Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ketika Orang yang Dicintai Melukai dan Meninggalkan Lubang Menganga di Hati

10 November 2012   22:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:39 775 2

Pertemuan walimurid dan pihak sekolah berjalan lancar. Ketua Tim Sukses Kelas 6 banyak memberi pengantar sekaligus pengarahan bagi para walimurid. Setelah mulai menyangkut pembicaraan tentang program kerja FORMULA, barulah saya dan pengurus lainnya maju ke depan untuk memimpin pertemuan walimurid. So far so good, lah... Grundel-grundel yang sebelumnya santer terdengar, sudah di-floor-kan. Persoalan program FORMULA pada akhirnya mengerucut pada program rekreasi sekolah ke Yogya. Banyak yang pro, tetapi ada juga yang kontra. Untuk menghindari aklamasi karena ingin mengedepankan musyawarah, akhirnya disepakati bahwa program rekreasi akan diselenggarakan di wilayah Jawa Timur saja.

Yang menarik dari pertemuan ini, pada akhir sesi, tim sekolah menurunkan acara yang menggugah hati. Diiringi instrumental yang syahdu, dua ustadzah bercerita tentang filosofi air yang kemudian merunut pada tema anak dan orangtua. Saya tahu bahwa tema acara itu terkait dengan smart parenting. Sudah dua tiga kali saya rutin mengikuti program smart parenting sehingga paham alur dan situasi yang biasa disampaikan. Saya tahu, tidak banyak orang tua yang berkesempatan mengetahui atau mengikuti program smart parenting. Saya yakin, sesi yang diberikan pihak sekolah pada akhir pertemuan ini juga dalam rangka merespon informasi saya yang menemukan orangtua walimurid yang bertindak tidak semestinya kepada anaknya.

Ahhhhh....

Masih banyak kisah lain yang diceritakan dengan maksud menggugah hati. Tapi untuk cerita paku dan lubang menganga ini, saya tak bisa tak menangis. Saya paham sekali dan selalu terhanyut dengan luka hati yang meninggalkan lubang menganga itu. Pesan dalam kisah paku dan lubang menganga itu dapat termanifestasi dalam berbagai rupa. Banyak persoalan dan peristiwa yang kita alami di masa lalu dan masa kini yang dapat berlaku demikian. Tidak harus antara hubungan orangtua dan anak. Kemarahan dan pertengkaran pada sebuah pertemananan, persahabatan, bahkan percintaan, juga dapat menimbulkan luka hati yang menimbulkan lubang menganga itu...

Belasan tahun lalu, setidaknya saya pernah merasa memiliki luka jiwa itu. Hingga kini, luka tersebut masih ada bekasnya. Belasan tahun lalu pula, saya mungkin juga meninggalkan luka jiwa pada orang lain. Meski luka jiwa itu terobati, tapi saya yakin saya meninggalkan lubang menganga pada hati orang lain.

Hari ini, beberapa bulan lalu hingga beberapa minggu lalu, ada luka jiwa lain yang kembali berulang. Seperti paku menancap di hati. Pelan-pelan paku itu saya ambil. Berhasil. Tapi ternyata ada luka baru yang tertinggal dan berbekas. Persis seperti lubang menganga yang muncul belasan tahun lalu itu. Sedihnya, yang membuat lubang menganga itu justru orang yang mengetahui bahwa saya sudah memiliki lubang menganga belasan tahun lalu. Belajar dari masa lalu, saya tidak ingin kembali melakukan hal yang sama. Saya tidak ingin terbawa untuk meninggalkan lubang menganga pada orang lain lagi. Karena saya yakin betul, apapun doa terucap ketika tangis jatuh akibat melukai hati hingga menimbulkan lubang menganga itu sangat mustajab. Saya percaya dengan kekuatan doa dari mereka-mereka yang memiliki luka jiwa dan lubang menganga di hati. Dari masa lalu pula, saya belajar bahwa berdoa dengan kemarahan itu juga dapat membawa ketidakbaikan...

Sembuhkan hatiku.

Sembuhkan pula hati mereka yang mungkin terluka karenaku.

Ya Rabb, jangan biarkan kemarahan menguasai diriku.

Agar aku tak melukai dan meninggalkan lubang menganga pada hati orang lain.

Agar aku tak melukai dan meninggalkan lubang menganga pada hati orang-orang yang kucintai.

Karena aku tahu.

Luka hati dan lubang menganga ini kerap hadir justru oleh orang-orang yang dicintai.

Ya Rabb, lembutkan hatiku.

Agar aku menjadi pemaaf.

Agar aku pun dimaafkan.

Agar tak ada lubang menganga yang terluka karenaku.

Dan

Agar tak ada lubang baru menganga yang terluka di hatiku.

Karena aku tahu.

Luka jiwa sama pedihnya seperti luka fisik.

Luka tak harus karena pukulan, tetapi juga karena kata-kata, ucapan, dan perilaku.

Seperti luka fisik, luka jiwa pun ternyata meninggalkan bekas.

Lumajang, 11 November 2012.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun