Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Bumi Bulan

8 Desember 2019   12:25 Diperbarui: 8 Desember 2019   12:30 49 1
"Bulan, apa salahmu?
Aku dengar Bumi tak lagi mengagumimu seperti dulu, ya?"

"Kelihatannya seperti itu."

"Kau mungkin kalah hangat daripada Matahari. Sinarmu pun cuma sebatas pantulan darinya saja.
Lihat, hadirmu tak digubris lagi. Bumi yang dulu memujamu, kini beralih ke Matahari. Kau sebenarnya ada salah apa, Bulan?"

"Aku tidak tau salahku dimana. Tapi aku tau sesuatu. Matahari memang lebih terang daripada aku. Dia memang lebih hangat daripada aku. Aku akui itu. Tapi tolong sampaikan pada bumi, tidak ada yang lebih mencintainya daripada aku. Aku tak mengapa diliriknya hanya saat purnama saja. Aku tak mengapa kalau dia lebih memuja matahari yang memang lebih unggul segalanya. Aku tak mengapa kalau dia lupa ada aku yang selalu siap sedia. Ya.. Mungkin karena memang ada banyak manusia di sekelilingnya, jadi sibuknya bukan main. Tapi, aku tak mengapa. Sungguh."

"Lalu, bagaimana kau sekarang?"

"Bagaimana?
Hmm.. Bagaimana ya?
Entah. Biar. Aku hanya bahagia melihat Bumi bahagia. Meski sebab bahagianya justru Matahari. Aku?
Aku masih harus tetap menjaga pasang surut air di Bumi. Aku juga tetap akan menerangi beberapa malamnya. Ya meskipun ini menyakitkan melihat aku yang seperti ini, tapi malah dia sibuk dengan Matahari dan manusia-manusianya. Tapi tak mengapa. Aku cuma ingin Bumi baik-baik saja. Meski memang kadang aku tak enak sendiri. Tapi sungguh, aku tak mengapa."

"Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi sebelumnya mohon maaf soal ini. Aku ingin tau, bagaimana perasaanmu saat kau tau matahari sudah mengambil hatinya?"

"Wah.. Pertanyaan yang bagus.
Singkat kata, aku hancur hari itu."

"Hancur?"

"Iya, hancur. Kau tau? Badanku terbelah pada hari itu. Hancur berkeping-keping. Tapi dia baik, kok. Bumi segera menyatukannya kembali, meski berbekas dan masih sakit. Sekarang coba kau bayangkan. Hal yang paling kau takutkan dan khawatirkan akhirnya benar-benar terjadi. Dan ternyata sudah terjadi secara sembunyi-sembunyi selama ini. Yang terluka bukan hanya perasaanku saja, tapi badanku pun rasanya remuk. Rasanya seperti jasad tanpa jiwa. Aku bukan berlebihan. Hanya saja memang seperti itulah rasanya. Dan hingga saat ini pun, aku masih mengingat kejadian itu. Detail demi detailnya. Tapi aku tak mau menyakitinya. Serpihan-serpihanku, aku tahan sendiri. Agar tak mengenainya, juga manusia-manusianya. Aku tak mau melukainya."

"Tapi dia sudah membunuhmu, Bulan.."

"Lantas kenapa? Menurutmu aku juga harus melukainya balik, begitu?
Tidak, aku tak mau."

"Kenapa? Kau terlalu dibutakan, Bulan. Lihat dirimu. Kau diperlakukan seenaknya sendiri, tapi tetap memilih diam. Lelaki macam apa kau ini?"

"Aku lelaki yang mencintai Bumi. Mana mungkin aku bisa melukainya dengan sengaja walau hanya segores?
Perihal dia melukaiku sebegitu parahnya, ya itu urusan dia. Aku sebagai pecinta hanya bisa menerima. Aku cukup menerimanya saja, tanpa perlu membalasnya. Perihal balasan, aku hanya berharap dia sadar dikemudian hari. Bahwa ada aku yang selalu menjaganya, ada aku yang selalu memperindahnya dan menghiburnya di waktu tergelapnya. Ada aku yang tak pernah merendahkannya. Cukup itu saja. Dia tak perlu merasakan apa yang ku rasakan."

"Sebenarnya kau itu apa? Kenapa sebegitunya?"

"Aku Bulan. Pendamping Bumi sampai kami berdua ditakdirkan hancur dan mati."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun