Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Inilah Kekeliruan Logika Mariana Amiruddin

15 Februari 2012   04:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:38 983 0
Pagi ini TV One menyiarkan secara live untuk mengklarifikasi permasalahan yang terjadi di Palangkaraya terkait dengan penolakan FPI di daerah itu. Dari dua belah pihak yang pro dan kontra dihadirkan untuk mencari penyelesaian dan mungkin dimaksudkan untuk mencari titik temu. Acara itu dihadiri oleh pihak FPI, Ketua Bidang Dakwah Habib Muhsin bin Ahmad Alattas dan juga Mariana Amirudin, seorang aktifis perempuan dari Aktifis Jurnal Perempuan, yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan.

Acara itu sungguh menarik, karena dari kubu yang berseberangan. Di satu sisi Mariana yang dari sikapnya menunjukkan ketidaksetujuan dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh FPI yang ia pandang sebagai aksi yang anarkis, dan di sisi lain mengiyakan beberapa jenis aksi kekerasan dan ancaman pembunuhan terhadap warga negara seperti anggota FPI, seperti yang ditanyakan oleh Habib Muhsin sebagai kearifan lokal. Logika macam apa seperti itu?

Pendapat Mariana menurut saya lebih merupakan ketidaksukaannya dengan FPI dari pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh FPI. Mariana yang dalam hal ini sebagai seorang aktifis, seharusnya bisa memposisikan sama, meskipun kepada seseorang yang tidak disukainya. Artinya Mariana harus adil melihat permasalahan. Dalam hal ini dia lebih mengedepankan emosi daripada logika yang adil.

Ketika Habib Muhsin menanyakan apakah dia anti FPI atau anti kekerasan, Mariana pun enggan menjawab. Dia selalu menghindar untuk memberikan keterangan tentang itu. Akhirnya Habib menyimpulkan bahwa "Anda ini bukan anti kekerasan, namun anti FPI". Habib kemudian memberikan penjelasan bahwa bila "Anda anti kekerasan seharusnya Anda membela kami yang datang ke Palangkaraya akan di bunuh. Namun Anda diam saja, malah menganggap bahwa aksi ancaman pembunuhan dengan mengacungkan senjata tajam itu sebagai kearifan lokal".

Kontan Mariana gelagepan menerima serangan Habib. Dengan panjang lebar Habib juga menceritakan bahwa kehadiran FPI ke sana itu sebagai advokasi untuk warga beberapa warga sana yang tanahnya diserobot oleh penguasa. Menurut Habib, warga yang tanahnya diserobot oleh pemerintah daerah yang dikomandani oleh Gubernur Teras Narang adalah aksi premanisme dari pimpinan kepada rakyatnya. Bentuk kekerasan-kekerasan yang demikian seharusnya menjadi perhatian juga bagi para aktifis yang memang anti pemerasan.

Tentu masalahnya lain, ketika aksi itu untuk agama tertentu. Aksi-aksi semacam ini lebih kepada aksi politis untuk kepentingan pihak tertentu. Namun anehnya, sekali lagi, media lebih memberitakan pada peristiwa-peristiwa yang mereka tidak sukai. Habib ketika itu juga protes, media tidak pernah memberitakan aksi-aksi positif yang dilakukan oleh FPI, namun ketika ada aksi yang mengakibabkan kekerasan media begitu semangat dan diputar berulang-ulang. Sehingga tidak lain ini adalah bentuk penjajahan media kepada masyarakat.

Pun pagi ini, pihak TV One juga menerima penelpon dari salah satu tokoh setempat. Ketika host menanyakan kenapa kok harus mengancam-ancam membunuh anggota FPI, padahal aksi itu untuk menolak kekerasan, "apakah tidak malah membuat masalah ini semakin bias" tanya host, penelpon tadi dengan entengnya mengatakan bahwa itu hal itu adalah aksi spontan dari para pendemo.

Kita semua menghendaki negara ini aman, tentram, tidak diskriminatif, hukum berlaku dengan seadil-adilnya sehingga masyarakat akan semakin dewasa dalam bersikap, termasuk para aktifis dan para pemuka agama. Sehingga negeri ini hadir dengan rasa kasih sayang kepada sesama tanpa melihat agama, suku, golongan atau latar belakang budaya..




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun