Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Mengapa Fakultas Kedokteran Menjadi Incaran Mahasiswa Baru?

14 Juli 2025   21:14 Diperbarui: 14 Juli 2025   21:14 77 4


Di setiap musim penerimaan mahasiswa baru, Fakultas Kedokteran tak pernah sepi peminat. Justru sebaliknya: ia seperti magnet besar yang menyedot ribuan harapan dari para siswa berprestasi di seluruh penjuru negeri. Nilai rapor terbaik, skor UTBK tertinggi, dan modal ekonomi yang tak sedikit dikumpulkan demi satu tujuan: diterima di Fakultas Kedokteran.

Namun, benarkah menjadi dokter adalah tujuan sejati mereka? Atau jangan-jangan, mereka hanya sedang berjalan dalam lorong tradisi panjang: bahwa menjadi dokter adalah puncak pencapaian hidup, simbol kemuliaan sosial, dan jalan menuju "sukses" versi lama yang diwariskan turun-temurun?

Mari kita coba memeriksanya.

Kedokteran dan Mitos Kesuksesan

Di tengah kehidupan yang semakin berisik oleh segala bentuk profesi baru --- dari selebgram hingga data scientist, dari pebisnis kripto hingga desainer UI/UX --- profesi dokter tetap berdiri kokoh sebagai pilihan "paling aman dan paling tinggi." Banyak orang tua masih menyimpan mimpi lama bahwa menjadi dokter adalah garansi kesuksesan: status sosial tinggi, pekerjaan mulia, dan penghasilan besar.

Tak heran, banyak siswa berprestasi diarahkan --- bahkan dipaksa secara halus --- untuk masuk Fakultas Kedokteran. Tak peduli apakah mereka menyukai biologi atau tidak, apakah mereka bisa tahan belajar sepanjang waktu atau tidak. Pokoknya, kalau otaknya cemerlang dan keluarganya mampu, masuklah ke kedokteran.

Di sinilah kita mulai melihat ironi.

Sebuah fakultas yang seharusnya dihuni oleh mereka yang punya panggilan nurani, empati tinggi, dan ketangguhan mental justru dipenuhi oleh kompetitor nilai tinggi. Ya, otak-otak cerdas, tapi belum tentu jiwa-jiwa peduli.

Romantika Menjadi Dokter

Menjadi dokter bukan hanya soal nilai tinggi dan hafal ratusan istilah latin. Ia adalah sebuah laku hidup. Jalan panjang dan melelahkan yang tak berhenti setelah wisuda. Bahkan bisa dibilang: hidup dokter baru dimulai setelah lulus.

Lulus kedokteran bukan akhir, tapi awal dari jalan sunyi nan terjal: koas, internship, pendidikan spesialis, jaga malam, pasien darurat, tuntutan hukum, hingga risiko burnout yang sangat nyata. Seorang mahasiswa hukum bisa langsung bekerja setelah lulus. Mahasiswa manajemen bisa melamar kerja ke bank setelah wisuda. Tapi dokter?

Dokter baru bisa praktik setelah bertahun-tahun lagi.

Di titik ini, banyak idealisme mulai menguap. Banyak mahasiswa kedokteran yang dulu penuh semangat mulai bertanya dalam hati: "Benarkah ini jalan hidupku? Atau aku hanya tersesat terlalu jauh?"

Tantangan Masa Depan

Dunia kedokteran sedang berubah. Dulu, dokter dianggap pusat pengetahuan. Sekarang, pasien bisa "kuliah online" lewat Google. Mereka datang membawa hasil pencarian sendiri, lengkap dengan "diagnosa" dan "obat" yang mereka yakini benar. Dokter bukan lagi satu-satunya sumber kebenaran medis.

Lebih jauh, teknologi seperti AI dan telemedisin mulai menggeser cara kerja dokter. Algoritma bisa membaca hasil rontgen lebih cepat dan akurat. Chatbot kesehatan bisa memberi saran awal sebelum pasien menemui dokter sungguhan. Kita belum tahu apakah ini ancaman atau peluang. Tapi yang jelas, dokter masa depan tak bisa hanya pintar biologi. Ia harus melek teknologi, fleksibel, dan terbuka pada pembaruan.

Dan jangan lupa satu hal penting: sistem kesehatan Indonesia masih tambal sulam. Distribusi dokter timpang. Fasilitas minim di daerah. Birokrasi rumit. Gaji dokter muda yang belum sesuai beban kerja. Semua itu adalah kenyataan yang harus dihadapi generasi mahasiswa kedokteran hari ini.

Lalu, Mengapa Masih Banyak yang Mengincarnya?

Karena menjadi dokter, bagaimanapun, masih memancarkan aura prestise. Di tengah ketidakpastian profesi lain, dunia kedokteran tetap dianggap "pasti." Dan ini manusiawi. Kita semua ingin hidup yang stabil, pekerjaan yang dihormati, dan rasa bangga ketika keluarga menyebut profesi kita di acara arisan.

Namun, mungkin sudah waktunya kita menyaring ulang motivasi itu. Jangan-jangan kita sedang memuja gelar "dokter" lebih dari merayakan makna sesungguhnya: merawat kehidupan.

Menjadi Dokter: Jalan Sunyi yang Mulia


Bayangkan seorang mahasiswa kedokteran yang belajar sampai dini hari, tidak tidur demi mempelajari anatomi tubuh manusia. Bayangkan ia harus menyaksikan pasien meninggal, ikut menyampaikan kabar buruk pada keluarga, dan tetap tegar. Bayangkan ia harus jaga malam berkali-kali, menghadapi pasien yang datang dengan kondisi kritis, kadang kasar, kadang panik, dan tak jarang penuh tuntutan.

Semua itu hanya bisa dijalani jika seseorang punya kekuatan hati. Jika ia benar-benar ingin menolong sesama, bukan hanya ingin memakai jas putih untuk difoto di media sosial.

Menjadi dokter bukan soal tampil keren di balik stetoskop. Tapi soal komitmen panjang terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Sebuah Renungan

Barangkali, kita perlu mengubah cara berpikir tentang Fakultas Kedokteran. Jangan jadikan ia panggung kontestasi. Jadikan ia rumah bagi mereka yang benar-benar terpanggil. Bukan sekadar karena pintar, tapi karena peduli.

Bukan karena ingin kaya, tapi karena ingin menyembuhkan.

Bukan karena ingin status, tapi karena ingin berada di sisi manusia lain di saat mereka paling rentan.

Karena kalau tidak, kita hanya akan mencetak generasi dokter yang cepat lelah, mudah marah, dan hilang empati. Bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka sejak awal tidak datang dengan tujuan yang tepat.

Maka jika engkau hari ini seorang siswa yang bermimpi menjadi dokter, tanyalah pada dirimu sendiri: apakah ini panggilan hidupmu? Atau sekadar ambisi yang dititipkan padamu?

Dan jika engkau seorang orang tua yang ingin anakmu jadi dokter, tanyakan juga: apakah itu mimpinya, atau hanya mimpimu yang belum selesai?

Sebab Fakultas Kedokteran bukan pintu kemewahan. Ia adalah gerbang menuju tanggung jawab besar. Hanya mereka yang siap menyusuri jalan sunyi penuh dedikasi, yang pantas memasukinya.

Dan itulah kebenaran yang barangkali tak selalu diucapkan dalam brosur kampus. Tapi hidup akan selalu mengujinya. Mogi rahayu***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun