“Pokoke sing penting wong jowo” Kalimat itu acap kali saya dengar, terucap dari beberapa orang sewaktu ramai-ramai Pilpres 2009 lalu. Rupanya Ikatan Primordialisme (Kesukuan) masih kental merasuk ke dalam sanubari sebagian besar masyarakat Indonesia, sebuah fakta yang merugikan bagi bangsa ini. Semua suku di bumi pertiwi ini adalah baik dan punya hak yang sama untuk ikut membangun bangsa. Oleh karena itu seyogyanya paradigma berfikir seperti itu berubah demi kemajuan bangsa ini. Bahwa menjadi presiden adalah hak setiap warga negara dan pertimbangan memilih presiden haruslah berdasarkan kepada hal-hal yang Rasional, misalnya Integritas/Kejujuran, Kecerdasan, Visioner, Ketegasan, Tanggap dan Hatinya dekat dengan rakyat, dan lain sebagainya, tidak peduli berasal dari mana sukunya. Salah satu Contoh pemimpin saat ini (menurut pendapat saya) yang mempunyai syarat-syarat rasional dan telah terbukti kiprahnya dalam memimpin adalah Walikota Solo Bapak Joko Widodo atau lebih populer dengan nama Bapak JOKOWI (ini hanya salah satu contoh, mungkin saja diluar lebih banyak lagi tokoh yang sekaliber ataupun jauh lebih baik dari Pak Jokowi ini, tapi karena saya belum pernah mendengar dan belum tahu, jadi ini dulu yang saya jadikan contoh kasus). Notabene pak Jokowi adalah orang Jawa, dan saya secara pribadi bukan orang Jawa, bukan pula fans atau pendukungnya, namun bersimpati kepada beliau setelah melihat di tayangan Metro TV (Acara News Maker 02/08/2011) dan selanjutnya saya searching di Internet mengenai sepak terjang beliau selama 2 periode menjabat walikota solo (silahkan tanya sendiri Mas Google). Saya langsung berkhayal alangkah baiknya jika beliau mencalonkan diri menjadi Presiden di Pilpres 2014 nanti (Mohon Maaf kalau ada yang tidak setuju). Kesimpulannya adalah BIJAKLAH memilih pemimpin, jangan sampai kita salah dalam memilih pemimpin tertinggi bangsa ini, jangan sampai kejadian 2009 lalu terulang kembali, jangan sampai kita MENYESAL, tinggalkan tolok ukur dalam memilih hanya berdasar Ras, Suku ataupun Golongannya. Atau lebih parah lagi "Tertipu" oleh topeng kesantunan dan pencitraan yang dipakainya, atau badan yang tegap dan besar, atau rupa yang cantik atau tampan, atau hanya karena pandai berpidato dan beretorika dan lain sebagainya. Salam Indonesia Maju,
KEMBALI KE ARTIKEL