Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Salah Kaprah dalam Budaya Njagong di Jawa

6 Januari 2023   20:00 Diperbarui: 6 Januari 2023   21:25 783 4

Mungkin, bagi orang di luar Pulau Jawa, budaya njagong (menghadiri hajatan) dan memberi sumbangannya yang akan saya bahas ini kurang familier. Tapi, bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur (saya kurang tahu budaya dalam memberi sumbangan untuk hajatan di Jawa Barat), terutama yang tinggal di pedesaan, budaya ini merupakan bagian integral dari kehidupan sosial mereka.

Saya sendiri baru mengetahui budaya semacam ini setelah tinggal di Jawa Tengah dan mendapat cerita dari suami, keluarga, dan orang-orang di sekitar yang mengetahui atau mengalami sendiri budaya ini dalam lingkup mereka. Dulu, ketika masih tinggal di Jakarta, rasanya tidak ada atau tidak terjadi budaya semacam ini, bahkan dari orang-orang Jawa yang hidup di sana.

Meski praktiknya bervariasi di setiap daerah, tetapi dalam budaya njagong di Jawa Tengah dan Timur, baik untuk acara pernikahan, khitanan, dan kelahiran bayi, ada semacam "aturan-aturan tak tertulis" yang berlaku dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal menyumbang atau memberikan amplop. Dan, inilah salah kaprah yang menurut saya terjadi di dalamnya.

Pertama, orang akan merasa malu jika tidak menyumbang sesuai nilai standar minimal. Punya uang atau tidak, jika diundang, maka setiap orang harus memberi jumlah minimal yang dianggap lumrah di wilayah tersebut untuk diberikan saat njagong.

Kedua, sumbangan yang diberikan ditentukan nominalnya berdasarkan jumlah (baik dalam bentuk uang atau barang) yang diterima penerima undangan dari sang pengundang hajatan dulu. Bingung? Jadi begini, misalnya si A dulu pernah memberi sumbangan senilai seratus ribu untuk acara hajatan yang diadakan si B, maka sekarang ketika si A mengadakan hajatan, si B harus menyumbang sesuai dengan jumlah yang (minimal) sama dengan nominal uang atau barang yang diterimanya dulu. Jika si A dulu memberi sumbangan pada 3 acara hajatan anak si B senilai @seratus ribu, maka si B juga harus memberikan jumlah nominal yang sama, yaitu 300 ribu kepada si A, meski si A hanya memiliki 1 anak. Ini istilahnya "mbaleke" atau mengembalikan. 

Ketiga, undangan hajatan tidak hanya diberikan kepada kerabat, tetangga, atau teman-teman yang dikenal oleh penyelenggara hajatan, tetapi biasanya juga dibagikan kepada seluruh warga desa, entah dikenal atau tidak. Dan, dalam budaya sosial di desa, jika sudah diundang, maka akan sungkan jika tidak datang dan menyumbang. Hal semacam inilah yang kemudian menyebabkan tradisi mengundang orang sedesa terus berlanjut, karena orang akan merasa "dulu sudah menyumbang, sekarang ya saatnya untuk disumbang," alias tidak mau rugi atau itung-itungan.

Keempat, ada semacam diskriminasi dalam pemberian undangan. Terhadap pribadi yang dianggap terpandang, tokoh, dan punya pengaruh besar akan diberi undangan "plus-plus", yaitu undangan yang disertai panganan istimewa, bukan hanya undangan "kertas" biasa. Jika sudah diundang dengan cara demikian, maka tentu yang bersangkutan akan "pekewuh" atau sungkan jika hanya menyumbang ala kadarnya atau dalam jumlah minimal yang lazim sekalipun.

Kelima, ada prestige tertentu bagi penyelenggara hajatan jika semakin banyak orang datang dalam hajatan yang diadakannya. Sebab, banyaknya orang yang datang menjadi penanda posisi/status sosial dan kemampuan penyelenggara hajatan di wilayahnya. Gengsi sosial sangat berperan di sini. Bahkan, hiburan yang dihadirkan pun dapat menjadi penanda sukses atau tidaknya hajatan.

Keenam, tidak ada pengecualian yang berlaku pada aturan "tidak tertulis" dalam hal memberi sumbangan ini. Artinya, hal-hal tersebut berlaku bagi semua warga tanpa pandang bulu, baik bagi orang kaya, sederhana, miskin, tokoh, bukan tokoh, orang terpandang, atau warga biasa. Buruknya kemudian, ada sanksi sosial bagi mereka yang tidak mengikuti aturan tsb, baik dengan digunjingkan, mendapat stigma "pelit", "tidak lumrah", "antik", dsb, bahkan terkadang bisa sampai berujung pada "pengucilan". Ini yang membuat orang akhirnya "dipaksa" atau terpaksa untuk terus ikut dan melanggengkan budaya ini.

Jika ditilik asal muasalnya, maka budaya hajatan ini sesungguhnya memiliki makna, maksud, dan tujuan yang baik. Dulu, hajatan dilakukan oleh warga dalam kerangka bersyukur untuk berbagi berkat dengan kerabat dan tetangga, sekaligus pula untuk mengikat kerukunan antar sesama warga. Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang makin bersifat materialistis dan egois, budaya hajatan dengan sumbangannya itu sekarang menjadi salah kaprah dalam spirit, maksud, tujuan, bahkan hasilnya.

Secara spirit, budaya hajatan ini tidak lagi didorong sebagai momen atau acara untuk mengucap syukur, melainkan bertendensi menjadi ajang untuk menaikkan atau mempertahankan gengsi sosial, bahkan sebagai cara untuk mendapat keuntungan ekonomi dengan menyebar sebanyak mungkin undangan yang akan berimbas pada hasil sumbangan yang diperoleh.

Maksud dan tujuan hajatan juga bukan lagi untuk mengikat relasi sosial dan demi terjalinnya kerukunan sesama warga, karena sudah lebih bernuansa untuk mbaleke sumbangan (mengembalikan sumbangan yang dulu diterima), tidak mau rugi dan itung-itungan, terpaksa (pekewuh, sungkan, atau takut digunjingkan atau dikucilkan), atau karena gengsi semata.

Hasilnya? Banyak orang, terutama warga berpenghasilan kurang maupun pas-pasan sangat dirugikan akibat budaya njagong dan nyumbang hajatan yang sudah jadi kelumrahan ini. Mereka terlilit utang, menjadi semakin miskin, dan terjebak dalam arus sosial yang sama sekali tidak berpotensi membawa kemajuan bagi kehidupan mereka. Dan, ini fakta. Asisten rumah tangga saya pernah bercerita bahwa pohon jati kebun yang merupakan aset berharga milik keluarganya di Ponorogo sampai habis dijual akibat budaya menyumbang hajatan ini. Tidak cukup sampai di sana, orang tuanya juga harus terus menerus berutang saat musim hajatan tiba. Kondisi tersebut membuat dia dan saudara-saudaranya jadi tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah setelah lulus SMP, yang tentu berpengaruh pada masa depan mereka.

Melihat dan mendengar fenomena ini, saya kok jadi berpendapat bahwa budaya semacam ini bukan budaya yang baik untuk terus dilanggengkan, terutama pada penerapan aturan "tak tertulisnya" dalam memberi sumbangan. Mengadakan hajatan mantu, khitanan, atau syukuran kelahiran tentu sah-sah saja dilakukan, bahkan jika terselip tujuan atau maksud untuk menaikkan gengsi sosial di sana. Namun, ketika acara-acara semacam ini diselenggarakan untuk mencari keuntungan ekonomi dan menaikkan gengsi/status dengan cara membuat orang lain "dipaksa" dan "terpaksa" menyumbang dengan dalil kelumrahan, bagi saya itu sudah menjadi budaya yang tak masuk akal dan tidak mendidik.

Bukankah seharusnya kita menyumbang atas dasar keikhlasan, kemampuan, serta konteks keadaan dari orang yang disumbang? Bukankah lebih baik jika kita menyumbang dalam jumlah yang lebih banyak kepada mereka yang kurang mampu, dan tidak apa jika menyumbang lebih kecil/sedikit bahkan jika tidak menyumbang sama sekali kepada penyelenggara hajatan yang sudah memiliki kondisi ekonomi mapan, berkecukupan, bahkan berlebih? 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun