Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Mengenang Toko Buku Sari Anggrek dan Kematian Sebuah Toko Buku

1 Oktober 2012   10:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:25 2514 1
Saya membaca berita dari mailinglist bahwa Bapak Azhar Muhammad pemilik/pendiri Toko Buku (TB) Sari Anggrek (SA) meninggal dunia tanggal 30 September kemaren. Saya tidak ada hubungan apapun dengan almarhum apalagi dengan toko yang ia bangun. Nama beliau dan mungkin juga nama tokonya mungkin tidak familiar bagi orang di luar Padang atau di luar Sumatera Barat (Sumbar). Namun, bagi banyak orang di Padang (dan mungkin juga Sumbar) toko buku ini adalah bisa dikatakan sebuah ikon tersendiri.

Juga bagi saya.

Sekali lagi, saya tidak kenal dengan beliau secara pribadi. Sebagian pembaca mungkin juga tidak. Namun, bagi orang yang sering berkunjung ke toko buku milik beliau, terutama yang ada di perempatan jalan Permindo dan Ratulangi, mungkin satu atau dua kali pernah melihat beliau di toko buku tersebut.

Seingat saya beliau memiliki satu toko buku lain dengan nama Anggrek juga di jalan Permindo. Ada juga satu atau dua toko lain di Padang, yang sayangnya tidak lagi bisa saya ingat persis di mana. Jika ingatan saya tidak terlalu keliru, ada satu toko di jalan Ujung Gurun. Namun, saya tidak ingat pasti.

Nah, mengapa saya sangat terkesan dengan toko buku SA ini? Ceritanya dimulai, tentu saja, dari ayah kami.

Ayah kami adalah tipe orang yang senang dengan buku dan getol sekali memancing minat kami membaca. Saya masih ingat masa-masa kami dilanggani Majalah Ananda sejak saya masih SD hingga SMP(?) atau setidaknya ketika majalah itu tidak lagi terbit. Lalu di rumah saya masih ingat ada buku-buku terjemahan HC Andersen, buku-buku tentang tokoh dunia seperti Dunant, Nightingale, Keller, dll. Saya juga masih ingat dengan koleksi buku-buku superhero saya yang berlimpah-limpah, terutama Superman dan Batman.

Dan kaitan semua itu dengan kami adalah toko buku SA tersebut. Di awal tahun 80-an saya kira sudah ada beberapa toko buku lain. Namun, SA adalah yang paling terkemuka dan lengkap. Hari Ahad adalah hari di mana saya akan berkunjung ke sana. Saya didrop di sana lalu nanti setelah urusan orang tua saya selesai, saya akan dijemput kembali. Kala itu satu komik Superman hanya Rp500 sampai Rp750. Minimal satu eksemplar akan saya bawa pulang. Begitu seingat saya terus hingga saya tamat SD. Atau hingga komik-komik superhero itu berhenti terbit. Tiba-tiba saja, ketika SMA, saya mendengar bahwa Superman telah mati dan semua orang ribut.

Bagi saya masa itu telah berlalu bertahun-tahun yang lalu.

Namun, bukan berarti bahwa saya berhenti ke TB SA. Saya ingat masih sering ke sana mencari buku hingga saya kuliah dan setelahnya. Tahun lalu, misalnya, saya masih berusaha untuk menghubungi TB SA untuk mencari buku Giring-Giring Perak yang konon dicetak lagi dan dijual di sana. Sayangnya saya hanya bisa berkunjung ke sana secara virtual.

TB SA berubah cukup drastis dari masa awal yang saya kenal ketika Gramedia masuk ke Padang. Saya masih ingat bagaimana TB SA meniru cara penyusunan buku di Gramedia. Dan untuk menutupi sebagian pengeluaran mereka, menurut dugaan saya, TB SA kemudian memperluas bisnisnya dengan bisnis non-buku. Tidak lama setelah Gramedia masuk ke Padang dan menjadi pesaingnya, TB SA sudah mencoba menjadi swalayan. Ada barang kebutuhan harian di sana.

Bagi mereka itu mungkin adalah strategi untuk bertahan. Namun, bagi sebagian orang, misalnya saya, itu adalah tanda bahwa TB SA harus berjuang mempertahankan dirinya. Di tahun 80-an toko hanya di lantai 1 dan itu menjual buku dan turunannya.  Setelah Gramedia muncul menjadi pesaing, buku pindah ke lantai 2. Lantai 1 menjadi swalayan yang menjual beragam barang--walau belum menjual beras dan sabun (atau sudah?).

Gramedia bukan satu-satunya yang bertanggungjawab terhadap nasib TB SA. Pemerintah juga dan dalam hal ini ketidakmampuan pemerintah kota mengatur pedagang kaki lima. Dahulu, jalan Permindo rapi tanpa pedagang kaki lima. Saya tidak anti terhadap mereka. Tapi coba saja lihat kemudian (dan mungkin masih begitu sampai sekarang), pedagang kaki lima berjualan di sepanjang jalan tersebut menutupi toko-toko permanen. Padahal, seandainya dagangan mereka yang ditutupi, ladiang akan bicara.

Saya tidak tahu apakah almarhum telah mempersiapkan anak atau cucunya untuk mempertahankan bisnis yang telah ia bangun. Saat ini saya melihat sangat susah bagi sebuah toko buku untuk bisa bertahan hidup, kecuali di kota-kota besar. Dalam 6 bulan terakhir ini saya telah melihat, di kota Mataram, satu toko buku yang harus menutup usahanya dan yang lain merelokasi usahanya dan mempertahankan kas dengan usaha fotokopi. Toko buku yang terakhir ini menurut istri saya adalah salah satu toko buku tertua juga di Mataram.

TB SA sendiri juga telah menutup semua cabangnya, saya kira, sehingga mungkin hanya yang di perempatan Permindo itu yang bertahan. Dan ketika pendirinya telah mangkat, saya takut sendiri bahwa setelah ini TB SA akan hilang sama-sekali dan mengingat strategisnya lokasi mereka, di sana akan muncul waralaba internasional. Semoga saja tidak.

Bagi keluarga almarhum, saya menyampaikan belangsungkawa mendalam. Harus saya akui bahwa toko buku SA menjadi pustaka pribadi yang terawal dan terlama bagi saya. Saya yang sekarang tidak bisa tidak disumbang oleh toko buku tersebut. Semoga pengakuan ini menjadi amal bagi beliau.

Sleman, 1 Oktober 2012

P.S Beritanya ada di http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=35392#.UGm1x9X6Baw.facebook

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun