Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Tukang Nyinyir di Saat Bencana; Apa yang Salah dengan Mereka?

22 Mei 2020   20:08 Diperbarui: 22 Mei 2020   23:00 94 1
Setiap orang bisa bikin kesalahan. Hampir semua penemuan diperoleh dari membuat berbagai kesalahan. Jika hari ini kita membuat kesalahan, besok mungkin kita membuat sesuatu yang betul.

Martin Seligman, seorang neuroscientist, meneliti mereka yang optimis, dan menemukan, bahwa mereka melihat kesalahan sebagai sesuatu yang biasa. Mereka tidak merasa cemas atau stres karena kesalahan yang mereka buat. Akibatnya otak mereka tetap dalam kondisi positif dan siap untuk membuat solusi baru dari setiap persoalan yang mereka hadapi.

Hampir semua pemerintah di dunia membuat kesalahan dalam menghadapi COVID-19, termasuk pemerintah Cina yang sudah pernah menekan angka terinfeksi COVID-19 hingga nol. Spanyol, Italia dan Amerika juga membuat kesalahan, padahal mereka adalah negara maju dengan sistem kesehatan yang baik. Begitu juga Indonesia membuat beberapa kesalahan dalam menghadapi COVID-19.

Beberapa kesalahan yang mungkin dibuat oleh Indonesia:
1. Tak pernah serius memberlakukan lockdownn.
2. Tak melakukan test yang luas.
3. Tak serius melakukan edukasi kepada masyarakat tentang protokol kesehatan.
4. Pemerintah terkesan gonta-ganti kebijakan.
5. Pemerintah mengira orang Indonesia memiliki kekebalan khusus, karena memiliki obat-obatan tradisional.

Semua kesalahan ini wajar, namun bisa dijawab seperti di bawah ini:

1.
a. Apakah lockdown berhasil menurunkan angka terinfeksi. Ada negara yang berhasil dengan lockdown, tapi ada juga yang tidak.
b. Kegiatan ekonomi jelas terganggu karena lockdown. Gelombang PHK lebih mengerikan, karena negara bisa hancur karena krisis ekonomi.
c. Lockdown juga butuh biaya yang besar, karena ada banyak bantuan sosial yang harus diberikan dan stimulus ekonomi untuk membantu perusahaan kecil dan menengah yang terdampak.

2.
a. Test yang luas bisa digantikan dengan angka yang terinfeksi di berbagai rumah sakit. Sebagaimana yang sudah diketahui gejala terinfeksi akan terlihat setelah 2 minggu.
b. Yang penting adalah pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan untuk merawat mereka yang terinfeksi.
c. Jumlah yang terinfeksi bisa diperkirakan tanpa adanya test yang luas.
d. Pemerintah sudah mengeluarkan himbauan untuk menurunkan angka terinfeksi, yaitu himbauan tentang protokol kesehatan untuk dipatuhi.

3.
a. Indonesia tak seperti negeri-negeri lain. Protokol kesehatan dianggap berbenturan dengan ajaran agama. Protokol kesehatan bisa dianggap menghambat kegiatan ibadah keagamaan. Agama sering dijadikan kedok untuk menjatuhkan Jokowi yang memiliki cukup banyak "musuh" politik. Edukasi tentang protokol kesehatan ini terkesan lambat dan loyo dijalankan.

4.
a. Negeri-negeri maju sekalipun selalu memperbaiki kebijakannya dalam menghadapi COVID-19. Misalnya soal lockdown yang akhirnya diberlakukan juga, karena angka terinfeksi bertambah besar. Namun demikian Indonesia tak mau menyebutnya dengan lockdown, tetapi dengan nama lain, yaitu PSBB. Tak lama kemudian PSBB dilonggarkan, karena ancaman krisis ekonomi langsung menghadang setelah PSBB diberlakukan. Awal atau tengah Juni pemerintah berencana akan mulai mengaktifkan lagi kegiatan ekonomi dengan beberapa syarat, seperti hanya yang berumur 45 tahun ke bawah yang boleh bekerja di luar rumah.

5.
Mungkin ini berangkat dari kemampuan kita terhadap flu atau infleunsa. Mereka yang di negeri-negeri maju amat rentan terhadap flu atau infleunsa. Ini disangka karena Indonesia memiliki banyak kekayaan tradisional dalam bentuk rempah-rempah yang dipercaya dapat memperbaiki immune system. Padahal butuh penelitian yang mendalam untuk membuktikan, bahwa rempah-rempah atau obat-obatan tradisional bisa memberikan immune system. Sayangnya kita lebih terbiasa dengan mitos tentang itu daripada percaya pada penelitian ilmiah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun