Tidak hanya itu, kata Salafy yang dulu dipakai sebagai jargon pondok-pondok tradisional di Indonesia, saat ini maknanya menjadi bias. Banyak yang beranggapan, kata salafy cenderung berafiliasi pada Wahabi, padahal nyatanya tidak, sekali lagi tidak. Miris memang, lalu harus bagaimana? Satu2nya jalan adalah dengan menambah wawasan lewat mediasi belajar. Belajar kepada guru yang jelas, jangan belajar pada google atau kepada ustadz-ustadz instan yang bermodal sorban dan kemampuan beretorika.
Mengenai bahasa Arab, kita tidak bisa melepaskan Islam dari Bahasa Arab. Karena sendi-sendi agama Islam bermuara pada al-Qur'an dan al-Sunnah yang kedua2nya berbahasa Arab. Al-Qur'an berbahasa Arab merupakan ketentuan Allah dan itu hak Parerogatif-Nya yang tidak bisa diganggu gugat. Saya pun mengakui, pemakaian bahasa Arab di sana memang erat kaitannya dengan aspek budaya Bangsa Arab, karena memang Islam secara normatif lahir dan berkembang di Arab. Dalam kajian Antropologi Budaya, antara bahasa dan budaya merupakan pertautan yang tidak bisa dipisahkan.
Namun, setelah Islam menjadi agama besar dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, maka budaya Arab pun sedikit demi sedikit luntur. Hal ini disebabkan karena umat Islam di berbagai wilayah mempunyai tradisi sendiri-sendiri, sehingga mau tidak mau harus ada sebuah paradigma baru agar Islam benar-benar bisa diterima sebagai agama yang mengusung Rahmatan lil Alamiin. Untuk itu, di sini peran Ijtihad diperlukan. Alhasil, lewat Ijtihad ini al-Qur'an dan al-Sunnah dirasa oleh umat Islam sebagai pijakan yang menembus ruang dan waktu.
Islam Nusantara, bukan berarti kita merubah bahasa Arab di dalam shalat ke bahasa Lokal. Bukan pula membaca al-Qur'an yang berbahasa Arab ke versi bahasa Indonesia. Islam Nusantara sejauh yang saya pahami adalah Islam yang menyelaraskan antara kebudayaan lokal dengan ajaran Islam sehingga tidak terkesan kontradiktif. Islam tidak anti budaya lokal, karena Islam bukan hanya agama bagi bangsa Arab. Prinsip Islam Nusantara adalah Almuhafadzah alaa al-Qadiim al-Shaleh wal al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (Mempertahankan tradisi lama yang baik, dan mengadobsi tradisi baru yang lebih baik). Semoga bermanfaat!