Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

Orang Pelabuhan Sekolah di Belanda # 5

17 Maret 2023   09:35 Diperbarui: 17 Maret 2023   09:48 984 3
1. 3. Ujian Anak Rantau

Ujian ketahanan itu pada ghalibnya terjadi sepanjang masa. Demikian juga bagi kami anak rantau di negeri orang. Berbagai hal dan keadaan yang berbeda menjadi pengalaman baru sekaligus sebuah tantangan yang terkadang terasa begitu berat.

Bagi kami 20 pria rantau berkeluarga ini, sebulan di Den Bosch berpisah dengan keluarga, membuat irama dan nuansa hati sering bergejolak. Membuat sedih, namun juga ada kalanya terasa menyenangkan menjadi seorang free man.

Tahun 1990, tentu belum ada yang namanya telepon seluler, gadget. Juga internet barangkali masih menjadi khayalan para jenius teknologi informasi. Kita berkomunikasi jarak jauh masih menggunakan perangkat sambungan kabel. Komunikasi para rantau dengan keluarga rendet tak lancar.

Ditambah lagi kebanyakan rumah kami di tanah air belum memiliki sambungan telpon. Sempurnalah sudah kendala komunikasi ini menjadi tantangan berat.

Surat tertulis berprangko menjadi sarana komunikasi utama. Di surat itu kita membuat janjian dengan istri, menentukan jadwal kapan akan bertelepon. Misalnya setiap hari sabtu jam 10 pagi. Karena isteri harus ke rumah tetangga yang memiliki telpon. Menumpang bertelepon, menunggu callingan dari Belanda.

Di kantor pos seberang stasiun sentral di Centrum kami akan membeli kartu telepon. Tinggal pilih yang harga 15 gulden, 25, atau 50 gulden tergantung waktu sambung yang diinginkan. Lalu menuju jajaran kotak telepon yang berderet di disamping gedung kantor pos.

Sebelum kita sampai pada adegan telponan jarak super jauh yang terkadang menjadi sebuah adegan dramatis, ada baiknya kita belajar konsep Centrum ala Belanda. Yaitu penerapan nyata perencanaan tata ruang dan transportasi publik, yang menurut saya efektif dan layak diadopsi.

Centrum adalah pusat kota. Tempat segala aktivitas berlangsung. Dari perkantoran, pertokoan, restoran, hiburan. Juga transportasi.

Kita semua tahu, di Belanda kereta api adalah prasarana transportasi utama, yang efektif dan paling ekonomis menghubungkan seluruh daratan negeri ini.

Letak stasiun utama kereta api selalu berada di jantung Centrum. Stasiun yang dibangun megah dan artistik.

Inilah yang perlu ditiru. Kalau kita keluar dari stasiun, akan bertemu dengan pangkalan dan terminal moda transportasi umum lanjutan. Yakni Trem atau Bus. Selalu seperti itu di setiap kota, integrated transportasi yang seolah menjadi jiwa perencanaan kota. Kemudahan, kenyamanan dan kecepatan terwujud dan nyata dirasakan. Efektif dan Efisien menghubungkan tempat asal sampai ke tujuan. Masyarakat sangat terbantu dan puas dengan sistem transportasi publik ini.

Lalu yang tak kalah krusial adalah manajemen halte. Telah menjadi hal yang sederhana, teraplikasi nyata dan lancar bagi pemerintah Belanda. Namun manajemen halte ini masih merupakan hal yang rumit dan menyebalkan bagi negeri kita. Barangkali 50 tahun, tata kelola dan pengaturan halte angkutan umum masih menjadi hal yang merepotkan. Kemacetan yang disebabkan angkutan umum berhenti dan ngetem di sembarang tempat masih terjadi dan menghambat kelancaran perjalanan. Kenyataan yang ironis, sering juga dilematis bagi para pejabat pemangku kebijakan publik.

Untuk urusan integrated transport ini memang kita masih jauh ketinggalan dibanding Belanda. Bagi institusi terkait mesti introspeksi, banyak evaluasi dan kemudian menetapkan strategi yang tepat serta eksekusi jitu untuk kemaslahatan publik. Ketegasan sangat diperlukan.

Itulah salah satu PR besar yang menantang. Dan mestinya segera diselesaikan.

Kembali ke acara telponan jarak jauh. Pada suatu sabtu pagi seolah janjian,10 pembelajar perantau telah berjejer di depan kotak telepon umum di Centrum.

Sabtu pagi memang waktu yang ramai untuk bertelepon. Sehingga kita harus mengantri di depan kotak telepon. Kami masing - masing telah membeli kartu telepon. Ada yang bernilai 15 gulden untuk 1 menit, 25 gulden durasi 3 menit dan juga 50 gulden, bisa 7 menit.

Salah satu teman memegang kartu 25 gulden. Giliran masuk kotak telepon transparan itu. Kami mengantri, menunggu giliran  di depan pintunya yang terbuka sedikit.

Begitu ceklek kartu masuk, teman itu mengucap halo. Lalu diam bengong. Tiba - tiba, masih mengangkat telepon teman itu menangis sesenggukan lama, tak henti - henti. Air mata berlinang dan ndlewer di pipi. Itulah tangisan senilai 25 gulden atau sekitar 20 USD. Hampir 3 menit menangis dan hanya mendengarkan entah berita sedih apa. Begitu giliran teman itu mau bicara, waktu 3 menit telah berlalu. Kartu telepon 25 gulden tak lagi berfungsi.

Masih dengan air mata di pipi, teman itu keluar kotak ingin meminjam kartu. Tentu kami keberatan, karena juga sudah kebelet untuk bertelepon memenuhi jadwal ketat yang sudah ditetapkan dengan nyonya. Yang pasti sudah menunggu di rumah tetangga.

Begitulah, setiap bertelepon menjadi momen suka duka melo drama. Ada yang menjadi sangat sedih setelah bertelepon, ada pula yang tiba - tiba gembira dan bersemangat.

Karena kendala berkomunikasi dengan keluarga dan ditambah rasa kangen yang berlebihan home sick menyebabkan  seorang teman patah semangat. Merasa tersiksa di perantauan. Akhirnya hanya mampu bertahan selama satu bulan di Belanda.

Begitu kursus bahasa Inggris di Den Bosch hampir usai, yang bersangkutan ngotot minta ijin mau pulang ke tanah air. Tidak mau lagi melanjutkan program berikutnya.

Kami beramai - rami membujuk untuk tetap bertahan, tak mempan. Thomas pengurus mengancam, mengingatkan konsekuensi untuk mengembalikan uang dan sanksi lain dari institusi asal. Tapi ybs keukeh, tetap ingin kembali ke Jakarta.

Usai masa kursus, akhirnya dengan sedih dan air mata berkaca - kaca teman itu pamitan. Terbang sendirian, pulang ke haribaan istri dan anak - anak yang masih kecil yang sangat dikangeni. Tak peduli lagi dengan konsekuensi yang akan diterima.

Begitulah, cerita yang mirip seperti itu banyak menerpa teman - teman yang sudah berkeluarga dan merantau tugas belajar cukup lama. Tersebab masalah komunikasi, tak mampu bertahan. Pulang sebelum waktunya. Misi dan niat yang diugemi pun terpupus di awal perjalanan.

Kangen, risau dan banyak hal lain yang berubah sering kali membuat seseorang seolah tercerabut dari akarnya. Sedih dan risau berlebihan, merana setiap hari dan membuat langkah nekat.

Tapi tentu saja 19 perantau tersisa tak semuanya merasa tersiksa. Namun ada pula yang justru menikmati suasana perubahan dan perbedaan di negeri orang.

Perubahan dan perbedaan dianggap peluang dan tantangan untuk mereguk pengalaman dan wawasan baru. Untuk belajar dan mengeksplor hal dan suasana tersebut tersebut.

Saya dan beberapa teman termasuk penikmat suasana dan pengalaman baru itu. Walaupun pasti terkadang merasa home sick, kangen keluarga namun tetap mampu mengalihkannya ke hal lain. Home sick tak sampai menjadi langkah fatal.

Setiap week end, saya dan beberapa teman selalu keluar rumah, melakukan perjalanan dan penjelajahan. Di kota Den Bosch dan kota lain, bahkan sampai keluar negeri Belanda.

Jaman dulu ada istilah negara Beneluxs. Yaitu aliansi 3 negara yakni Belanda, Belgia dan Luxemburxs. Ada istilah visa Beneluxs. Artinya pemegang visa Belanda bisa bepergian bebas ke negara Belgia dan Luxembourg. Sedangkan ke negara tetangga lain, semisal Jerman atau Prancis masih harus memakai visa tersendiri negara tujuan. Tidak seperti sekarang, bisa dengan visa Schengen. Yang berlaku untuk sebagian besar negara Eropa Barat, Eropa utara dan juga Eropa timur.

Sabtu pagi itu kami bertiga, saya dengan mas Diyanto dan mas Hamdi pergi meninggalkan stasiun Den Bosch. Week end ini kami berniat get lost, atau enyah atau pergi tanpa arah dan tujuan jelas. Ingin menyesatkan diri di Brussel ibukota Belgia. dan menjelajah di negara mini Luxembourg.

Naik kereta api Euro Rail pagi, dari Den Bosch ke Brussel. Dengan 3 tiket berangkat hari sabtu, dan akan kembali dari Luxembourg hari minggu.

Ketika Kereta api meluncur sekitar 2 jam dari Den Bosch, tiba - tiba ada pengumuman. Bahwa kereta akan berhenti sebentar di stasiun Antwerpen, kota terbesar kedua di Belgia. Inisiatif muncul. Kami ingin turun dulu dan berjalan - jalan dulu di Antwerp. Nanti akan melanjutkan perjalanan dengan Euro Rail yang lain setelah menjelajah Centrum. Hal yang diperbolehkan, dan tidak perlu menambah biaya. Karena tiket kereta kami tanpa nomor kursi.

Kami turun dan berjalan - jalan di sekitaran Centrum kota kuno cantik ini.

Antwerpen adalah salah satu pasar berlian terbesar dunia. Karena cutting diamond made in Antwerpen amat terkenal presisi, cantik, cemerlang dan berkilau.  Gosokannya indah berseni bermutu tinggi. Tentu harga keindahan berlian Antwerpen juga selangit. Perhiasan batu mulia indah dengan tingkat kekerasan 10 atau batu paling keras ini bisa dibandrol dengan harga tinggi tak masuk akal. Namun konon tatap laris juga.

Antwerp juga kota dimana beberapa senior dan teman dari Ditjen Hubla dan Perumpel menempuh program strata S2 pelabuhan. Yakni  MPM, Master Of Port Management.

Saya ingat waktu baru lulus S1 di Yogya, berorientasi main - main ke Jakarta. Bertemu senior di Bulak Sumur mas Djoko Tahono di kantor Ditjen Hubla jalan Merdeka Timur. Ngobrol sana sini, mas Djoko yang sudah pejabat disitu bilang, kalau 2 hari lagi akan berangkat ke Antwerpen Belgia untuk kuliah S2 MPM. Saat itu juga dalam hati saya mencatat, Ditjen Hubla menjadi salah satu target saya untuk bekerja. Karena menurut mas Djoko banyak program studi luar negeri yang diselenggarakan di kantor ini. Sekolah ke luar negeri memang impian saya sejak kecil. Sekolah Luar negeri tentu nambah ilmu, wawasan sekaligus piknik di negeri yang waktu itu sering dikagumi lewat film di bioskop.

Lalu juga senior dan kolega saya di Perumpel, mas Hadi Kusumo dan bro Sri Raharjo juga pernah sekolah MPM di kota ini.

Kereta berhenti, kami bertiga turun. Jalan kaki berkeliling di pusat kota yang hari itu begitu ramai. Milang - miling, mengagumi kota pelabuhan dengan bangunan dan gedung - gedung antik bergaya kombinasi Romans dan Renaissan.

Antwerpen memang kota klasik khas Eropa, tidak sebesar Amsterdam, Paris atau Brussel tapi memiliki daya tarik cukup besar untuk menarik wisatawan.

Stasiun keretanya disebut juga sebagai Cathedral Station. Karena megah berkubah bulat besar ala Vatican. Dua pilar besar mengapit kubah utama menjadikan stasiun ini ikon kekayaan Antwerp yang dilindungi dan dilestarikan.

Tengah hari setelah cukup puas berkeliling, kami melanjutkan perjalanan. Berkereta menuju Brussels.

Satu jam lebih perjalanan, sampailah di stasiun Brussels Central. Turun disitu, kembali bertiga kami menggelandang, tanpa tujuan jelas. Pokoknya menikmati negeri - negeri dongeng gaya Eropa lama yang masih lestari dan terawat.

Sepanjang siang dan sore keluyuran di kota cantik ini, sungguh pengalaman baru akan sebuah lanscaping kota yang padu. Solid, indah dan fungsional.

Grand Place adalah tujuan wisata terpopuler di Brussels. Sebidang lapangan empat persegi panjang, dikelilingi bangunan - bangunan antik dengan arsitektur unik beragam. Sungguh spektakuler, menawan. Lapangan ini sore itu ramai oleh pengunjung yang mondar - mandir dengan berbagai dandanan bergaya dan modis.
Banyak juga pengunjung yang hanya nongkrong, ngopi di puluhan kafe - kafe berderet di pinggir laoangan. Tidak sekedar ngopi, tapi juga to see and to be seen. Kami menyempatkan juga ngopi disebuah kafe dan to see sekeliling. Tak tahu apakah ada yang see us. Mereguk panas kopi susu dan kue kering delicious, sembari mencecap berbagai wangi parfum para pengunjung yang berhamburan di udara. Sungguh life is so beautiful.

Tak jauh dari ujung lapangan Grand Place, belok di sudut bangunan. Disitu berdiri patung kecil, yang juga menjadi ikon legendaris kota ini. Yaitu Mannekin Pis atau Petit Julien dalam bahasa Prancis.
Yakni patung anak kecil berwarna hitam tembaga yang sedang kencing berdiri di ceruk kecil berkubah. Air mancur memancar dari tititnya yang kecil. Banyak orang berfoto - foto berjejalan berlatar belakang patung itu. Konon patung kecil ini pembawa hoki bagi yang mengusap organ bawah perutnya. Pasti itu takhayul.

Puas mengglandang di Brussels, lepas Mahrib kembali kami naik kereta api. Menuju Luxsembourg, salah satu negeri terkecil di dunia namun sangat makmur. Income per capitanya termasuk tertinggi.

Rupanya ini adalah kereta api yang terakhir. Penumpang turun di setiap stasiun pemberhentian, namun tak ada lagi penumpang baru naik. Gerbong semakin sepi. Gerbong yang sepi di negeri antah berantah. Ada sedikit rasa takut dan tintrim menggelayut. Tak tahu pula ini dimana. Tapi sebenarnya itulah esensi dari get lost, menemukan tempat - tempat tak terduga dan merasakan hal - hal yang tak diantisioasi.

Akhirnya pukul 01.00 pagi sampailah kami di pemberhentian terakhir, stasiun Luxembourg sentral.

Tinggal beberapa penumpang turun di stasiun yang temaram. Turun dari kereta disambut udara malam sangat dingin.

Di Peron, bertiga kami berunding. Akankah keluar stasiun mencari hotel untuk menginap. Atau bertahan, menunggu pagi tidur di stasiun. Akhirnya kami sepakat akan tidur di kursi - kursi panjang stasiun.

Kami masing - masing memilih kursi panjang yang sempit, pas badan di ruang setengah terbuka. Karena ruangan tertutup stasiun sudah dikunci, orang tidak bisa masuk.

Sisa waktu 5 jam menunggu pagi seolah menjadi saat terpanjang dan menyiksa yang pernah saya alami.

Miring nylonjor di kursi sempit kami disiksa udara dingin menusuk. Tidur di tempat setengah terbuka, dengan pakaian hanya jaket setengah tebal membuat seluruh tubuh seolah berembug. Menggigil diterjang angin dingin njekut, yang terkadang bertiup kencang.

Ingat cerita seorang teman yang pernah menggelandang 3 hari di Paris saat musim panas. Setiap malam teman itu tidur di taman - taman kota. Namun dirinya sudah mempersiapkan diri. Membawa sleeping bag bekal utama merealisasikan impiannya sejak lama. Malam - malam di Paris dalah petualangan seru, indah dan menegangkan yang selalu diceritakannya dengan antusias. Berbaring di taman kota, hanya kepala muncul dari kantong tidur. Teman itu menikmati langit malam kota cahaya Paris. Jutaan bintang menghias bludru langit, lampu - lampu kota berpendaran cemerlang di kota cahaya ini. Meresapi bau tanah, dedaunan dan bunga - bunga di taman pada saat puncak mekarnya. Sesekali bau parfum mengambang, saat gadis - gadis bersuara seksi Prancis melintas.

Tiga malam tidur menyatu alam kota Paris, menjadi kisah eksotis yang tak akan terlupakan seumur hidup, katanya pamer.

Berbeda dengan malam kami di Luxsembourg ini. Kami nyaris menyerah, tak bertahan terhadap udara dingin yang tak bersahabat. Akhirnya hanya tidur - tidur ayam sampai pagi.

Namun sebagaimana setiap masalah akan berlalu, demikian juga udara dingin menusuk itu perlahan berlalu juga. Saat matahari muncul di timur. Trontong - trontong memancarkan kehangatan yang kami tunggu. Kami kembali bersemangat menyambut, badan berasa hangat kembali.

Bertiga dengan wajah kuyu rambut awut - awutan, kami bersenam kecil di peron yang lengang. Bergerak kiri kanan, jongkok berdiri seperti orang gila yang lagi bahagia.

Penderitaan malam itu terbayar. Pagi cerah, keluar stasiun kami berjalan kaki menjelajah kota yang cantik dan masih sunyi. Tak ada orang tak ada suara. Seolah seluruh kota lagi berkontemplasi. Kecuali kami bertiga.

Seperti koboi Melayu, tengok sana sini. Bangunan bangunan heritage yang rapi berjejer indah. Kantor yang dirancang seperti kastil berdinding sirap hitam runcing berderet indah. Lalu museum, gereja seperti makhluk - makhluk raksasa misterius tergeletak elok.

Yang menakjubkan, adalah lembah - lembahnya. Sangat dalam, terjal menghijau seolah - olah tiba - tiba saja muncul menganga di tengah kota. Lalu jembatan kereta api berlengkung - lengkung pengkuh amat panjang, besar dan tinggi bersimegah mengangkangi lembah - lembah itu.

Perpaduan alam ciptaan Yang Kuasa dan karya manusia, pagi ini terpampang amat elok di sekitar kami. Sungguh terbayar sudah penderitaan dan kebekuan yang kami alami tadi malam.

Puas berkeliling kota kecil Luxembourg, minggu siang menjelang sore, kembali kami naik kereta kembali ke Den Bosch.

Perjalanan yang cukup lama. Tak henti melongok jendela kereta, menikmati view sore dan sunset merah jingga di perjalanan. Very amazing.

Tengah malam baru sampai di kosan. Tak perlu mengetuk pintu, kunci sendiri langsung masuk rumah. Hari yang panjang, tidur lewat tengah malam ditemani mimpi indah.

      ************

Sebulan di masa kursus itu, kami juga menyempatkan menjelajah Amsterdam, ibukota Belanda. Amsterdam adalah kota antik yang hingar bingar. Tujuan utama bagi siapapun yang melawat ke negeri kincir angin.

Dari Den Bosch,  beramai - ramai bersepuluh kami berkereta api ke kota seribu kanal itu. Akan ditempuh sekitar 1 jam perjalanan.

Kami membeli tiket grup dan return. Harganya jauh lebih murah dibanding harga tiket sendirian. Apalagi kalau hanya satu jalan, tidak return. Syarat dari tiket ini, 10 orang harus berangkat dengan waktu dan kereta yang sama. Demikian juga nanti saat return ke Den Bosch.

Naik kereta di Belanda adalah pengalaman yang unik. Nuansa sangat berbeda dibanding kalau berkereta di tanah air. Negeri dengan lanskap datar ini, dengan rerata ketinggian daratan dibawah permukaan laut, menjadikan negeri ini nampak sangat lapang dan terbuka. Pandangan mata bisa menjelajah sampai Cakrawala.

Satu jam menikmati panorama flat Nederland, sampailah kami di central station Amsterdam.

Central Station adalah bangunan dengan fasad beberapa pilar merah bermenara meruncing. Membara bak bangunan megah jaman kerajaan Majapahit. Sangat eye catching, berdiri ikonik di tengah kota. Dikelilingi alur - alur kanal.

Salah satu stasiun kereta terbesar di Eropa ini bertingkat dua, terdiri dari puluhan platform kereta api. Dengan lorong  - lorong dan terhubung tangga.

Menyusuri lorong yang ramai, bersama ribuan orang dengan beragam warna kulit dan rambut. Kami menuju pintu keluar.

Kami terlongong - longong barengan berbaur dengan bermacam orang dari berbagai bangsa. Berkulit seputih susu, kuning pucat, merah membara, sawo matang sampai yang sehitam arang tercampur aduk dalam gerak bertempo allegro, cepat. Semuanya bergegas berjalan giras searah dan berlawanan arah seolah mengejar obyek entah apa. Seakan besok akan kiamat, mesti sesuatu harus segera diselesaikan.

Hanya kami sepuluh pengembara, yang berjalan santai ditengah hiruk pikuk orang pada setengah berlari. Kami awalnya kaget dengan orang berhamburan tak karuan itu. Namun perlahan bisa menikmati suasana gaduh tak biasa itu.

Hati - hati awas copet ya, kami berbisik saling mengingatkan. Konon di kota Amsterdam banyak juga pengutil berkeliaran.

Keluar dari goa garba stasiun, langsung disambut kegaduhan yang lain.

Trem - trem panjang gaduh berseliweran. Belnya berkeloneng tak henti - henti. Meriah sekali.

Di ujung kanan, trem yang menunggu penumpang berjejer rapi. Parkir siaga, bak mobil formula menunggu kibarnya bendera start. Angka - angka besar terpampang di ubun - ubun. Angka yang menunjukan rute perjalanan. Dari angka 1 sd 25.

Menyeberang jembatan kita sudah menginjak Dam Straat. Jalan dam, area paling ramai di Amsterdam. Di kiri kanan trotoar lebar untuk pejalan kaki bertebaran kafe, agen perjalanan, toko, super market. Bahkan di sisi kanan berdiri eksotis museum yang sangat terkenal disitu. Yaitu Museum Sex. Papan namanya mencolok bercat hitam.

Apa yang dipamerkan di museum itu? Ya tentu tak jauh dari foto, gambar dan film seputar alat kelamin serta gaya berhubungan sex berbagai bangsa. Sebut gaya apa saja ada. Dari model kamasutra sampai style kamajaya. Waduhh.

Kami menyusur trotoar yang sabtu siang itu sangat ramai. Berdesakan masuk lorong - lorong sempit pertokoan. Sayangnya toko - toko itu hanya buka sampai pukul 18.00. Lepas pukul 18.00 sekitar Dam Straat sudah sepi. Hanya bar dan kawasan red light yang masih ramai.

Dam square, adalah lapangan halaman istana ratu yang berada di ujung dam straat sepanjang sekitar 1 km itu. Dam square adalah titik teramai, tempat orang berkumpul di Amsterdam.

Usai nongkrong menikmati hiruk pikuk dam square, dengan trem kami menuju market street di Albert Cuypstraat. Naik Trem no 25, kami menuju resto Suriname yang berada persis di seberang halte pemberhentian. Nasi goreng itu rasanya biasa saja, hanta porsinya yang luar biasa. Menggunung seperti tumpeng pejal.

Selain kota kebebasan, Amsterdam juga dikenal sebagai kota seribu kanal. Di Amsterdam, tur naik kapal menyusuri kanal - kanal adalah agenda yang tak boleh terlewatkan. Tur kanal, kita akan menikmati suasana dan pemandangan unik tak biasa. Di kanal itu kita menemui bangunan dan tempat yang menjadi saksi bisu sebagian sejarah Belanda, bahkan sejarah dunia. Museum dan rumah tua di sepanjang pinggir kanal adalah onggokan menjadi saksi sejarah yang masih eksis. Antara lain Anne Frank House, penulis buku Diary of Anne Frank yang sangat terkenal itu. Catatan harian tentang penderitaan bangsa ini di saat Nazi menjajah Belanda.

Usai kanal tur, biasanya wisatawan tak melewatkan temoat paling terkenal di Amsterdam. Kawasan Zeedijk, red area paling terkenal sedunia.  Zeedijk adalah Red light districk yang bercampur dengan rumah, kantor, restoran juga hotel. Kawasan prostitusi legal premium yang berada tak jauh dari stasiun sentral. Yang juga menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi lelaki dan perempuan turis iseng yang pingin melihat aquarium - aquarium berlampu berwarna - warni berisi perempuan seksi berbagai bangsa dan kulit.

Selain disebut tunnel city, sin city Amsterdam juga disebut Museum City. Saking banyaknya museum disini. Tentu yang paling terkenal adalah Rijk Museum, Van Gogh, Tropic, Sex museum, dll.

Sore hari meninggalkan Amsterdam, kami seolah meninggalkan sorga yang sekaligus neraka dunia. Tapi sebenarnya bukan hanya monopoli Amsterdam saja, di  setiap tempat itu selalu memuat unsur sorga dan neraka.

Ya jadi teringat wisdom lama, entah darimana yang mengatakan, bahwa sejatinya sorga atau neraka itu adalah buah dari perbuatan dan warna suasana hatimu sendiri.

Week end terakhir masa kursus bahasa Inggris ditutup menjelajah Ibukota. Sungguh pengalaman tak terlupa. Good bye Amsterdam.

Langit gelap kami berkereta meninggalkan kota serba seni serba reka penuh kebebasan itu. Amsterdam memang kota kebebasan, freedom city.

Sebulan di Den Bosch segera berakhir. Kami diuji oleh kerisauan, kangen, perbedaan, juga kesenangan. Saya bertekad untuk bertahan ditengah hingar bingar dan gegar perubahan ini.


1. 4 Melawat ke Utara

Pagi ini adalah sarapan terakhir di Rosmalen Straat. Menyantap roti bakar dan omelette istimewa olahan Lis, didampingi secangkir kopi susu panas. Menjadi menu hidangan perjamuan terakhir.

Dibalik jendela kaca, langit nampak kelabu. Musim gugur hampir tiba. Membayangkan dedaunan berwarna kuning kecoklatan. Bergoyang, lalu beterbangan luruh ke bumi. Autumn in Holland. Mestinya sangat berwarna dan romantis.

Franz mengantar kami berdua. Bagasi mobil penuh koper dan muatan. Ber daag - daag dengan Lise, mobil melaju meninggalkan rumah Rosmalen, kosan kami sebulan terakhir.

Sampai di tempat kursus bus pengantar ke Den Helder berwarna putih sudah nongkrong di pinggir halaman. Sebagian besar teman sudah hadir. Wajah - wajah setengah cerah, setengah muram.

Kami bertemu sosok seorang hollander totok. Yang akan menyertai, terkadang menghantui kami, nanti selama studi di Den Helder. Yaitu Mr Kalkman.

Mr Kalkman adalah administrator, ketua harian Academy dan sekaligus akan menjadi dosen Finance, Manajemen Keuangan. Sosok yang unik. Disiplin, tegas, sinis, sarkastis terkadang baik juga. Dosen yang ditakuti, disingkiri sekaligus harus dibaiki.

Dengan bus putih itu Mr Kalkman menyertai. Melawat dari Den Bosch Belanda tengah ke ke Den Helder, kota dingin di ujung utara Belanda.

Di sepanjang perjalanan, Mr Kalkman menjelaskan aturan main Academy, mata kuliah. Juga para calon dosen yang mantan pelaut, praktisi bisnis, lawyer, dosen dari universitas lain, juga dosen tamu dari institusi International. Seperti dari Bank Dunia, Masyarakat Ekonomi Eropa, dsb.

Nama nama meneer Van Den Bosch, Van Hoge, Hogkamer, Kluivert, Van Kettel dan yang lain - lain sebagai dosen. Tentu saja meneer Kalkman Himself sebagai dosen Finance.

Kami akan belajar Statistic, Economic, International Finance, Shipping, English Law, Maritime Law, Port Management, Marketing, Techno Economy dsb.

Mr Kalkman menjelaskan disertai humor - humor sarkastisnya mewarnai perjalanan kami ke utara.  Sarkastis adalah ciri khasnya disetiap humor gelap yang disampaikan.

Perjalanan cukup panjang. Melewati pinggiran Amsterdam, terus ke utara. Kota produsen keju Alkmaar pun kami lewati. Angin bersiut lebih keras. Semakin mendekat Den Helder, kota para pensiunan marinir. Yang nantinya sebagian dari kami menyebutnya kota neraka, Den Helder jadi The Hell. Sebutan yang muncul sebagai cerminan saat kami dilanda resah risau dan galau. Lain kali kami menyebutnya sebagai kota damai, petualangan dan juga kota ujian.

Memang suasana hati setiap orang itu dinamis,selalu berubah.

Membayangkan akan bertemu teman baru dari seluruh penjuru bumi. Turki, Libia, Puerto Rico, Kuba, Kolombia, Ethiopia, Nigeria, Thailand, Vietnam, Phlipina, Malaysia dll. Pasti akan menjadi pengalaman dan pembelajaran baru yang seru.

Di bus saya terkantuk kantuk, merenungi. Hidup satu bulan di Belanda, waktu terasa merayap begitu lama. Masih tersisa waktu sangat panjang, 23 bulan lagi. Namun apapun mesti dijalani, setiap kesulitan dan misteri harus dihadapi.

Seperti judul lagu The Beatles, 23 bulan ke depan adalah Long and Winding Road. Dalam arti kiasan ataupun harfiah. Apapun bisa terjadi.

Apa kunci untuk bertahan dan sukses menempuh perjalanan panjang yang bakal tak mudah ini?

Kata para bijak. Kita mesti rela kesepian dan siap menderita. Namun juga tak lupa harus sekali - kali tetap bersenang - senang.

Den Helder we're coming.

selesai bagian 1

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun