Sayang, Tak Mesti Memiliki
DN Sarjana
"Sebenarnya saya tak ingin mengungkit masa lalu ini Lastri. Sebab hanya akan membuka luka lama yang telah Aku kubur dalam-dalam," ucap Intan ketika Lastri menemani Intan makan bersama di sebuah warung diseputaran Kerobokan.
Lastri terdiam karena ia melihat raut wajah Intan menahan kesedihan mendalam. Dari sorot mata, ada air mata yang tertahan. Sambil mempermainkan hidangan makanan khas tradisional Yogja, tiba-tiba Intan mengambil tangan Lastri dan melanjutkan ucapannya.
"Lastri. Kau sahabatku yang paling setia. Beri daku kesempatan mencurahkan perasaanku biar duka yang menggelayut bisa kulepaskan." Intan tak lagi bisa menahan air matanya menitik dipipinya. Lastri menyodorkan tisu sambil menggenggam tangan Intan.
"In. Sebenarnya aku masih tak percaya apa yang terjadi saat ini. Delapan tahun aku menemanimu ditempat kerja, tak sekalipun kamu pernah curhat tentang masa lalumu."
Intan menghentikan ucapannya, sambil menyodorkan teh hangat kepada intan.
"In, minum dulu. Biar nafasmu terasa lega." Ucap lastri sambil menyodorkan teh hangat yang ada di depan Intan. Tak berselang lama Lastri melanjutkan perkataan.
"Kalau kamu masih percaya padaku, tak ada salahnya kamu berbagi. Siapa tahu aku bisa mengurangi beban yang ada dihatimu."
Sampai disitu, hujan yang sedari tadi turun semakin deras disertai hembusan angin. Suasana joglo tempat makan yang begitu indah dan asri, menjadi tak seindah yang dirasakan Intan dan juga Lastri.
Lastri diam seribu bahasa, sambil menunggu entah apa yang akan diucapkan Intan. Walau hanya sebatas teman kerja, tapi lastri merasakan pertemanannya dengan Intan bak saudara.
Pernah suatu saat Intan menyampaikan tentang kehidupan rumah tangganya yang kurang harmonis karena sampai saat ini belum ada momongan yang menghibur.
Kondisi ini menghantui pikirannya tentang cinta masa lalu.
"Las. Kamu janji ya jangan cerita kepada siapapun. Ini peristiwa yang paling rahasia yang lama aku pendam. Hanya kepada kamu aku katakan." Ucap intan sambil mengunyah ubi goreng.
"In. In. Sejak kapan kamu tak percaya lagi padaku! Bukankah delapan tahun aku menemanimu. Apa pernah aku melukai perasaanmu?" Kata Lastri sambil memegang bahu Intan.
Tampak hari semakin sore. Hujan reda sejenak. Intan dan Lastri mulai menikmati hidangan yang tersaji. Alunan musik sayup terdengar mungkin sedikit menentramkan perasaan Intan.
Tanpa rasa ragu, Intan memulai ceritanya. Dulu ketika kuliah, Intan memberi harapan cintanya pada seorang pria namanya Eko. Walau berbeda universitas, namun mereka bisa menjaga hubungan itu dengan baik. Sampai kemudian mereka sama-sama menamatkan kuliah.
Seiring waktu, mereka kemudian menjalani karier masing-masing. Mereka terpaksa hidup berjauhan. Entah siapa yang memulai hubungan mereka mulai goyah. Hingga suatu saat.
"In, kamu serius masih mencintaiku?" Kata Eko saat mereka bisa bertemu.
"Apaan sih kamu Mas. Enam tahun bukan waktu yang pendek. Apa masuk akal aku menjauh darimu?" Ucap Intan dengan suara sedikit meninggi.
"In, maksudku bukan seperti itu."
"Lalu?" Intan berusaha menahan emosinya sambil berdiri sedikit menjauh.
"Tapi setiap aku mengajakmu membangun rumah tangga, kamu selalu mengelak. Bukankah itu pertanda kamu ingin menjauh dariku secara halus?"
Sampai disitu Intan menghentikan ucapannya. Ia terlihat menatap jauh. Jauh menerawang atas bayang kesalahan yang ia perbuat.
Tak seorangpun kan tahu betapa berat Intan menjatuhkan pilihan. Satu sisi ia harus menjaga perasaan dan kasih sayang kepada kedua orang tuannya. Sementara pilihan lain Intan tak ingin melepas kekasihnya.
Walau ia tahu yang manapun dipilih, semua akan meninggalkan luka, namun kasih sayang kepada orang tua tidak akan ada tuk kedua kalinya. Intan kemudian memilih menjalin rumah tangga atas pilihan orang tuannya.
"Sudahlah Intan. Semua sudah berlalu. Mari kita tatap masa depan. Garis hidup tak seorangpun kan tahu akhirnya. Mari kita jalani." Lastri menutup dan mengajak Intan untuk pulang, teriring hujan berhenti membasuh bumi.
Kerobokan, 10 Pebruari 2025