Ia tak inginkan apa-apa, hanya segera pulang ke puri dan mengungkapkan semua yang telah ia ketahui kepada Ocean dan Sky.
Ia tak perduli pada kesehatannya, bahkan ia tak ingin segera berganti baju lalu masuk ke balik selimut, karena saat ini apa yang ia ketahui jauh lebih penting daripada apapun...
Sesekali petir sambar-menyambar di langit memekakkan telinga. Belum pernah Emily mengalami badai seperti ini di kota. Di pulau kecil ini tak ada penangkal petir maupun tempat berlindung dari hujan seperti pulau-pulau wisata.
Pulau ini masih begitu liar dan suram seperti sejarah hampir dua puluh tiga tahun silam!
Hutan dalam badai tentu saja bertambah tak ramah. Selain semak-semak belukar, tanah berlumpur dan becek, serta rerumputan tinggi liar dan membuat kaki gatal, malam berangin dan berhujan itu menjadikannya sebuah hutan dalam film horor dimana siapa saja bisa tersesat dan mati di dalamnya.
Dan ini bukan dalam permainan game online dimana ada selalu nyawa cadangan atau kesempatan kedua.
Tapi Emily tiba-tiba tak tahan lagi. Ia berhenti melangkah dan jatuh terduduk di bawah sebatang pohon besar.
Kedinginan menggigil dan memejamkan mata sementara rambutnya basah kuyup, begitu pula seluruh gaunnya.
'Kurasa aku akan mati di sini. Selamat tinggal, Ocean, Sky, dan semua misteri...'
(Sementara itu, sudut pandang kembar Vagano ketiga:)
'Aku tahu Emily pergi dari sini entah kemana, aku harus menemukannya. Ia sedang tak ada di puri ini, dan kedua Vagano lain itu, Ocean dan Sky, orang-orang yang kubenci, pasti belum menyadarinya!
Aku turun dengan hati-hati dari pohon di sisi balkon, entah kenapa aku merasa Emily ada di luar sana, ia sedang mencari sesuatu atau ingin menemui seseorang yang tak tinggal di sini. Ia pasti sama denganku, menemukan sesuatu di Lorong Bawah Tanah. Sama sepertiku berusaha mengungkap siapa aku ini?
Mungkin secara tak langsung ia mengenalku. Aku tak begitu mengerti.
Aku berjalan saja menembus hutan, pergi kemana kakiku melangkah.
Aku belum pernah kemari, jadi ini seperti petualangan kanak-kanak yang mendebarkan bagiku, dan aku tak takut pada hujan maupun badai petir, ini justru menyegarkan bagiku. Bisa menghirup udara segar luar lorong dan sejenak menghilangkan kejenuhan puluhan tahunku!
Syukurlah tadi dalam perjalanan keluar lorong, aku menemukan sebuah jubah hitam panjang, kurasa milik ksatria jaman dahulu, bertudung besar menutupi kepala dan tubuh kurusku sehingga hujan ini tak terlalu menggangguku. Kukenakan saja agar aku tak terlalu basah.
Dan aku terus berjalan hingga menemukan lagi kilauan kecil cahaya di bawah, sesuatu tergeletak di semak-semak.
Seseorang!
Emily! Ia ada di sini sesuai intuisi sederhanaku!
Mengapa ia selalu ada di mana-mana tanpa kami berjanji bertemu?
Tapi ia butuh pertolonganku, ia pasti pingsan lagi sama seperti tadi siang!
Tubuhnya segera kuraih dan kugendong, mencari sebuah tempat kering dan tertutup. Kurasa hutan ini tak terdiri dari pepohonan belaka. Pasti ada bukit atau gua batu di dekat-dekat sini.
Dan dalam keberuntunganku, aku menemukan satu tak jauh dari lokasi penemuan Emily.
Aku memang makhluk berpikiran sederhana, tapi aku tak bodoh.
Ia  harus dihangatkan agar tidak kedinginan.
Apa yang harus kulakukan?'