Mohon tunggu...
KOMENTAR
Parenting Pilihan

Pacaran Backstreet, Bilangnya Main ke Rumah Kawan, Eh Ternyata...

29 November 2022   14:43 Diperbarui: 29 November 2022   15:05 299 7

"Assalamu'alaikum... Putik. Assalamu'alaikum... Putik," terdengar salam dari luar pada Minggu 27 November 2022 di hari menjelang sore.

Saat itu, saya dan anak-anak tengah bersiap ke luar rumah. Tinggal menunggu anak pertama saja yang agak lelet. Kebetulan si bocil minta ke Mr. DIY di Depok Mall. Habis itu, baru makan di luar.

Setelah membalas salam dan diintip oleh Kakak Najmu, anak kedua saya, ternyata teman sekelas Kakak Putik saat SMP. Perempuan.

"Kak...ada temannya," panggil Kakak Najmu.

"Suruh naik ke atas aja," kata Kakak Putik.

"Masuk Nak, langsung ke kamarnya aja," kata saya mempersilakan. Saya lupa-lupa ingat apakah dia pernah main ke rumah? Soalnya seingat saya, temannya Putik ya itu-itu saja. Berempat, berlima, berenam.

Seingat saya, sepertinya belum pernah berjumpa dengannya. Tapi mungkin juga saya salah. Soalnya kalau di rumah, saya jarang banget pakai kacamata. Jadi, bisa saja raut wajahnya samar terlihat alias buram. Atau, bisa jadi saat dia ke rumah, saya sedang di luar.

Naiklah anak remaja itu ke lantai atas. Tidak lama kemudian ia turun, lalu pamit.

"Lha kok cepet amat pulang, baru juga datang," kata saya terheran. Padahal saya sekalian akan mengajaknya makan di luar bareng suami dan anak-anak.

"Iya Bunda, ke sini mah cuma alasan aja biar bisa ke luar rumah. Kalo bukan ke rumah Putik, nggak akan diizinin sama orang tua," katanya memberikan alasan.

"Terus sekarang mau ke mana?" tanya saya.
"Mau main bunda," jawabnya.

"Lha nanti kalo ayahnya jemput bagaimana?" tanya saya, soalnya dia tadi diantar ayahnya.

"Nggak kok Bund, tadi sudah bilang nanti langsung pulang," katanya.

"Bundanya Putik, aku pulang ya," katanya seraya mencium punggung tangan saya.

"Hati-hati ya nak," ujar saya.

Setelah diselidiki ternyata dia mau bertemu dengan teman prianya atau pacarnya. Mengakunya sih "teman". Saya pun mewanti-wanti anak saya untuk tidak mencontohi perbuatan temannya itu. Tidak baik berbohong begitu. Kalau nanti ada apa-apa, kan yang repot orang tua juga.

***

"Assalamu'alaikum, Putik...," terdengar ucapan salam pas adzan isya berkumandang. Hujan di luar baru saja turun dengan cukup deras.

Setelah diintip oleh bocil alias anak bungsu saya, eh ternyata teman anak pertama saya yang  tadi siang. Dia bertanya apakah Putik ada? Saya minta dia segera masuk.

"Lha kok balik lagi?" tanya saya. Bajunya agak basah terkena air hujan.

Raut wajahnya terlihat sedih. Sebentar-sebentar ia mengusap air matanya yang mau jatuh dari pelupuk matanya. Saya sudah worry saja apakah dia mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari pacarnya?

Alhamdulillahnya, ketika dia datang ke rumah, saya bersama suami dan anak-anak sudah sampai di rumah. Bagaimana kalau belum? Menunggu?

"Maaf Bunda Putik, aku balik lagi. Tadi ayah WA mau jemput di rumah Putik. Jadi aku balik lagi deh ke sini," jelasnya.

"Nah kan apa saya bilang, nanti kalo ayah kamu jemput bagaimana? Emang mau dijemput kapan?" kata saya.

"Habis ujan reda," jawabnya.

Saya lantas memintanya untuk berganti pakaian dengan memakai baju anak saya. Terus terang, saya agak lega juga sih dia balik lagi ke sini. Dari tadi kepikiran juga kalau terjadi apa-apa dengannya. Kan yang berabe saya saya juga.

Kan banyak berita tuh soal anak remaja hilang bersama teman prianya. Bilang ke orangtua kerja kelompok, eh ternyata pergi entah ke mana dan selama berhari-hari tidak pulang. Bagaimana orang tua tidak cemas coba. Bahkan sampai melapor ke pihak kepolisian.

"Maafin ya Bundanya Putik, aku jadi ngerepotin," katanya seraya permisi ke kamar anak saya di lantai atas.

***

"Bunda, aku pamit pulang ya, Ayah mau jemput," kata temannya Putik menghampiri saya di ruang tamu.

"Itu masih hujan juga," kata saya.

"Nggak apa-apa Bunda, aku tunggu di luar aja," katanya.

"Jangan. Tunggu di sini aja. Ayo duduk," kata saya.

Sambil menunggu saya pun mencoba mengulik mengapa ia sampai harus berbohong kepada orang tuanya. Kan ini menjadi pembelajaran buat saya, semoga saja anak-anak saya tidak demikian.

Dari mulutnya terungkap dia pacaran sembunyi-sembunyi dengan pacarnya. Kakak kelas. Hari Minggu dia ada date dengan agenda nonton film. Orang tuanya tidak akan mengizinkan ke luar rumah.

"Pasti nggak dibolehin," ujarnya lirih.

"Nggak boleh itu kan sebagai bentuk perhatian dan sayang orang tua. Kalau bilangnya main ke rumah teman eh ternyata ketemu pacar kan arti berbohong sama orang tua. Orang tua kan nggak mau anaknya kenapa-kenapa. Kan banyak kejadian," kata saya mengingatkan.

Saya penasaran juga kenapa orang tuanya mengizinkan anaknya main ke sini, ke rumah Putik? Apakah orang tuanya kenal betul dengan anak saya? Setenar itukah anak saya sampai ada orang tua hanya memberikan izin jika main ke rumah Putik?

"Oh iya, Bun. Putik sudah dikenal banget sama orang tua aku, makanya diizinkan," jawabnya.

Setahu saya, teman SMP ada juga yang bersekolah di sekolah yang sama dengan dia. Teman sekelas juga. Saya juga kenal dengan dia karena sering main ke rumah dan beberapa kali menginap. Logika saya harusnya yang dijadikan alasan ya dia saja bukan anak saya. Kan satu sekolah.

Ketika saya tanyakan, katanya rumah kawan yang satu lagi tidak sedekat ke rumah Putik.  Lagi pula tidak begitu dikenal oleh orang tuanya.

"Bundanya Putik, nanti kalo ayah tanya-tanya bilang aja emang main di sini ya," katanya.

"Emang bakal nanya-nanya? Kecuali kalau ayah kamu tuh temanan sama Bunda, entah itu teman masa sekolah atau teman kantor. Kayaknya sih nggak bakalan nanya-nanya," kata saya.

Tidak lama kemudian, ayahnya pun menjemput. Dia pun mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf.

***

Masuk masa pubertas, wajar saja sih remaja mulai tertarik dengan lawan jenis. Ketika dilarang pacaran oleh orang tuanya, tidak jarang ada anak yang nekat dengan menjalani pacaran backstreet alias pacaran diam-diam.

Pacaran backstreet pada remaja ini biasanya karena rasa takut terhadap orang tua.  

Saya sendiri melarang anak-anak saya untuk pacaran. Selain tidak diperbolehkan oleh agama karena perbuatan yang mendekati zina, juga khawatir akan mengganggu pendidikannya.

Kan masa pacaran itu tidak melulu selalu indah. Ada juga yang menyakitkan. Nah, apakah hati sudah cukup kuat menghadapi itu di saat emosi dan pikiran belum stabil? Tanpa pemikiran yang matang, remaja jadi rentan mengambil keputusan yang keliru.

Sebetulnya, selama anak tahu batas diri dan jujur kepada orang tua, mungkin orang tua akan sedikit melonggarkan. Bagaimanapun menyukai lawan jenis adalah salah satu tahapan yang akan dilewati remaja saat pubertas.

Nah, bagaimana jika orang tua akhirnya mengetahui anaknya pacaran secara diam-diam itu? Saya sih belum mendapati kedua anak saya memiliki rasa suka-sukaan pada lawan jenisnya. Bilangnya sih belum, tapi entahlah kalau secara diam-diam.

Kalau ini terjadi, saya akan mengajaknya mengobrol dengan santai. Membicarakan batasan berpacaran. Bercerita sejatinya dalam ajaran yang kami anut tidak ada istilah pacaran. Dilarang berpacaran maksudnya baik demi menjaga kebaikan bersama.

Saya akan melibatkan diri mengingat emosi orang dewasa jelas lebih matang daripada anak remaja. Melibatkan diri bukan berarti ikut campur atau mengganggu hubungan mereka.

Tapi bisa dengan bertanya mengenai apa yang mereka sukai dan tidak sukai dari pasangan. Jadi, akan terbentuk kejujuran dan kepercayaan terhadap orang tua.

Saya sih berharap anak-anak saya tidak berpacaran saat masih sekolah. Wong saya saja dulu tidak pacaran. Menikah dengan suami saja setelah melalui proses perkenalan selama 6 bulan, di bulan ke-7 lamaran, di bulan ke-8 merit deh.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun