FAJAR mulai menyingsing. Pertarungan antara Kiran melawan Iblis Sapta Kupatwa masih berlangsung seru. Kiran yang dikeroyok, sama sekali tidak terdesak. Bahkan gadis cantik ini menjalani pertarungan dengan santai. Setelah beberapa jurus, dia menyadari kalau ketujuh lawan ternyata tidak luar biasa. Jika mau, Kiran bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Namun itu tidak dilakukan. Kiran sengaja menggunakan lawan untuk mengasah kemampuan. Seumur hidup, ini untuk pertama kali Kiran terlibat dalam perkelahian, melawan pihak yang benar-benar merupakan musuh. Selama ini dia mengolah kanuragan dengan ayah dan dua saudara lelaki. Karena hanya berlatih, pertarungan tak pernah dilakukan dengan serius. Berbeda dengan kali ini. Pihak lawan bermaksud menangkapnya. Dia menghadapi lawan yang nyata. Dia mengeluarkan jurus demi jurus, melihat bagaimana lawan kerepotan, dan di saat terakhir, dia mengubah jurus, tidak mau melukai lawan. Kiran, yang masih menikmati pertarungan, kaget ketika melihat Dhanapati sudah berada di halaman. Lelaki itu berdiri siaga dengan pedang yang menyeret tanah. Kenapa Dhanapati tiba-tiba keluar dari pondok? Pemikiran itu membuat Kiran memutuskan untuk secepatnya mengakhiri pertarungan, sebelum salah satu anggota Iblis Sapta Kupatwa menyerang Dhanapati!! Kiran menggerakkan selendang pelanginya. Selendang itu bergulung, mengeluarkan pendar cahaya yang menyilaukan. Indah. Dan sebelum lawan tersadar, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata ujung selendang menotok jalan darah lawan. Nyaris bersamaan, ketujuh lawan tumbang, tak mampu menahan kedahsyatan Paramastri Mataksi Hila (Bidadari Menanyakan Hukum), jurus kelima dari ajian Sebya Indradhanu Paramastri. “Ajian Sebya Indradhanu Paramastri ternyata bukan nama kosong. Sungguh merupakan kehormatan bagi kami bisa menyaksikan kehebatan ajian ini…” terdengar suara bening yang membelai telinga. Kiran terkejut. Dan menoleh. Entah sejak kapan dan dengan cara bagaimana, di sebelah kanan telah berdiri tiga orang. Satu perempuan dan dua laki-laki. Kiran memegang selendangnya erat-erat. Ada tiga orang yang tiba-tiba datang, tanpa dia sadari. Ini membuktikan kalau ilmu kanuragan mereka hebat. Jauh lebih hebat dibanding Iblis Sapta Kupatwa!! “Siapa kalian?” Kiran bertanya dingin, sambil menoleh sekilas ke arah Dhanapati. Apakah kehadiran ketiga orang ini yang membuat Dhanapati keluar dari pondok? “Kami bukan musuh, putri Kiran,” ujar si perempuan. “Namaku Durgandini. Ini temanku, Rakai Wanengpati. Dan itu, Ki Brengos. Kami datang dengan damai…” Kiran mengamati ketiga orang itu. Yang mengaku bernama Durgandini adalah perempuan berwajah cantik, berusia sekitar 30-an. Dia mengenakan pakaian dari sutra yang sangat tipis, membuat lekuk tubuhnya membayang dan tercetak indah. Lelaki yang disebut Rakai Wanengpati berwajah tampan, berusia 40-an tahun. Kendati mengenakan pakaian mewah namun Kiran langsung merasa muak. Ada sesuatu pada pandangan mata lelaki itu yang membuat Kiran merinding. Sementara Ki Brengos adalah lelaki kurus yang wajahnya dipenuhi jambang, yang menimbulkan kesan aneh. “Kalian mau apa?” “Kami datang untuk mengundang Putri Kiran ke kediaman kami. Tuan Muda kami ingin bertemu dengan putri,” sahut Durgandini. Nada bicaranya lembut dan sangat enak didengar. Kiran menggeleng. Kembali melirik Dhanapati yang menundukkan kepala. “Aku sibuk. Aku harus menyembuhkan temanku. Katakan saja di mana tempat Ketua Muda kalian. Jika punya waktu, aku pasti akan menemui kalian…” “Maaf putri Kiran,” ujar Durgandini sambil tersenyum manis. “Ketua Muda kami bukanlah orang yang suka ditolak. Jika dia menginginkan putri untuk datang sekarang, maka dengan cara apapun kami harus mengupayakan agar putri bisa datang. Mohon bisa dipahami…” Kiran menatap ketiga orang itu lekat-lekat. Walau bersikap sopan, jelas sekali kalau keinginan mereka tak bisa ditolak!! “Kalau aku menolak, kalian akan memaksaku? Kalian mau melanggar aturan dalam Kitab Kutaramanawa?” Kembali Durgandini terdenyum manis. “Kitab Kutaramanawa berisi hukum untuk masyarakat Wilwatikta (Majapahit). Namun kitab itu tidak berlaku untuk kami. Undang-undang kami dalah perintah Tuan Muda…” “Sudahlah nimas Durgandini, percuma bicara padanya. Dia harus ditundukkan dengan kekerasan…” Durgandini menatap Rakyan Wanengpati. “Ah, bilang saja kalau kau sudah tidak sabar untuk menyentuh kulitnya yang mulus!!!” Rakyan Wanengpati tersipu dan menatap Kiran dengan sorot mata buas, seperti pengemis kelaparan yang melihat paha ayam. “Baiklah, jika putri menolak untuk ikut dengan sukarela, terpaksa kami bertindak,” ujar Durgandini. Nada bicaranya masih lembut. “Ki Brengos, habisi pemuda itu dan bantu kami menangkap putri…!!” Ki Brengos yang sejak awal berdiam diri, mengangguk perlahan dan mendekati Dhanapati. “Jangan ganggu dia!!!” Kiran berteriak penuh khawatir, dan menyerang Ki Brengos. Yang diserang melompat menghindar. “Kau tak perlu mengkhawatirkan pemuda itu. Lebih baik kau memikirkan dirimu sendiri,” kata Rakyan Wanengpati, yang menghadang. Dengan kurang ajar dia menggerakkan tangannya ke dada Kiran!! Kiran tentu saja tak sudi dadanya disentuh lawan. Dia melompat dan mengayunkan selendangnya. Namun di saat bersamaan dia mendengar kisaran angin dingin. Durgandini menyerang dari samping. Gerakannya indah. Kiran kembali melompat menghindar. Dan dalam sekejap dia telah dikepung oleh dua kekuatan yang menghimpit.
KEMBALI KE ARTIKEL