerus mengandalkan bantuan asing.
Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Ghana misalnya, telah banyak berinvestasi dalam sektor energi mandiri dan teknologi lokal. Rwanda di bawah Paul Kagame berhasil menjadikan negaranya sebagai salah satu negara paling digital di Afrika, dengan infrastruktur e-governance yang canggih.
Dengan prestasi seperti itu, tawaran bantuan dari AS yang berbalut kepentingan politik dan militer dianggap sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa.
Bantuan Toksik dan Neoliberalisme
Bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan liberalisasi pasar juga sering memaksa negara penerima untuk membuka sektor-sektor vital mereka kepada korporasi asing. Lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia --- yang banyak didikte oleh kepentingan AS --- seringkali mensyaratkan privatisasi, penghapusan subsidi, dan deregulasi sebagai syarat bantuan.
Akibatnya, negara-negara Afrika kehilangan kendali atas sumber daya mereka. Seperti di Zambia, perusahaan tambang asing mengeruk tembaga dengan pajak sangat rendah, sementara penduduk lokal tetap miskin.
Penolakan terhadap bantuan ala Trump adalah juga penolakan terhadap model bantuan toksik neoliberal yang sudah terbukti gagal.
Perspektif Geopolitik: Afrika Tidak Lagi Tunggal
Dalam dua dekade terakhir, negara-negara seperti China, Turki, dan Rusia mulai menanamkan pengaruh di Afrika. China, melalui proyek OBOR (One Belt One Road), membangun pelabuhan, jalan tol, dan jaringan kereta api di banyak negara Afrika tanpa banyak syarat politik.
Meskipun pendekatan China juga tidak lepas dari kritik (seperti jebakan utang), banyak negara Afrika melihat China sebagai mitra alternatif yang lebih "netral" dibanding AS.
Hal ini menyebabkan tawaran Trump semakin kehilangan daya tawar. Ketika satu pintu ditutup, kini Afrika punya pilihan lain. Ini kekuatan baru dalam politik global.
Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia?
Indonesia harus belajar dari sikap kritis negara-negara Afrika. Dalam banyak kasus, Indonesia juga kerap menerima bantuan luar negeri yang mengandung "racun" dalam jangka panjang. Misalnya, proyek-proyek dengan pinjaman berbunga tinggi, atau alih-alih teknologi, justru mengimpor ketergantungan.
Pembangunan yang sejati harus bertumpu pada potensi dan kekuatan sendiri. Bukan menengadah, tapi menegakkan kepala. Jika negara-negara Afrika --- yang dulu dijadikan stereotip miskin dan lemah --- kini berani berkata "tidak", maka bangsa kita seharusnya juga bisa.
Penutup: Dunia yang Sedang Berubah
Penolakan terhadap tawaran bantuan Trump oleh negara-negara Afrika adalah bagian dari gelombang global yang menolak hegemoni lama. Ini bukan hanya soal uang, tapi tentang identitas, harga diri, dan hak menentukan masa depan sendiri.
Sudah waktunya negara-negara dunia ketiga tidak lagi dipandang sebagai alat, melainkan mitra sejajar. Dunia yang adil hanya akan lahir jika setiap bangsa, sekecil apapun, dihormati kedaulatannya.
Referensi:
1.Moyo, Dambisa. Dead Aid: Why Aid Is Not Working and How There is a Better Way for Africa, 2009.
2.The Intercept. "AFRICOM Is Quietly Building a Massive Base in Niger." 2018.
3.Al Jazeera. "Why Ghana's President Is Right About African Self-Reliance." 2017.
4.The Guardian. "Trump's Aid Policies Put a Gun to the Head of the Poor." 2018.
5.Council on Foreign Relations. "US Aid to Africa: A Strategic Tool." 2020.
Disclaimer:
Artikel ini ditulis untuk tujuan edukatif dan reflektif. Pandangan dalam artikel ini merupakan hasil analisis penulis atas isu-isu yang berkembang di ruang publik dan tidak dimaksudkan untuk menyerang pribadi atau kelompok tertentu. Penulis tidak memiliki afiliasi politik maupun kepentingan ekonomi dalam isu yang dibahas. Pembaca diharapkan tetap kritis dalam menyikapi informasi dan melakukan verifikasi dari berbagai sumber.