Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

My Mirror (Cerpen)

5 April 2014   18:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02 46 0
Ini tentang catatan suatu sejarah untuk ke sekian kali. Tentang rasa yang tertinggal di sudut hati, tentang cinta yang berbatas yojana. Namun nama itu tetap tinggal di sana, di sebuah hati yang terus menunggu. Happy reading :) Just fiction guys ;)


...

Cause with your hand in my hand and a pocket full of soul
I can tell you there’s no place we couldn’t go
Just put your hand on the glass
I’m here tryin’ to pull you through
You just gotta be strong

I don’t wanna lose you now
I’m lookin’ right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart
Is a space that now you hold
Show me how to fight for now
And I’ll tell you, baby, it was easy
Comin’ back here to you once I figured it out
You were right here all along

It’s like you’re my mirror
My mirror staring back at me
I couldn’t get any bigger
With anyone else beside me
And now it’s clear as this promise
That we’re making
Two reflections into one
Cause it’s like you’re my mirror
My mirror staring back at me, staring back at me

...

Amri memainkan handphonenya, seiring lagu yang mengalun dari laptop kesayangannya, suara Vara yang sedang menyanyikan lagu Mirror by Justin Timberlake merdu terdengar di keheningan malam, dia membuka menu new message dan mengembalikannya pada tampilan wallpaper layar semula. Amri memaki dirinya sendiri karena terlalu naif untuk mengakui semuanya. 'Aku mencintainya' kata hati yang ingin melupakan masa lalunya. Ingin dirajutnya kembali benang-benang cinta bersama Vara, teman se-kampusnya yang telah memberi warna baru. Mengubah langit mendung menjadi cerah merona. Saat ini rindu tengah menggelitik di sudut hatinya. Nama itu terlihat jelas di sana, hanya perlu sedikit keberanian dan waktu yang tepat untuk mengakuinya.

To : Vara

Lagi apa?

Message sent!

Amri memberanikan diri untuk mengirim pesan terlebih dulu pada Vara. Ini di luar kebiasaannya, biasanya Vara yang selalu terlebih dulu mengiriminya pesan setiap hari.

Menit demi menit terus berjalan, tiba-tiba saja Amri mendapat telepon dari Vara.

"Assalamualaikum," suara itu bukan suara Vara, melainkan Ibu Vara.

"Wa'alaikumsalam, iya Bu ada apa?" terlihat suasana semakin panik.

Hatinya seperti disambar petir, mendengar pernyataan Ibu Vara.

"Saya malam ini juga ke sana Bu,"

Amri bergegas mengambil motornya, dan menuju rumah Vara.

***

Sementara itu, Vara yang sakit sudah tidak tahan lagi, meminta ibunya untuk menyampaikan sebuah surat pada Amri, jika terjadi apa-apa dengan dirinya.

"Nak, kamu harus bertahan, dulu kamu bisa menang dari penyakit itu, sekarang pun harus bisa." suara itu gemetar, ada rasa takut kehilangan.

"Tenang aja Bu, kalo Vara meninggal, Vara pasti tenang bersama-Nya." Vara tersenyum mencoba menahan rasa sakit.

"Lalu untuk apa surat ini kamu berikan pada Ibu? Tunggu Amri datang ya, kamu harus bertahan, kita ke rumah sakit malam ini juga."

Vara hanya tersenyum dan begitu seterusnya.

Amri pun datang, langsung saja Vara dibawa masuk ke ambulance yang telah dipersiapkan.

"Kenapa nggak bilang ke aku, Ra?" Vara tersenyum pada Amri.

"Aku... nggak mau buat kamu khawatir kak, kamu sahabat yang terlalu baik buat aku." Ada kebohongan di sana, Vara sebenarnya mencintai Amri dengan segenap hatinya. Namun dia tidak ingin merusak tali persahabatan mereka yang baru saja saling mengenal, dia takut jika dia menyatakan perasaannya, walaupun memang tidak ada larangan untuk mencintainya. Belum tentu tangan itu akan disambut mesra atau bahkan perasaan sayang itu mungkin saja tidak ada pada diri Amri terhadapnya.

***

Beberapa hari kemudian...

Sudah 3 hari Vara tidak sadarkan diri, dan kini Amri tengah menjaganya. Siang dan malam, bergantian dengan orang tua Vara. Bahkan sekali waktu dia tidak masuk kuliah hanya untuk menemani Vara yang masih diam tak berdaya.

"Nak Amri, ini ada titipan dari Vara, minta tolong berikan ke Nak Amri katanya jika terjadi apa-apa pada dirinya." diambilnya surat itu, dan dibacanya.

-------------------------------------------------

Teruntuk Pangeran Diksi yang kusayangi,

Kak, itu sebutanku untukmu, kamu yang selalu bisa membuatku bersabar dengan masalah-masalah yang aku hadapi. Dengan kata-katamu yang membiusku untuk pertama kali saat itu, kakak pasti ingat dengan perkenalan kita. Kak Am yang tercinta, kuharap kamu baik-baik saja di sana. Saat aku membuat surat ini pun aku sedang sakit, maaf ndak bilang. Aku tahu rasa cinta itu sah-sah aja untuk siapapun dan dari siapapun. Karena setiap orang punya jodohnya masing-masing, dan jodoh itu takkan tertukar. Saat pertama kali kita berbalas puisi, itu sebenarnya pertanyaan dari hatiku, bukan sekedar puisi. Apa kakak bisa merasakannya saat itu?

Mungkin tidak, kakak hanya sekedar mengimbangi puisi yang kita posting di depan umum. Hanya tuntutan. Namun tidak dengan diksiku, tidak dengan hatiku, semuanya ada di sudut hatiku yang menjawab setiap malam-malam sujud Tahajudku bersama-Nya, atas kehendak dari-Nya. Aku sakit, memang benar tahun kemarin aku sudah operasi. Namun, Tuhan punya kehendak lain, penyakit itu kembali, dan aku berusaha tersenyum untuk setiap terapi yang diberikan dokter padaku. Aku tak ingin mengumbar cinta, karena jika iya, aku pasti menunjukkannya lewat tindakanku.

Bagaimana dengan rasa ini? Tak apa, aku dapat menahannya, dan aku pasti menunggu takdir-Nya. Bertemu denganmu sudah cukup membuatku bahagia.

Akankah bisa aku menemuimu? Akankah aku bisa bertahan dengan sakitku? Kak, teruslah tersenyum untukku, dan untuk orang yang kamu cintai dimana pun dia berada.

Inilah untaian rasaku, dalam rindu yang kian bertaruh pada waktu. Tentang rasa, di sudut hati yang kini terukir namamu.

Blora, 14 Februari 2014.

With Love

Varadina,

------------------------------------------------

Diremasnya surat itu, dipeluknya Vara yang sedang terbaring lemah.

"Maafin aku Ra, aku juga sayang kamu." Titik-titik air berjatuhan di pipinya.

***

Cinta itu ternyata bersambut, Vara tersenyum manis sekali di hadapan Amri yang duduk di sampingnya. Dia masih terbaring lemah saat ini. Untuk itulah Amri mencintai Vara, senyumnya yang manis selalu terbayang di sela-sela senja yang menemaninya. Ditemani dengan lagu yang biasanya Vara nyanyikan tentunya.

Taruhlah tanganmu di kaca

Aku di sini mencoba tuk sembuhkanmu

Kau hanyalah harus kuat

Karena aku tak ingin kehilanganmu

Sedang kutatap separuh jiwaku

Kehampaan yang menghuni hatiku

Adalah ruang kosong yang kini kau huni


"Besok kata dokter aku harus dipindahkan ke rumah sakit Taiwan," ada jeda di kata-kata itu. "Aku pasti kembali untukmu."

"Kamu harus berjanji sama aku, aku nggak mau menyesal karena kebodohanku untuk kedua kali yang hampir terjadi. Aku boleh ikut kan?" Amri meminta dengan kesungguhan hati.

Vara menggeleng. "Kamu mau bikin aku kecewa lagi? Kamu harus menemuiku dengan toga di tanganmu. Aku pasti kembali, percayalah semua itu di hatimu." Vara menunjuk dada Amri. Ada getar di sana.

"Aku percaya kamu, selama yang aku tahu, kamu nggak pernah ngecewain aku."

Vara tersenyum. Kilas wajah itu terpagut mesra di hatinya dan dibawanya esok ke Taiwan.

Keesokan harinya...

Terngiang kembali syair terjemahan dari lagu yang sering Vara nyanyikan ketika mereka bersama. Kini senja itu mengulas rindu, terhias ungu yang menandakan keabadian cinta dalam yojana itu ada. Nyata di hadapannya. Lugas, tergambar jelas senyum terakhir itu untuknya saat perpisahan itu di Bandara Juanda.

Dilihatnya lazuardi membentang, menguraikan rasanya seluas itu cintanya pada Vara. Oh tidak, bahkan tak ada apapun yang dapat memetafora perasaannya.

Seiring langkah kaki itu masih dirasakannya kehadiran Vara di sisinya. Berada dekat di hatinya, memeluknya dari kejauhan. Cinta dalam yojana suatu saat akan menemukan bahagia. Menunggu waktu berhias rindu.

Coming back into you once I figured it out, you were right here all along.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun