Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Mengingat Jaman Sudah Sangat Egois, Sulit Sepertinya bagi Mereka

28 Juni 2013   13:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:17 311 2




Membandingkan keadaan masa perang kemerdekaan sekitar 67 tahun yang lalu dengan jaman serba instan sekarang ini memang tidak adil rasanya. Para pejuang harus menempuh jarak ratusan kilometer melalui hutan dengan berjalan kaki, tidak memungkinkan untuk melintas kota karena bisa ditembak atau ditangkap sebagai tawanan. Mereka tidak mendapat bayaran, untuk mendapat makan pun dirasa sangat sulit, hanya mengandalkan hasil alam yang memungkinkan untuk dapat dikonsumsi. Tidur dikandang ternak bersatu dengan harumnya kotoran hewan untuk menanti matahari terbit dan kembali melaksakan tugas. Persenjataan hanya seadanya bambu runcing, panah, senjata modern pun hasil curian dari musuh. Hal itu terjadi setiap hari demi menggapai “sosok” Republik Indonesia yang untuh menjadi tanah air merdeka. Tidak bisa dibayangkan, perjuangannya tidak akan bisa dibayangkan memang.


Para pejuang tersebut tidak banyak kiranya yang mampu menyalurkan cerita dari lidah mereka, untuk mengisahkan kembali masa kejayaan ketika tenaga bagai kobaran api yang tak akan padam, sekalipun air menghujani mencoba memusnahkan. Amis darah menjadi bagian dari aroma peluh, tidak takut untuk kehilangan anggota tubuh, tidak takut akan musuh, matipun akan mereka tempuh. Yang diharapkan, yang diinginkan, dan yang didoakan adalah membebaskan Indonesia dari kekuatan para pencuri alam dan pemeras rakyat ibu pertiwi.


Ketika sempat berbincang dengan salah satu veteran perang kemerdekaan Republik Indonesia, bercerita tiada putus, hanya tarikan nafas dari tubuh yang sudah tua memenggalnya menjadi alur yang mengikuti arus. Beliau begitu bersemangat mengolah kata-kata dalam batasan usianya, dan ketika lupapun beliau bertanya “sampai dimana tadi?” kemudian ceritapun berhembus seakan merasa sulit untuk percaya.


Ada satu bagian cerita dimana beliau memperagakannya seperti adegan dalam film Matrix, saat Neo menghindari peluru-peluru dengan gerakan diperlambat. Beliau menambahkan “wong kalo perang wenak malem toh mbak” kemudian tersenyum “itu peluru yang datang dari musuh warnanya merah nyala, jadi kita bisa menghindarnya seperti ini” sambil memperagakannya, kemudian tertawa.


Saya hanya bisa tersenyum dan merasa wah, beliau menjadikan peristiwa yang bisa saja mengambil nyawanya itu menjadi hal yang lucu untuk diingat, unbelievable. Ketika saya tanyakan “mengapa bapak bisa ikut berperang?” beliau menjawab “waktu itu kan ada perintah dari pak Karno untuk mobilisasi umum, ya saya mendaftar wong saya merasa terpanggil” tuturnya.


Hanya kagum yang nampak diwajah saya. Banyak pertanyaan yang muncul dibenak saya. Bagaimana seorang remaja mendaftarkan dirinya untuk berperang? Bagaimana dengan remaja jaman sekarang? Bagaimana remaja jaman sekarang melihat sosok sepuh ini ketika sebaya mereka sudah berperang, sekalipun belum pernah memegang senjata? Bagaimana perlakuan bangsa dan negara juga rakyatnya terhadap para pejuangnya, terutama yang masih hidup? Melihat keadaan bapak pejuang veteran didepan mata saya ini memang sangat memprihatinkan. Masa seharusnya para pejuang yang masih hidup ini menikmati fasilitas yang layak dan pantas mereka rasakan. Segala kemudahan dan kecukupan untuk usia lanjut mereka dirasa tidak berlebihan mengingat perjuangannya tiada tanding.


Saya pun mencoba mencari jawaban sendiri, namun mengingat jaman sudah menjadi sangat egois. Sulit sepertinya.





28 Juni 2013

Novia Osian AP

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun