Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mengajari "Anak" Iblis

27 Juni 2019   07:02 Diperbarui: 27 Juni 2019   07:47 49 0
Mengajari 'Anak' Iblis
Oleh : Nurohmat

Dalam sebuah syair yang dikutip oleh Al Ghazali dalam kitabnya, Ayyuhal Walad diterangkan laukaana lil 'ilmi minduunittuqo syarofun lakaana asyrofu kholqillahi ibliis, seandainya ilmu tanpa takwa suatu bentuk kemuliaan tentulah makhluk yang paling mulia adalah Iblis.

Al Ghazali melalui syair tersebut mencoba mengangkat perspektif bahwa dalam soal pengetahuan, baik yang dzahir maupun sirri, kemampuan iblis melebihi kita semua sebagai manusia. Namun, karena iblis merasa lebih tahu, lebih pandai, lebih senior, stratifikasi kesarjanaannya melampaui S1, S2, dan S3 bahkan profesor sekalipun, dalam suatu babak pre history dia tidak mau menghormati dan mengakui  keunggulan tertentu Adam, sang manusia pertama.

Iblis mafhum betul bahwa posisinya sebagai wakil Tuhan di Bumi bakal terancam oleh keberadaan Adam as. Iblis beranggapan bahwa manusia itu lemah, gampang lupa, mudah berbuat dosa, dan berbuat onar, ngapain Tuhan menciptakan calon pemimpin di Bumi model begitu. Bukankah sudah ada dirinya, yang lebih baik segalanya dari Adam, lebih taat dalam beribadah, lebih senior, dan jauh lebih berpengalaman ketimbang Adam as?

Iblis terlena dengan segala kelebihan ketaatan dan kelengkapan pengetahuan yang dimilikinya yang sejatinya adalah milik Allah SWT sehingga menumbuhkembangkan sifat takabur, sombong, dan mengingkari perintah Allah SWT.

Sikap Iblis berbeda dengan yang dilakukan oleh Nabi Khidir as. Meskipun Allah SWT sudah menegaskan kepada Musa as, bahwa Khidir as lebih unggul dalam aspek pengetahuan dibandingkan Musa as. Namun, Nabi Khidir as mengakui dengan kerendahan hati dan menyampaikan kepada Nabi Musa as bahwa dirinya hanya mengetahui sebatas pengetahuan  yang Allah SWT berikan dan  banyak hal yang tidak diketahui olehnya atas pengetahuan yang Allah berikan terhadap Nabi Musa as.

Dalam hal ini, Nabi Khidir juga mengakui keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya, sekaligus mengakui bahwa Nabi Musa as pun memiliki keunggulan pengetahuan tertentu ketimbang dirinya. Hal ini berbeda dengan sikap  sebagian manusia zaman now  yang merasa lebih tahu ketimbang orang lain ditengah-tengah melimpahnya sumber informasi dan pengetahuan.

Yang dikhawatirkan adalah muncul manusia bertipologi iblis, sehingga mewarisi sebagian sifat genotif dan fenotif Iblis, menjadi anak Iblis yang merasa lebih tahu, lebih pandai, lebih berpengalaman, lebih taat dan lebih suci.  Kesemuanya itu mewujud dalam afektif, kognitif, dan psikomotorik. Afeksinya memiliki sikap iri,dengki, dan curiga. Kognisinya menjadi dungu, dan  psikomotoriknya diarahkan untuk menjilat pejabat, karena memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin atau mempertahankan kepemimpinannya.

Untuk mengajari manusia bertipologi demikian tidak ada seorang gurupun  yang sanggup mengajarinya, tidak ada seorang tabib atau dokterpun yang bisa menyembuhkannya, kecuali Tuhan sendiri yang memberikan pelajaran terhadapnya. Seperti apa yang di akui oleh Nabi Isa as, "Atas izin Allah aku bisa menyembuhkan orang buta, bisa menyembuhkan orang lumpuh, dan bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati, tapi aku tak mampu menyembuhkan orang yang dungu".

Untuk menyikapi manusia yang bertipologi anak Iblis, hal  yang sangat mungkin bagi kita sebagai manusia biasa, selain mendoakan kebaikan baginya adalah menghindari dan berlindung dari kejahatan manusia yang bertipologi demikian.
Wallahu'alam



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun