Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Mencintai Mantan (2)

14 Januari 2014   21:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50 83 0
Cerita awal : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/01/13/mencintai-mantan-1-627632.html

Kududuki sebuah kursi panjang yang berada di dekat air mancur. Kerlip keemasan yang terpancar di beberapa titik sepanjang air mancur tersebut membuat hatiku semakin menggebu-gebu. Ini tidak seharusnya terjadi! Tidak! Tapi apa daya? Aku justru berharap dia mengerti alasan mengapa aku ‘membawanya’ mendekatiku.

Dan dia memang mendekat, kali ini duduk di sebelahku. Dia masih tertawa pelan, setengah ditahan. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menanyakan tentang persaannya terhadapku. Mungkin ini adalah cara Tuhan menjawab semua kegelisahanku. Mungkin…

“Aku senang bertemu denganmu hari ini,” ujarnya memecahkan keheningan, “Kau tahu, kau muncul di saat yang tepat.” Lanjutnya, kemudian menyisakan jeda panjang.

Kami sama-sama diam, sesaat aku menghirup napas kebahagiaan. Kalian dengar apa yang ia katakan? Aku muncul di saat yang tepat dan ia senang bertemu denganku. Sungguh! Kuharap aku punya harapan untuk kembali bersamanya.

“Farhan…”

“Arwen…”

Aku menatapnya lucu. Dalam detik yang sama, kami saling memanggil nama untuk berbicara. Dan dia berujar mengalah. Tapi aku menggeleng.

“Tidak, kau dulu.” Kataku cepat.

Dia mendelik heran, mungkin agak aneh karena mendadak aku bersikap dewasa—mengalah—hal yang menurutnya takkan pernah kulakukan seumur hidupku. Sifat yang selalu menjadi dalang di setiap permasalahanku dengannya sejak dulu. Dan sifat tidak mengalah itu juga-lah yang akhirnya memaksaku membuat keputusan terbodoh. Putus!

Aku ingin sekali berubah, melakukan hal-hal yang sekiranya dapat memperbaiki hubungan kami. Tapi, aku takut. Takut untuk memintanya kembali. Takut untuk menerima kenyataan bila nantinya dia justru menolakku.

Aku mengembuskan nafas yakin, “Tak ada lagi ladies first!” tegasku akhirnya. Dan lagi-lagi dia malah tertawa, seolah ada yang lucu di wajahku.

“Okey-okey… Kau menang.”

Aku tersenyum, “Jadi, apa?”

“Apa, apanya?”

Kupasang tampang sebal, “Farhan…”

“Jangan terlalu serius, Arwen.” Bisiknya lembut.

Dia penjahat! Dia selalu berhasil menguasai emosiku dengan desah suara yang mendayu itu. Dan setiap kali aku marah dengan rayuannya, dia akan semakin menggodaku dengan kalimat-kalimat yang akhirnya membuatku tertawa. Aku rindu momen itu, aku ingin mengulangnya. Maka kugunakan kesempatan ini. Segera kubuang muka, berpura-pura kesal karena desahan lembut suaranya. Kuharap, dia masih sama. Merayu dan membuat hatiku kembali berbunga.

“Aku hanya ingin tidak mengeluhkan hari ini.” Lanjutnya dengan tenang. Intonasi suaranya berubah, sepertinya dia sendiri yang memulai percakapan menjadi serius.

Dahiku mengerut bingung. Kutatap dia meminta jawaban, memang apa yang terjadi sebelumnya?

“Tadi pagi, Aira kritis. Kata dokter dia harus segera dioperasi. Kalau tidak, penyakitnya akan begitu-gitu saja bahkan semakin parah dan… Aku tak sanggup mengatakan kelanjutannya. Yang pasti aku ingin Aira sembuh. Aku ingin melihatnya tersenyum kembali, seperti bunga yang mekar. Aku tidak ingin melihatnya menderita karena sakitnya. Hanya saja, permasalahannya adalah… operasinya tidak bisa dilakukan di sini. Aira harus dibawa ke luar negeri.”

Aira… Ya, dia menjelaskan kisah sedih tentang Aira kepadaku. Kisah gadis yang muncul setelah perpisahanku dengan Farhan. Gadis itu—si Aira—kuakui cukup berani menyatakan perasaannya kepada mantan pacarnya—ah, terlalu sakit mengatakan Farhan sebagai mantanku karena nyatanya aku masih menganggapnya kekasihku. Dan ajaibnya Farhan tidak memberikan jawaban yang pasti, tetapi dia mengatakan bahwa ia akan menemani gadis itu melewati hari-harinya. Menyebalkan!

Aku tahu, dia tidak pernah mencintai Aira. Tidak pernah! Dia hanya kasihan kepada gadis itu karena dia sakit. Ya, sakit karena sebuah penyakit yang mematikan dan rasa kasihan yang berlebihan itu membuatku muak. Meski pada awalnya aku mencoba menerima penjelasan Farhan bahwa dia hanya ingin memberikan gadis itu semangat hidup, tapi lama-lama aku gerah. Aku ingin membuat Farhan menyadari perasaannya sendiri bahwa dia masih mencintaiku bukan gadis itu!

Benarkah, Arwen? Kau yakin dia masih mencintaimu?, lagi-lagi pertanyaan itu bersarang di benakku.

Bersambung...

By : Nela


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun