Mohon tunggu...
KOMENTAR
Otomotif

10 Mitos Salah Kaprah Tentang Mobil

18 September 2011   10:50 Diperbarui: 4 April 2017   18:23 41250 4
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia, Indonesia dinilai oleh produsen mobil sebagai pasar potensial. Penilaian ini bertambah kuat setelah pemerintah menerbitkan deregulasi sektor otomotif tahun 2003 silam. Ini memberi peluang masuknya mobil-mobil impor yang sekaligus membawa cakrawala baru.

Berbagai macam merek langsung menyerbu pasar otomotif Tanah Air i- terutama dari produsen Eropa - bersaing dengan produk-produk Jepang yang sudah terlebih dahulu mapan. Kehadiran produk-produk itu, sekaligus mengusung teknologi yang juga tergolong baru bagi konsumen kita.

Dominasi produk Jepang seperti Toyota, Daihatsu, Honda, Isuzu dan Mitsubishi selama beberapa dekade, menghadirkan pula kesenjangan teknologi sekaligus informasi. Bahkan untuk aspek terakhir ini, juga akhirnya melahirkan berbagai mitos tentang mobil yang dipahami konsumen sebagai kebenaran, namun sesungguhnya tak lebih dari salah kaprah.

Dari catatan saya, setidaknya ada 10 mitos yang hingga sekarang masih dipercayai sebagai kebenaran oleh sebagian konsumen mobil. Berikut, ke-10 mitos dimaksud.

1) Mobil harus indreyen. Ini istilah yang lazim kita dengar. Indreyen dimaksud, yakni proses yang diperlukan mesin agar komponen-komponen di dalamnya bebas dari friksi dan kinerjanya optimal. Karena itu, mobil yang baru dibeli tidak boleh langsung dipakai dengan kecepatan tinggi.

Ini jelas salah kaprah, karena mesin-mesin modern berikut komponennya dibuat dengan presisi tinggi. Bahkan proses optimalisasi kinerja mesin, sudah dilakukan sejak sebelum sebuah mobil masuk ke showroom.

2) Panaskan mesin di pagi hari. Untuk apa? Dulu, mesin perlu dipanaskan dengan alasan agar diperoleh suhu kinerja yang optimal dan agar pelumasan oli merata ke seluruh komponen.

Sekarang ini, konstruksi mesin dirancang dengan alur oli yang lebih banyak sehingga pelumasan langsung merata begitu mesin dihidupkan. Keunggulan ini juga didukung oleh teknologi produk oli. Rangkaian molekul pada senyawa kimia oli tidak mudah terputus sehingga oli akan tetap melekat pada komponen kendati mesin dalam keadaan mati.

3) Gas kencang-kencang sebelum mesin dimatikan. Tidak jelas tujuannya apa. Yang pasti, perlakuan ini akan membuang bahan bakar dengan sia-sia.

4) Mobil Jepang lebih mudah diservis. Tentu saja bila ukurannya adalah banyaknya workshop atau bengkel mobil-mobil Jepang. Wajar, karena produsen Jepang memang lebih dulu melebarkan sayapnya di Indonesia.

Tapi bila bicara tentang servis mesin, nyaris tak ada lagi perbedaan teknologi mesin Jepang dengan mesin-mesin yang dipakai produk Eropa, Amerika, Korea bahkan China. Semua mesin modern sekarang ini, kinerjanya diatur oleh sistem komputer.

5) Tune-up dan ganti oli sesuai jarak tempuh (km). Ini sebanarnya sekadar patokan untuk memudahkan. Tune-up pada mobil modern, hanyalah menyelaraskan kembali kinerja komponen berdasarkan analisis perangkat yang juga bekerja secara computerized. Bila tidak ada komponen bermasalah, maka tune-up tidak diperlukan.

Akan halnya ganti oli, acuan berdasarkan jarak tempuh menjadi bias. Penyebabnya antara lain kemacetan di suatu lokasi dimana mobil tersebut sering digunakan. Interval penggantian oli, tentu berbeda dengan mobil yang relatif tidak pernah mengalami kemacetan. Demikian pula halnya cuaca, kondisi medan, merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengaturan waktu penggantian oli.

6) Mobil murah BBM-nya juga murah. Pemahaman ini bahkan sering dimanfaatkan para sales di showroom untuk merayu calon konsumen. Padahal, mobil yang murah tidak otomatis konsumsi BBM-nya cukup yang murah juga.

Mobil murah, terkadang identik dengan mobil yang menggunakan mesin berkapasitas (cc) kecil. Padahal secara teknis, mesin kecil sekarang rata-rata memiliki tenaga besar. Untuk mendapatkan tenaga dimaksud, salah satu upaya produsen mesin yakni menaikkan kompresi pada proses pembakaran.

Sebagai contoh, Kijang Innova lebih mahal dari Avanza. Tapi untuk konsumsi BBM, Innova mungkin cukup memakai Pertamax, sedangkan Avanza lebih ideal kalau pakai Pertamax Plus.

Hal serupa, juga kita temukan misalnya pada Grand Livina bermesin 1.8 liter dengan 1.5 liter. Bila kinerja mesin Grand Livina 1.8 liter masih memadai dengan konsumsi BBM Premium, maka untuk memperoleh performa serupa, Grand Livina 1.5 liter harus menggunakan Pertamax.

Setali tiga wang, juga terjadi misalnya pada produk Honda CRV 2.0 liter dengan yang 2.4 liter. CRV bermesin 2.0 liter, harusnya menggunakan BBM dengan oktan lebih tinggi dibandingkan CRV 2.4 liter.

7) Mesin besar pasti konsumsi BBM-nya boros. Logika biasa membenarkan hal itu. Tapi secara teknis, belum tentu karena ada rumusan power to weight ratio atau rasio antara bobot dengan produksi tenaga yang berlaku pada mobil. Bila bobot mobil terlalu berat sementara tenaga yang dihasilkan mesinnya kecil, maka kekurangan itu mutlak dikompensasi dari konsumsi bahan bakar yang lebih banyak.

8) Mobil matic tidak lincah di tanjakan dan tidak bisa ditarik kalau mogok. Ini tentu masih mengacu pada pengalaman teknologi transmisi matic zaman dahulu. Sementara transmisi matic sekarang ini memiliki keunggulan jauh dan juga bekerja berdasarkan sistem komputer. Karena itu, kebutuhan torsi pada setiap kecepatan dan beban, akan terus mendapatkan penyesuaian.

Mobil bertransmisi matic pun tetap boleh ditarik bila mogok, dengan memperhatikan syarat penanganannya. Misalnya, kalau mobil dimaksud berpenggerak roda belakang, maka saat proses penarikan, roda belakang harus dalam keadaan bebas (tidak berputar) alias digantung. Demikian pula sebaliknya, bila mobil gerak roda depan sebaiknya roda depan tidak menyentuh permukaan jalan.

Bagaimana dengan mobil berpenggerak empat roda (AWD atau 4WD)? Solusi terbaik, memang sebaiknya dengan menaikkan ke mobil gendong. Lagi pula, menarik mobil yang mesinnya mati menggunakan tali, tentu sangat berbahaya mengingat rem dan kemudi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

9) Mobil Eropa unggul aspek keamanan dan keselamatannya. Ini pemahaman yang tidak lagi benar. Pasalnya, mobil-mobil modern sekarang dilengkapi fitur keamanan dan keselamatan standar yang nyaris sama. Kalau ada perbedaan, lebih karena alokasi penjualan produk dimaksud pada suatu negara yang belum mementingkan tingkat keselamatan yang tinggi.

Memang, ada juga beberapa fitur keselamatan yang menjadi ciri khas sebuah produk, namun prinsip kerjanya dengan fitur keselamatan di produk lain sebenarnya sama. Perbedaan, biasanya pada soal penamaan. Jadi, jangan terkecoh.

10) Mobil kaleng kerupuk, wajar jika harganya murah. Ada istilah kaleng kerupuk, tentu karena kita sering melihat sebuah mobil yang terlibat tabrakan ringsek tidak berbentuk. Kondisi kasat mata itu, meninggalkan kesan bahwa mobil dimaksud tentulah buruk aspek safety-nya.

Sekarang ini, banyak produk mobil, terutama dari Eropa yang beberapa komponennya tidak lagi dibikin dari bahan logam. Misalnya di bagian bumper dan bonnet (tutup kap mesin). Tapi tidak lantas karena bahan yang digunakan yang tentu lebih lunak dari logam, mobil dimaksud memiiki tingkat keamanan yang rendah.

Teknologi crumple zone, justru menuntut pemakaian bahan yang lunak, rapuh dan mudah remuk bila terjadi tabrakan. Tujuannya tak lain, agar energi dari benturan yang terjadi bisa terserap atau diredam sehingga impact-nya menjadi kecil pada penumpang.

Bila dilihat dari rancang bangun, sebuah mobil dibangun dalam tiga bagian utama (three boxes). Bagian depan dan belakang, dibuat rapuh dan mudah remuk untuk tujuan peredaman. Sedangkan bagian tengah yang berisi penumpang, dirancang dengan konstruksi yang kuat.

Ironisnya, beberapa pemilik mobil, khsusnya dari jenis MPV yang justru menambahkan aksesori berupa bumper dati bahan besi. Maksudnya, tentu agar bagian belakang atau depan mobilnya tidak remuk bila bertabrakan dengan mobil lain. Jelas, ini sebuah kekeliruan. Karena batang besi yang dipasang, justru mencegah crumple zone bekerja. Energi benturan tidak lagi terserap sehingga menghasilkan impact yang besar dan meningkatkan potensi cedera pada penumpang.

Jadi, mobil yang sosoknya remuk dan kita sebut kaleng kerupuk, sesungguhnya bisa lebih aman. Industri otomotif yang mengaplikasi standar keselamatan tinggi pada produknya, justru tidak lagi memakai kaleng. Tapi, boleh jadi mengaplikasi kerupuk kulit.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun