Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

88). Kebebasan Dalam Keter'buka-buka'an

22 Desember 2010   04:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:30 281 0


. . .Dewasa ini topik 'sensual' tersebut sering mengundang debat. Hasilnya hampir dipastikan berakhir 'lakum dinukum' dari pihak yang pro kebebasan. "Bagimu caramu (hai kaum puritan/sok moralis!), bagi kami biarkan dengan hak dan cara kami, bebas terbuka semau kami. Kalau suka, bikin! Tidak suka, diam !"

. . . Kebebasan? Di era reformasi dengan euforianya, isyu ini sudah jauh mencari lahan tempatnya berpijak. Setiap orang menuntut hal itu ketika haknya untuk berekspresif, nota bene ingin berbuat apa saja kenapa sampai harus dibatasi. Jadinya, kenapa tidak boleh begini, kenapa tidak boleh begitu?

. . . Kebebasan? Siapapun inginkan itu. Kebebasan apa saja, tentunya termasuk bebas dari dampak buruk kebebasan itu sendiri. Seseorang dengan hak kebebasannya berpakaian tentunya inginkan kita hargai, tapi sulit menerimanya kalau caranya sudah melampaui batas. Buktinya? Kalau dengan kebebasan itu seseorang mau tampil bebas berbikini ria di ruang publik, di depan kita, di hadapan anak-anak kita, mereka yang moralnya perlu kita jaga dan selamatkan.

. . . Di tataran ini sering timbul debat, apa ukuran moral yang di pakai? Ukuran mana, apa. dan siapa yang kita pakai untuk membatasi tingkat kebebasan buka-bukaan seseorang. Adanya tanya itu saja sudah syukur! Tidakkah dengan itu berarti kita hanya perlu kata sepakat mencari dan menentukan batas itu. Dan bukan membiarkannya liar tanpa kompromi.

. . . Saya bukan penulis yang bisa dan baik merangkai secara sistematis semua argumentasi pro dan kontra seputar topik ini. Saya sendiri rasanya bukan termasuk di antara mereka yang ngotot dengan pakaian tertutup(ekstrim), atau di kelompok mereka yang berpakaiannya terbuka, tepatnya terbuka tanpa batas.

. . . Kalau begitu? Sikap saya adalah mencari solusi atau jalan tengah di antara: sayangkan kalau orang dipaksa harus tertutup tanpa batas dan diajak bebas, vulgar terbuka; tanpa batas pula.

. . . Tadi dibilang saya bukan penulis yang baik. Point-point pikiran saya terkadang hidup dalam realitas yang muncul di sekitar persoalan tersebut. Dengan kata lain saya enjoy mengulasnya point demi point pikiran yang timbul di seputar isyu kebebasan buka-bukaan. Karena aturan penulisan membatasi pengembangan materi sampai pada dipublishnya sebuah postingan, maka pikiran tentang hal tersebut akan saya tambah, tumbuh dan kembangkan dalam kolom komentar.

. . . Ok, point yang sempat saya tangkap dan angkat antara lain baru sebagai berikut:

01# Ada yang berpendirian: baginya seseorang pakai jilbab atau tidak pakai jilbab bahkan cara berpakaiannya se'sexy' mungkin, itu hak asasi setiap orang. Masalah siapa yang lebih saleh di hadapan Tuhan tidak ditentukan dari bajunya, melainkan isi hatinya. Tuhan melihat hati bukan pakaian.

. . RW* Saya sih sependapat dengannya, bahwa Tuhan tidak tertutup oleh pakaian, tapi bisa langsung membaca hati seseorang. Misalnya dengan tanpa berpakaian seseorang berniat maksiat atau tak sadar membuat orang lain berpikir maksiat melihat montok tubuhnya yang tanpa pakaian. Tuhan bisa membaca itu.

Sayangnya kita tidak bisa 'membaca' itu. Kita butuh pakaian untuk membaca seseorang beretika atau tidak, tanpa pakaian kita sulit membacanya dengan baik

02# Kita mendorong kesalehan baiknya mulai dari dalam hati, bukan tampak luarnya saja. Jadi perkara maksiat itu cara berpikir seseorang, orang yang berpikir maksiat itulah (Anda belum melakukan maksiat ya?) justru yang lebih buruk dihadapan Tuhan dibandingkan wanita yang pakai baju "seksi" tapi sesungguhnya berhati baik di hadapan Tuhan.

. . RW* Senang kalau bisa berpikir dan menjadi seperti itu. Rasanya kita semua bisa 'ke sana' dengan prinsip berpikir demikian. Untuk apa bertutup rapat dengan busana jilbab kalau hati dan pikirannya terburai oleh pikiran yang jorok. Tapi menurut hemat saya, selain syariat; menutupi aurat adalah upaya membatasi kita ke hal-hal yang tidak mampu secara indrawi kita kekang.

Kadang kita membutuhkan 'batasan' itu, tidak cuma bagi kita ; juga bagi anak-anak dan siapa yang kita perduli keselamatan imannya.

Ditanya apakah diri sendiri belum melakukan maksiat? Seandainya pernah, kita tidak harus membenarkan cara yang salah hanya karena kita pernah ada di sana, bukan?

03# Persoalan maksiat tidak selesai hanya dengan solusi "tutup aurat" karena banyak yang sudah ditutup auratnya, tetap aja mesum pikiran dan isi hatinya, jadi jalan keluar buat maksiat bukan membatasi cara berpakaian seseorang, ini intimidasi kepada kemerdekaan perempuan untuk berpakaian, lah wong otak cowoknya yang "ngeres" kok perempuannya disuruh repot-repot nutup bagian ini-itu, kalau jorok tetap aja jorok biar ditutup pakai semen sekalipun tubuh wanitanya.

. . RW* "...banyak yang sudah ditutup auratnya, tetap saja mesum pikiran dan isi hatinya". Kalau diperjelas yang pikirannya mesum perempuannya, atau lelaki yang melihatnya?

Pernah satu ketika selagi berjualan datang pembeli perempuan cantik yang celana pendeknya tinggal sejengkal jari dari selangkangan. Selagi melayaninya saya memperhatikan sepasang mata menatap tanpa jeda. Sampai giliran dia mau saya layani, kesadarannya belum beranjak dari 'situ'.

Sepengetahuan saya lelaki itu lumayan imannya, tapi tidak cukup untuk memalingkan dia dari godaan pemandangan yang datang di sekitar dia.

Kita tidak harus ekstrim menutupi aurat sampai dengan yang bukan aurat seperti di Afganistan itu, tapi tidak harus karena adanya ketertutupan se'misterius' itu lantas yang kita mau tuntut kebebasan terbuka tanpa batas, misalnya sampai telanjang.

Contoh di atas bukankah akan berbeda kalau saja wanita cantik itu mau tampil sedikit sopan, sehingga dengan itu orang lain akan 'sopan' melihatnya.

04# Kita perlu jadikan seks sebagai hal yang biasa, jangan ditabukan. Sama dengan organ lain, kebutuhan lain. Seks kalau ditutup-tutupi, yang ini tidak boleh, itu jangan; tanpa dijelaskan alasannya, bikin anak akan mencari sendiri dan berakhir di buku-buku dan situs porno.

. . RW* Artinya yang jadi solusi bagaimana memperbaiki cara dan bimbingan tentang seks kepada anak. Tidak harus buka-bukaan pakaian hanya untuk menjadikan ketelanjangan sebagai hal yang biasa. Sedemikian biasanya sampai seseorang dianggap tidak akan terangsang dibuatnya.

By : Rahayu Winnet

NB: Sampai di sini dulu point-point pikiran saya,  akan saya tambah, tumbuh dan kembangkan di kolom komentar. Silakan kalau ada pikiran pembanding atau sanggahan, mari kita bawa dalam tukar pendapat dan dialog perbedaan yang mencerahkan. Kita bisa berbeda, tapi tidak untuk 'berbeda'. Atau sekali berbeda tidak harus berbeda teruuuuuus.

Kalau bisa meminta, kesediaan untuk singgah dengan komentarnya diposting di bawah point-point pikiran saya,  yang sedianya mau ditambah terus. Kalau untuk mengomentari point pikiran saya yang mana, cantumkan saja nomornya.

Maaf, permintaan ini tidak bermaksud terlalu mendikte  siapa saja. Saya hanya coba belajar dengan satu format tulisan yang point-point pikirannya tumbuh dan kembang  serta spontan saya tuangkan. Jadi tidak harus menunggunya terkumpul lengkap, atau tersusun secara sistematis. Ke depan masih ada satu tulisan dengan format seperti ini; yaitu improvisasi kritisi saya terhadap keberadaan kompasiana. Ditunggu saja, soalnya saya sendiri saja tidak tahu dan selalu menunggu rencana muluk-muluk saya yang kadang tidak ketahuan rimbanya, kapan realisasinya.

Wassalam !

Tulisan Terkait:

49). Menghargai Kebebasan dalam Perbedaan, Sejauh Mana?

51), Syukur Mereka Mabok ! (Kebebasan Ekspresi Individu Di Ruang Publik, Sejauh Mana?)




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun