Kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor sebaran terhadap informasi semakin kuat, masyarakat semakin terbuka untuk menyampaikan aspirasi, salah satu cara adalah menjadi followers twitter tokoh-tokoh yang (seharusnya) merupakan salah satu dari sekian banyak aspirator rakyat. Seperti pada kasus surat yang pernah dilayangkan Melanie Subono pada Menteri Komunikasi dan informasi yang merupakan kritisi tentang sudut pandang Tifatul Sembiring terhadap ODHA. Ya, jika memang 'kebebasan' ini membuat aspirasi rakyat semakin bebas tersampaikan, inilah kalanya 'penampung aspirasi' menjadi 'teman duduk' bagi aspirator, bukan malah meninggikan dagu atau memberikan tanda seakan aspirator hanya boleh berbicara pada dinding yang membuat aspirasinya hanya akan terpantul lagi pada dirinya. Seiring dengan waktu yang bergulir dan trending topic yang terus berganti, pirsawan semakin menyuarakan aspirasinya lewat aneka media terutama media sosial. Justru kebebasan inilah yang akhirnya mendorong banyak masyarakat untuk berpikir, bahkan pengguna media sosial terkaget-kaget bahwa topik tentang penangkapan koruptor lebih 'hip' daripada topik tentang sejarah dan kemerdekaan di tanggal 17 Agustus, dimana pada media sosial banyak artis luar negeri yang justru membicarakan tentang kemerdekaan bangsa besar di ranah Pasifik ini. Lucu. Padahal ini mengindikasikan, bangsa ini tidak dipandang sebelah mata oleh dunia. Para artis dunia mengenal keindahan alam Indonesia yang luar biasa.
Jika memang Hari Kemerdekaan saja dapat terkaburkan, bagaimana kasus esensial yang lain yang sangat penting tidak akan menjadi konsentrasi. Seperti masalah hutan di Indonesia, masalah kerawanan pangan, krisis sungai sebagai komoditi air, pendidikan, sanitasi, kelunturan identitas bangsa, keindahan alam Indonesia sebagai potensi yang harus dipelihara, pendidikan anak bangsa yang berpotensi kuat memajukan bangsa untuk generasi mendatang, dan lain-lain hal.
Sebagai pirsawan di tengah kebebasan, tentunya sikap bijak adalah yang seharusnya dimiliki. Tapi memiliki sikap 'seharusnya' yang seragam bukan hal mudah, manusia terlahir dengan sejatinya pribadi yang tak sama, juga ketidakmerataan pendidikan, nalar, akses pengetahuan, sosial, dan ekonomi serta keberanekaragman budaya di Indonesia melahirkan sudut pandang yang beranekaragam pula dalam mengolah isi pemberitaan. Ada yang biasa saja menanggapi pemberitaan kasus yang sama, lalu berulang-ulang dibahas sebagai trending topic, ada pula yang menganggap bahwa di negara ini sekarang hanya ada 'satu kasus', ada pula bagian masyarakat yang menganggap diangkatnya topik dengan porsi berlebih adalah sikap menutupi kasus lain, seolah dibohongi oleh insan media tak sedikit masyarakat yang akhirnya skeptik, apatis, bahkan anarkis dengan hal-hal tersebut melihat kaburnya koruptor dengan alasan sakit, hilang ingatan, sakit jantung lalu 'tenggelam' begitu saja.Mungkin penjagaan penciteraan pemerintah akan menjadi biasa dan wajar dalam mental kita ketika media bersikap tepat sasaran dalam meredam risau pirsawan, dengan berlaga menangkap seorang koruptor ke Kolombia dengan (mengapa?) tidak ditangkap dahulu ketika koruptor 33 tahun itu ada di Indonesia. Perlu dimaklumi, di jaman kebebasan ini, media banyak keluar garis dari fungsinya sebagai penyirat fakta untuk masyarakat namun tak bisa pula kita menyalahkan media karena banyak pula yang (telah) berpikir bahwa di belakang media terdapat 'penggerak' penting yang menyangkut hajat hidup insan media. Penyampaian fakta semakin lama terkesan mengejar tuntutan rating, membuat setiap waktunya pemberitaan tentang kasus ini derunya tak mengenal waktu serta porsi.
Trend, memang bukan hal yang harus selalu berbentuk fisik seperti mode, musik, budaya, kebiasaan namun ada pula sebuah trend yang tak ayal sangat mempengaruhi psikologis manusia. Karena sesungguhnya manusia sendiri yang memegang kontrol terhadap trend, seperti maraknya penggunaan Blackberry di Indonesia yang berbeda dengan negara tetangganya Singapura yang marak menggunakan I Phone. Secara nalar, memang pastinya bukan Tuhan yang langsung mengarahkan hal tersebut.
Masyarakat memang telah terlanjur berada di tengah deru, dimana mencari fakta bagai mencari jarum di tumpukan jerami, untuk itu dengan semakin bertambahnya kaum terdidik di Indonesia-baik dari sekolah formal atau non formal atau terdidik dari pengalaman hidup sekalipun, yang berfikir dan semakin kritis dalam memecah fakta. Semangat kaum-kaum terdidik, sudah semestinya menjadi motor bagi pergerakan masyarakat seperti yang dicontohkan para pendahulu di jaman Kebangkitan Nasional 1920 dalam memecah keterbelakangan bangsa jaman kolonial agar semakin terbebas dari penjajahan. Tak ada bedanya dengan kini yang telah berselang 91 tahun kemudian, dimana penjajahan terarah pada pergerakan mental masyarakat luas.
200811- Mae Rahayu