Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Belajar Menjadi Ibu

6 Desember 2020   23:03 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:38 47 1

Tiga puluh tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Namun, hidup bersamanya selama itu, belum juga membuatku tuntas mengenal dia, perempuan yang menghadirkanku ke dunia. Jujur, tiap kali aku mengingat sosok ibu, aku selalu merasa belum mengenal seutuhnya meskipun kami hidup seatap. Ibu, yang aku tahu, adalah pensiunan pegawai negeri, satu lagu kesukaannya Tak Ingin Sendiri-nya Dian Piesesha, pernah niat banget menerjemahkan lirik lagu Sewu Kutha-nya Didi Kempot dari lirik bahasa Jawa ke bahasa Inggris lalu dinyanyikan tiap ada kesempatan menyumbang lagu, doyan improvisasi resep masakan, pintar menjahit, serta piawai memijit.

Desember tahun ini, aku akan merayakan kenangan akan ibu. Pertama, kenangan 8 Desember 2016 ketika dia menemaniku memulai babak baru sebagai anak perempuan dewasa yang telah dianggap mampu menentukan jalan panggilan hidupnya. Kedua, 8 Desember 2020, aku akan mengenang 2 tahun wafatnya ibu. Ketiga, kenangan 31 Desember 2018, di malam tahun baru, ketika ibu kembali kepada Sang Pencipta.  Di tengah dekapan duka yang mendalam, orang-orang mengatakan bahwa ibu sudah bersama Tuhan, bahwa ibu tidak menderita lagi, bahwa ibu akan menjadi pendoa bagi anak-anaknya. Namun, yang kutangkap kala itu: ibu sudah tidak bersamaku lagi, aku sudah tidak bisa minta jajan kepadanya, aku tidak bisa lagi menunggu masakannya matang, ibu tidak akan pulang rapat membawa nasi kotak dan snack konsumsi. Pun aku tidak akan bisa lagi menerima oleh-oleh super duper enak sepulangnya dari dinas luar kota.

Ibuku punya motto "Life Long Education". Motto andalannya terpatri kuat hingga ke akun media sosial miliknya dan bagian "about" pada WhatsAppnya. Dan motto itu bukan sekadar motto supaya tampak keren dan berilmu, tapi Life Long Education juga diterapkan di dalam kehidupan nyata. Di rumah kami, ibu memiliki koleksi buku dan bahan bacaan melimpah mulai dari teori bahasa Inggris sampai Habis Gelap Terbitlah Terang, buku kumpulan surat yang ditulis oleh RA. Kartini. Tak puas memperoleh ilmu dari buku-buku, aku pernah melihat ibu menggunting artikel-artikel di surat kabar lalu ditempel pada buku catatannya. Pun, ibu rajin mencatat aneka informasi dari beragam sumber. 

Ibu sekolah pertamaku ketika di dunia ini diyakini tidak ada sekolah untuk menjadi seorang ibu. Sekolah milik ibuku dibangun dengan 3 pondasi, yakni ngopeni (memperhatikan), ngelingi (mengingat), nganakake (mengadakan (sesuatu)). Kurikulum sekolah ibuku sama tidak memiliki unsur paksaan, tapi praktik dari ngopeni, ngelingi, nganakake. Makna ngopeni adalah kesadaran untuk memperhatikan atau peka pada situasi sekitar; ngelingi bermakna mengingat lingkungan sekitar, dan nganakake bermakna memfasilitasi supaya sesuatu menjadi ada lalu bisa dialami. Layaknya konsep Life Long Education maka ngopeni, ngelingi, dan nganakake dijalankan sepanjang hayat secara berkesinambungan. 

Aku belajar banyak hal pertama-tama dari ibu. Sekolah ibu masih berdiri kokoh di dalam diriku. Sampai saat ini, aku merasa belum lulus dari sekolah ibu. Masih banyak pelajaran yang harus kupelajari, seperti belajar memasak dan menjahit. Kata ibu, memasak dan menjahit adalah keterampilan dasar yang wajib dipunya perempuan. Ketika pandemi Covid-19 belum melanda Indonesia dan dunia, ibu mencontohkan manfaat jika aku piawai memasak supaya bisa membuatkan masakan untuk suami dan anak-anak. Masakanku pun bisa dijual untuk menambah penghasilan. Lain halnya kalau aku bisa menjahit maka aku bisa menjahit baju anggota keluargaku. Kini, ketika Covid-19 menggoncang perekonomian warga dunia, kemampuan memasak dan menjahit akan menolongku bertahan, dengan cara berjualan makanan atau memproduksi masker. Bahkan aku bisa menolong orang-orang di sekitarku yang kehilangan pekerjaan dengan mengajak bergabung di dalam usahaku.

Konsep pendidikan yang kuterima dari ibu tentu saja memengaruhiku dalam memandang makna pendidikan sekaligus penerapannya. Dari ibu, aku melihat betapa pentingnya perempuan melek pendidikan. Pertama-tama untuk dirinya sendiri lalu diwariskan kepada keluarga kecilnya kemudian lingkungan sekitarnya. Menjadi seorang ibu, adalah jadi "manusia lapangan" yang siap sedia terjun langsung ngopeni (memperhatikan), ngelingi (mengingat), nganakake (mengadakan (sesuatu)) untuk anak-anak. Praktik ngopeni di antaranya mendampingi anak-anak belajar;  memerhatikan kebutuhan anak sebagai pelajar, anak, sekaligus individu. Ibu pun harus ngopeni wawasannya supaya seiring sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pun, seorang ibu tidak boleh anti membaca koran setiap hari. Seorang ibu diharapkan ngelingi kebutuhan anak-anak dan tentu saja eling kebutuhan zaman. Adapun nganakake bagi seorang ibu adalah menghadirkan dirinya secara utuh, sadar bagi anak-anaknya serta memfasilitasi kebutuhan anak-anak.

There’s no way to be a perfect mother and a million ways to be a good one,” kata Jill Churchill. Benar, tidak ada ibu yang sempurna dan semesta menyediakan jutaan cara untuk menjadi ibu terbaik versi masing-masing. Jika ibuku masih hidup, dia akan mengiyakan sebab sepanjang perjalanannya menjadi ibu, jalan yang dilalui tidak melulu mulus. Ibu pernah berselisih denganku, ibu pernah marah kepadaku, karena ketidaksempurnaan konsep pendidikan yang ada di kepala dengan kenyataan. Aku pun merasakan ketika cara didik ibuku tak selalu tepat, tak klop dengan pemikiranku. Namun, ketika ibuku tak lelah belajar untuk menjadi ibu terbaik bagi anak-anaknya, aku pun ikut belajar bersama ibuku.

Ibu, apa kabarmu hari ini? Terima kasih atas segalanya, ya. Salam dari anakmu...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun