Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Kelakuan Koruptor Makin Aneh, tapi Masyarakat Suka

9 Desember 2019   22:48 Diperbarui: 10 Desember 2019   15:31 551 0
Pernah merasakan dituduh mencuri? Sekali atau dua kali bisa saja setiap orang merasakan. Entah itu candaan atau pun memang melakukan. Pastinya, ketika dituduh mencuri sontak hati akan terkejut dan tidak terima.

Tuduhan mencuri pernah menjadi traumatik yang saya alami semasa kecil dulu. Menjelang adzan magrib, ketika saya sedang mandi, dari luar rumah terdengar suara teriakan yang sangat keras.

Seorang lelaki paruh baya menuding-nuding muka Ayah. Ia menyebut saya telah mencuri kelapa muda milikinya di kebun. Ketika saya datang, lelaki itu semakin menjadi-jadi, mengujar dengan kata-kata kotor. Ayah sangat syok. Saya diliputi kebingungan dan takut.

Persoalan hingga pada persidangan di masjid. Saya bersama 4 teman lainnya menjadi tertuduh. Semua orang kampung menyaksikan persidangan itu.

Persoalan dimulai ketika setelah sekolah sore (Madrasah Diniyah) saya diajak teman ke kebun untuk makan kelapa muda. Kata teman yang mengajak, pohon kelapa itu milik pamanannya (tidak akan marah jika kelapa mudanya kita makan.) Hingga kami berlima menghabiskan sekitar sepuluh butir.

Rupanya, si paman tidak rela kelapanya diambil. Kami bersalah. Hingga tokoh masyarakat memutuskan kepada orang tua kami untuk mengganti dengan sejumlah uang.

Urusan selesai hanya dengan uang yang tidak seberapa itu. Namun tuduhan mencuri itu menjadi hukuman sosial yang harus saya alami. Saya merasa malu pergi bermain, ke sekolah, ke masjid, bahkan ke rumah guru ngaji. Semua orang membicarakan pencurian kelapa muda itu.

Namun ketika dewasa saat ini, apa yang menjadi trauma justru berubah menjadi bahan candaan saat mengenang masa kecil. Dulu saya takut untuk mengingat, namun sekarang jika diingat hanya akan membuat tertawa. Masa kecil dihiasi kekonyolan seperti itu.

Pencuri memang sebagai pendosa, tapi dari sudut pandang lain bisa saja berbeda. Apa yang pernah saya rasakan bersama temen-teman kecil dulu, sepertinya sama dirasakan oleh para pejabat di daerah tempat tinggal saya.

Soal mencuri, Kota Cilegon diduga rajanya koruptor. Diseret persoalan hukum dan mondok di Lapas beberapa tahun sudah dilewati. Ketika keluar, para koruptor makin aneh saja kelakuannya. Jangankan malu seperti yang saya alami dahulu, ini makin eksis dan mendapat kemuliaan.

Bagaimana tidak, eks koruptor bisa terpilih menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Cilegon, melalui Musyawarah Daerah pekan lalu.  Dimyati S Abubakar namanya. Pernah jadi pasien Kejaksaan karena merugikan negara dengan kasus honorium ganda DPRD Kota Cilegon dengan kerugian Rp2,2 Milyar pada tahun 2005-2006.

Ironisnya di tahun 2015, Dimyati yang saat itu menjabat Ketua MUI Cilegon divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta oleh Mahkama Agung. Ajaibnya, setelah keluar bisa masuk bursa calon ketua dan terpilih lagi menjadi Ketua MUI.

Setelah diselidiki, proses pemilihan diduga banyak kejanggalan. Semua sepertinya  disinyalir sudah dikondisikan. Banyak pengurus MUI yang tidak bisa memberikan hak suara tanpa alasan jelas. Kabarnya pula, diduga tiap suara diganjar dengan amplop.

Sebagai daerah yang dijuluki kota santri, rasanya konyol jika pucuk pimpinan para ulama masi dipegang oleh eks koruptor. Usut punya usut, jabatan strategis ketua MUI diduga untuk memperlancar pemenangan salah satu bakal calon Walikota Cilegon 2020 nanti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun