Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Diary Asramaku: Hari Pertama

24 April 2025   22:08 Diperbarui: 24 April 2025   22:08 81 19
Hari ini, langkahku menapak di gerbang yang baru, bukan sekadar bangunan bernama asrama, tapi sebuah dunia kecil yang menyimpan banyak kisah, energi, dan tanggung jawab.
Aku datang bukan sebagai tamu, tapi sebagai pendamping sementara. Dan meski hanya sementara, aku tahu... kehadiranku tidak boleh setengah hati.

Langkah pertamaku dimulai di kamar yang akan kutempati. Saat membuka pintu, aku mendapati ruang itu belum siap untuk kutinggali, mungkin karena waktu dan situasi yang terburu-buru, atau mungkin memang belum sempat dirapikan. Tak ada niat untuk mengeluh, sebab aku tahu, setiap ruangan menyimpan cerita masing-masing.
Dengan tenang, aku menyingsingkan lengan, menyeka debu, membersihkan dinding, dan menata ulang ruang itu. Ada kepuasan kecil dalam hati, karena aku tak hanya membersihkan kamar, tapi juga menyiapkan ruang batin untuk memulai perjalananku di sini.
Tapi hidup di asrama bukan soal kamar.
Baru saja aku duduk, Helga datang padaku. Bukunya hilang. Dan besok, dia harus ujian. Wajahnya panik, dan aku bisa merasakan beban yang ia tanggung di usia yang masih muda itu. Aku ikut mencari.
Mungkin bukan sekadar buku yang hilang, tapi rasa percaya dirinya yang ikut tergores.

Tak lama berselang, seorang ibu datang. Wajahnya lelah, suaranya lembut namun penuh beban. Anaknya, yang berada di asrama ini, pernah memakai uang asrama dan uang sekolah untuk hal lain. Aku mendengar. Aku mencoba mengerti. Ia seorang ibu tunggal, dan aku tahu, kekuatan hatinya pasti sudah tergerus waktu.
Aku tidak punya banyak solusi, tapi aku punya waktu untuk mendengarkan.

Malam menjelang. Anak-anak kelas 3 SMA minta izin menginap di rumah teman. Katanya besok pagi mereka akan ke salon sebelum misa perpisahan. Beberapa aku izinkan. Beberapa membuatku ragu.
Rasanya seperti berdiri di dua sisi: ingin memahami mereka sebagai teman, tapi juga harus berdiri sebagai pendamping. Maka aku mengambil telepon, menghubungi orang tua. Karena seharusnya bukan hanya anak yang bertanya izin, tapi orang tua pun harus hadir dalam komunikasi itu.
Aku mulai belajar bahwa mendampingi bukan soal tahu semua jawabannya. Tapi tentang berani mengambil keputusan di antara banyak pertimbangan.

Dan ya...
Hari ini baru hari pertama.

Tapi aku sudah harus bicara tegas. Sudah harus mendengar cerita yang berlapis-lapis. Sudah harus menguatkan diriku, dan membuka ruang di hatiku untuk menjadi rumah sementara bagi anak-anak yang juga sedang mencari arah.

Mungkin aku bukan pendamping yang ahli.
Mungkin aku tak punya bakat khusus untuk ini.
Tapi aku datang dengan hati yang bersedia.
Dan kadang, itu cukup untuk menjadi awal dari segalanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun