Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Duka Kanjuruhan, Selamat Jalan Mas

4 Oktober 2022   19:02 Diperbarui: 5 Oktober 2022   16:15 548 39
Pagi ini Mas Amir sedang mempersiapkan perlengkapan Aremania dengan wajah sumringah dan senyum merekah. Katanya, nanti malam mau nonton bola ke stadiun Kanjuruhan. Padahal dia lebih sering nonton di rumah kalo ada pertandingan.

"Mas ini kopinya,"  aku beranjak duduk disampingnya setelah menyuguhkan secangkir kopi dan pisang goreng hangat sebagai menu sarapan pagi. Sesekali aku bergelayut manja.

"Dek, kamu ga apa ya  nanti malam Mas tinggal? Hari ini mas ga kerja, bengkel biar di jaga Anto aja. Mas mau nemenin kamu seharian, sebelum Mas tinggal." ujarnya sambil mengelus perut  yang buncit ini.  

Usia kandunganku telah memasuki 7 bulan, pasti anak kami bahagia punya ayah yang penyayang.  Buah hati yang telah kami tunggu selama 5 tahun, sebantar lagi akan hadir melengkapi kebahagiaan kami.

"Berangkat sama siap mas ?" tanyaku memastikan. Dalam kondisi hamil begini tak jarang hati ini sensitif, kerap dirundung rasa cemas.

"Sama rombongan kelurahan tiga  puluh orang. Kita berangkat bada magrib,"  jelasnya  dengan senyuman.

"Oiya dek ini dompet mas, ada dua ATM tabungan kita kamu simpan ya, di lemari ada surat-surat penting, buat jaga-jaga, simpan dengan baik."

"Mas apa ga sebaiknya kamu nonton di rumah ibu  aja sama aku mas?  Nonton bola di stadion, aku hawatir...," Aku tak melanjutkan ucapan, entah kenapa rasanya aku tidak mau ditinggal malam nanti.

"Sekali ini aja kok dek, besok-besok mas fokus Sama kamu dan anak kita oke?" ga usah hawatir nanti malam pasti aman, ga ada suporter lawan kok."  Penjelsan mas Amir tidak merubah suasana hati, tapi sudahlah mungkin hanya bawaan orok. Untuk menghilangkan kecemasan, aku temani mas Amir sarapan.

Seharian mas Amir mendampingi ku, semua pekerjaan rumah ia ambil alih, hari sepesial untuk istri katanya, cucian, setrikaan bahkan masakan pun ia persiapkan. Tentu saja aku merasa senang,  mas Amir memang suami yang baik, ga segan membantu pekerjaan istri jika sedang di rumah.

"Dek ayok makan?" diambilkan nasi serta lauk dan sayuran.

"Aku suapi ya dek? Mumpung aku masih bisa." mas Amir menyuapi ku, serasa masih pengantin baru.

"Nak jaga ibumu baik-baik, jagoannya ayah, jadilah anak Solah agar kelak bisa mendoakan ayah sama ibu," ucapnya sambil mengelus perut buncit ku.

Duk!  "Aduh." aku meringis.  Bayi dalam perutku merespon ayahnya dengan tendangan.

"Anak Soleh, mau ikut ayah nonton bola ya ? Nanti kalo kamu lahir dan sudah besar kita nonton bareng ya?" seloroh mas Amir sambil tersenyum girang.

"Amir...  Amir, yok berangkat yok?"  Seseorang dari balik pintu depan memanggil mas Amri.

"Sebentar ya dek mas buka pintu." segera ia menuju depan dan membuka pintu.

"Hey pak Selamet, berangkat sekarang ? Emang rombongan udah kumpul ?" Ku dengar mas Amir berbincang dengan pak Selamet tetangga sebelah rumah.

"Dek mas berangkat sekarang, kamu hati-hati di rumah ya? aku udah panggil ibu buat temani kamu malam ini."  mas Amir berpamitan, segera ku ambilkan syal Aremania dan  melilitkannya di leher.

"Jangan sampai kedinginan ya mas?" Ingin sekali aku  menahannya, memintanya untuk tidak pergi, seperti ada rasa gumpalan sedih di dada entah apa. Lisan ku tak mampu berucap. "Hati -hati mas, cepat pulang."

Mas Amir mencium pucuk kepalaku dan memelukku dengan erat.  "Mas berangkat ya dek. Assalamualikum"

"Waalikumusslam," ku jawab salam suamiku dengan lirih dan tertahan.

 ****

Tok tok tok!

 "Mbak... Mbak.. Sulastri,  mas Amir mbak " terdengar suara gaduh dan ketukan kencang dari luar, sepetinya itu Anto, adik mas Amir.

Segera ku buka pintu, tetiba hati diliputi perasaan cemas.

"Ada apa Anto ? Mana mas Amir ? Kok mas mu ga sama kamu Anto, mana dia ? "Tanya ku tidak sabar. Sempet ku dengar berita kerusuhan di Kanjuruhan, yang membuatku tak bisa tenang,  sejak tadi malam.

"Mas Amir, mas Amir di rumah sakit mbak,   korban kerusuhan semalam,"  muka Anto pucat dan menahan air mata.

  "apa ?, Mas mu kenapa antoo?. Bilang Anto kenapa ?.  Aku bertanya agak berteriak panik dan  cemas. Ya Allah semoga suamiku baik-baik saja. Doaku dalam hati penuh harapan

"Mbak yang sabar ya, mas Amir sudah... meninggal mbak," Anto berkata sambil menangis

"Apa?" tidak mungkiiiin... Tubuhku bergetar, kakiku lemas seperti tak bertulang.
"Mas Amiiir.. " aku berteriak  histeris.  Tubuhku ambruk...

***

Ku usap batu nisan dengan nama Amir bin Sulaiman. Berita kematian mas Amir membuat batinku terguncang, dan berakibat pada kontraksi hebat, hingga akhirnya bayi kami dilahirkan lebih cepat.

"Lihat mas bayi mungil kita, jagoan yang telah lama kita tunggu, kamu tega ninggalin kami  mas, andai kamu ga pergi, pasti kita bahagia bertiga."

"Mas lihat bayi kita mas."

Aku tumpahkan semua sesak di dada, gelap rasanya Dunia, bagaimana aku dan anakmu melalui hari esok ? .  Air mataku terus saja mengalir seperti tak pernah kering.

"Mbak udah sore ayok kita pulang, sebentar lagi hujan." Anto berkata lirih.

 Setelah doa ku panjatkan, ku langkahkan kaki dengan berat, mengendong bayi merah yang malang.  entah bagaimana nasib kami ke depan aku pasrah pada Allah.

Selamat jalan mas Amir.

***

Turut berduka atas tragedi Kanjuruhan. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun