Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Menyoal Problem Berbangsa dan Bernegara

5 Agustus 2010   03:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:18 2508 0
Dewasa ini, persoalan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, sedang mengalami ujian dan berada pada masa-masa sulit. Krisis hampir dalam segenap aspek kehidupan. Akar dari semua persoalan sesungguhnya telah terjadi krisis kepercayaan dan kepemimpinan yang secara simultan berakibat pada terjadinya krisis kebangsaan dan kenegaraan. Pasca reformasi 1998, nilai-nilai kebangsaan Pancasila, sebagai dasar negara, ideologi negara, falsafah hidup, way of life bangsa Indonesia, jatidiri bangsa disembunyikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan kata lain, aspek-aspek lokalitas mulai dijauhi bahkan mungkin ditinggalkan untuk selanjutnya beralih pada setiap entitas yang bernafaskan global agar tidak dicap ketinggalan jaman. Sehingga akibatnya, kebanggaan dan komitmen sebagai bangsa semakin luntur.

Di sisi lain, ada kecenderungan untuk membangkitkan superioritas etnis. Klaim-klaim etnisitas dan paham sektarianisme mulai menyeruak muncul dan menenggelamkan identitas kebangsaan kita yang menempatkan pluralitas dan heterogenitas sebagai sebuah modal sosial. Persoalan disintegrasi bangsa akan semakin meruncing ketika terjadi krisis ideologi. Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa pun nampaknya mulai tercerabut dari sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Absennya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pertama dan terutama selama 11 tahun terakhir ini (sejak reformasi bergulir), tampaknya telah melululantahkan keputusan besar menyangkut ideologi negara yang dilahirkan Founding Fathers Negara bangsa ini. Pancasila sebagai ideologi negara disadari atau tidak, termarjinalisasikan di tengah-tengah ideologi dunia seperti kapitalisme liberalisme atau ideologi global. Arus globalisasi tampak diyakini telah memberi andil besar menenggelamkan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, pandangan hidup, dan falsafah bangsa, yang penuh mengandung nilai-nilai kebangsaan.

Filsafat bangsa, yang sangat mungkin menjadi modal keunggulan bangsa, justru semakin ditinggalkan, atau dalam bahasa lain, ada semacam keengganan merujuk Pancasila sebagai arah yang dapat menuntun negara bangsa ini merealisasikan tujuan bernegara, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Sehingga disadari atau tidak, masyarakat mulai kehilangan identitas nasional. Dan yang kemudian terjadi adalah kebingungan masyarakat untuk menentukan pilihan gaya dan cara hidup. Padahal, bagaimanapun setiap bangsa dan negara mempunyai ukuran-ukurannya tersendiri yang menjadikan pedoman pelaksanaan langkah-langkah pembangunannya. Ukuran-ukuran tersebut sudah barang tentu pertama-tama merujuk kepada ideologi suatu negara tersebut sebagai cita-cita berbangsa dan bernegara.

Sehingga, logis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia semakin terpuruk. Untuk dapat keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan, menemukan solusi yang memadai dan kompatibel terhadap problem kebangsaan, diperlukan langkah dan terobosan strategis yang bersifat lintas agama, ras, kelompok dan golongan; dengan mengutamakan spirit nasionalisme.

Di tengah peristiwa yang sedang menghantui pergulatan kehidupan kita sebagai bangsa dan negara, yaitu dideranya oleh berbagai persoalan, bahkan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai ancaman krisis energi, krisis pangan, bencana alam, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan hidup yang membahayakan kelangsungan hidup manusia, serta krisis ekonomi global, telah tampak pada pergaulan dan pergumulan kehidupan kita.

Pada titik simpul persoalan-persoalan tersebut di atas, sangat krusial, menyoal relevansi filsafat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana ujud relevansi antara filsafat dengan kehidupan berbangsa dan bernegara? Tulisan ini memncoba akan membicarakan seputar itu, oleh karena menyangkut persoalan paradigmatik yang mendasar dalam melihat proses berbangsa dan bernegara.

Proses bangsa yang menegara memberikan gambaran tentang bagaimana terbentuknya bangsa, di mana sekelompok manusia yang berada di dalamnya merasa sebagai bagian dari bangsa. Negara merupakan organisasi yang mewadahi bangsa. Bangsa tersebut merasakan pentingnya keberadaan Negara, sehingga tumbuhlah kesadaran untuk mempertahankan tetap tegak dan utuhnya Negara melalui upaya bela Negara. Upaya ini dapat terlaksana dengan baik apabila tercipta pola pikir, sikap dan tindak/perilaku bangsa yang berbudaya yang memotivasi keinginan untuk membela Negara: bangsa yang berbudaya, artinya bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan penciptanya/”Tuhan” disebut Agama; bangsa yang mau berusaha, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut Ekonomi; bangsa yang mau berhubungan dengan lingkungan, sesama, dan alam sekitarnya disebut Sosial; bangsa yang mau hidup aman tentram dan sejahtera dalam Negara disebut Pertahanan dan Keamanan.

Pada zaman modern adanya Negara lazimnya dibenarkan oleh anggapan atau pandangan kemanusiaan. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia. Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 merumuskan bahwa adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa sehingga penjajahan yang bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan harus di hapuskan. Apabila “dalil” ini kita analisis secara teoritis, hidup berkelompok baik masyarakat, berbangsa maupun bernegara seharusnya tidak mencerminkan eksploitasi sesama manusia (penjajahan) melainkan harus berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Inilah teori pembenaran paling mendasar dari bangsa Indonesia tentang bernegara. Hal yang kedua yang memerlukan suatu analisis ialah bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Tetapi dalam penerapannya sering timbul pelbagai ragam konsep bernegara yang saling bertentangan.

Perbedaan konsep tentang Negara yang dilandasi oleh pemikiran ideologis adalah penyebab utamanya. Karena itu, kita perlu memahami filosofi ketatanegaraan tentang makna kebebasan atau kemerdekaan suatu bangsa dalam kaitannya dengan ideologinya. Namun di zaman modern, teori yang universal ini tidak diikuti orang. Kita mengenal banyak bangsa yang menuntut bangsa yang sama. Orang kemudian beranggapan bahwa untuk memperoleh pengakuan dari bangsa lain, suatu Negara memerlukan mekanisme yang lazim disebut proklamasi kemerdekaan.

Pertama, terjadinya Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu proses yang tidak sekadar dimulai dari proklamasi. Perjuangan kemerdekaan pun mempunyai peran khusus dalam pembentukan ide-ide dasar yang dicita-citakan.

Kedua, Proklamasi baru “mengantar bangsa Indonesia” sampai ke pintu gerbang kemerdekaan. Adanya proklamasi tidak berarti bahwa kita telah “selesai”bernegara.

Ketiga, Keadaan bernegara yang kita cita-citakan belum tercapai hanya dengan adanya pemerintahan, wilayah, dan bangsa, melainkan harus kita isi untuk menuju keadaan merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.

Keempat, terjadinya Negara adalah kehendak seluruh bangsa, bukan sekadar keinginan golongan yang kaya dan yang pandai atau golongan ekonomi lemah yang menentang golongan ekonomi kuat seperti dalam teori kelas.
Kelima, Religiositas yang tampak pada terjadinya Negara menunjukkan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Unsur kelima inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi pokok-pokok pikiran keempat yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa Indonesia bernegara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang (pelaksanaannya) didasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.

Negara kebangsaan yang berbentuk kepulauan Indonesia terbentuk dengan karakteristik unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Yunani serta Negara-negara Eropa Barat lainnya, yang menjadi suatu negara bangsa (nation state) karena kesamaan bahasa. Atau Australia, dan juga negara-negara Asia Selatan lainnya, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Latar belakang historis dan kondisi sosiologis, antropologis dan geografis Indonesia yang unik dan spesifik seperti, bahasa, etnik, atau suku bangsa, ras dan kepulauan menjadi komponen pembentuk bangsa yang paling fundamental dan sangat berpengaruh terhadap realitas kebangsaan Indonesia saat ini.

Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas prakarsa dan usaha yang “berdarah-darah” dari founding fathers dan seluruh pejuang Indonesia, yang tanpa kenal lelah keluar masuk penjara dan dibuang ke tempat pengasingan, serta gugur sebagai pahlawan bangsa, oleh pemerintah kolonial atau penjajah guna memantapkan rasa dan semangat kebangsaan Indonesia yang resminya lahir pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 — sebelumnya diawali dengan terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, yang pada bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan hidup (way of life) dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan bangsa kita yang beraneka ragam suku atau etnik, ras, bahasa, agama, pulau, menjadi bangsa yang satu, Indonesia.

Keterkaitan nilai-nilai Pancasila itulah, maka Pancasila sebagai sebuah momen bangsa, bahkan jelas Kuntowijoyo (1994) ”sebagai puncak pemikiran tentang hati nurani yang terdalam, dan sekaligus suatu dokumen hidup yang secara terus menerus dapat dipakai sebagai referensi.”
Reformasi telah berlangsung sekitar 11 tahun. Perjalanan kehidupan negara dan bangsa masih saja jauh dari harapan. Dengan perkataan lain, perjalanan kehidupan negara bangsa ini, apakah telah tumbuh sebagaimana yang diharapkan para pendiri bangsa (founding fathers)? Apakah kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai ukuran-ukuran implementatif untuk merajut hidup dan kehidupan yang beradab yang dioperasionalisasikan dari nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara ini?

Memang, bila menengok ke belakang, nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaannya berulang kali diselewengkan oleh rezim, karena proses politik yang kerapkali memanipulasi Pancasila hanya demi kekuasaan semata. Nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya hampir tidak bisa dielakkan oleh siapapun, karena mengandung nilai-nilai kemanusiaan dalam tataran implementasinya justru sebaliknya. Dengan perkataan lain, makna tentang Pansasila untuk mengguide (membimbing) dan membantu kita dalam pemahaman bernegara dan berbangsa, acapkali direduksi oleh wilayah kepentingan tertentu. Dengan perkataan lain, Pancasila yang mengandung nilai-nilai dasar yang relevan dengan proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis, justru ditinggalkan.

Dalam konteks inilah atau untuk menciptakan SDM yang berkualitas dan handal maka salah satu yang diperlukan, yaitu suatu sistem dan produk pendidikan yang tidak saja berfungsi sebagai mekanisme kelembagaan pokok untuk mengembangkan keahlian dan pengetahuan, namun juga mengupayakan terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang mampu berpikir kritis, komprehensif dan integral dengan dilandasi oleh kepribadian yang mantap dalam menjunjung tinggi moralitas dan kearifan lokal yang ada, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan negara bangsa.

Artinya, bahwa setiap negara dan bangsa di manapun tentu memiliki filsafat hidupnya. Pancasila sebagai falsafah negara bangsa ini, dan ideologi merupakan suatu sistem nilai yang memberikan motivasi, tekad dan berjuang. Ideologi sesungguhnya merupakan kebulatan ajaran tentang kehidupan yang dicita-citakan (pandangan hidup) kenegaraan dan kemasyarakatan. Atau ideologi sebagai suatu gagasan yang berdasarkan suatu idea tertentu, yang menjadi pedoman perjuangan untuk mewujudkan idea tersebut. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang dimaksud ideologi adalah Pancasila sebagai pandangan hidup, jiwa dan kepribadian, dasar negara Indonesia. Pancasila menjadi pegangan dan pedoman bagaimana bangsa Indonesia memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang semakin majemuk.

Dengan demikian, ideologi memberikan dasar etika pelaksanaan kekuasaan politik, dapat mempersatukan rakyat suatu negara. Ideologi memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dengan yang dipimpin untuk berjuang bahu membahu demi prinsip kepentingan bersama. Ideologi juga memberikan pedoman untuk memilih kebijakan.

Para pendiri bangsa yang diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ideologi Pancasila bersumber pada cara pandang integralistik yang mengutamakan gagasan tentang negara yang bersifat persatuan. Ideologi Pancasila sebagai suatu kesatuan tata nilai tentang gagasan-gagasan yang mendasar, yang didasarkan pada pandangan hidup bangsa, yang merupakan jawaban terhadap diperlukannya falsafah dasar negara Republik Indonesia.

Dalam kaitannya Pancasila sebagai falsafah bernegara dan berbangsa, telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 sebagai berikut: ”... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil beradab. Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Maksudnya, bahwa Pancasila mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia yang plural dengan persamaan dalam perbedaan, menjadi sumber dari segala sumber hukum dalam tatanan bernegara, tatanan dinamika gerak kenegaraan atau pemerintahan, tatanan hidup kehidupan beragama, tatanan hukum, tatanan pekerjaan yang layak dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tatanan kesejahteraan sosial atau perekonomian, tatanan pertahanan keamanan, tatanan pendidikan dan sebagainya, yang secara instruksionalnya tergambarkan dalam pasal-pasal konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang mengikat dalam penyelenggaraan bernegara.

Pancasila sebagai ideologi, sesungguhnya mengandung dimensi ideologi murni dan praktis. Kuntowijoyo (1994) menjelaskan bahwa: Ideologi murni lahir dari khazanah sejarah masa lampau, sedangkan ideologi praktis dapat diamati sepanjang perjalanan sejarahnya. Kalau latar belakang budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia telah menjadi dasar penyusunan sila-sila Pancasila, maka pengalaman sejarah dalam Revolusi Kemerdekaan, periode percobaan dengan demokrasi liberal, periode demokrasi terpimpin, dan periode pembangunan sekarang ini ( Orde Baru – penjelasan penulis) menjadi dasar bagi penyusunan ideologi praktis itu. Sebuah ideologi mengandung kedua unsur, murni dan praktis, yang masing-masing akan saling menunjuk. Jika ideologi murni itu kurang lebih permanen, maka ideologi praktis dapat saja berubah.

Bahkan lanjut Kuntowijoyo, selain itu, sebuah ideologi mempunyai unsur yang penting yaitu idealisme. Maka ketika kita berbicara Ideologi Pancasila sebagai hasil dari sebuah proses, sejarah merupakan satu-satunya pembenar terhadap ideologi. Ideologi juga dimaksudkan untuk mengubah sejarah, dalam arti bahwa ia mempunyai rujukan dalam aktualisasi, tetapi tidak semata-mata menyerah kepada perintah-perintah sejarah yang dipaksakan...... hubungan antara ideologi murni dengan realitas sejarah diwujudkan dalam ideologi praktisnya, yaitu bagaimana seharusnya realitas itu ditafsirkan dan diberikan jalan ke pemecahan persoalan-persoalannya. Pendekatan sebuah ideologi seperti Ideologi Pancasila bukanlah semata-mata sebuah praxis, tetapi juga sebuah nilai, cita-cita, harapan, bahkan sebuah impian yang ingin diwujudkan.

Dengan demikian, gagasan-gagasan dasar yang dikemukakan oleh ideologi Pancasila sebagai falsafah negara, sesungguhnya dapat ditelusuri di dalam Undang-Undang Dasar 1945, karena secara konstitusional itu telah menjadi pijakan bernegara dan berbangsa. Sebagaimana dijelaskan oleh PadmoWahjono (1993: 235) yaitu sebagai berikut:
• Mengenai bermasyarakat, yang kita jumpai nilai-nilai dasarnya di alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
• Mengenai bernegara, yang kita jumpai pada alinea II Pembukaan;
• Mengenai terjadinya negara, yang kita jumpai pengertiannya di dalam alinea III Pembukaan;
• Mengenai tujuan bernegara, pengertian kerakyatan atau demokrasi, dan kedaulatan rakyat atau kekuasaan tertinggi di dalam negara yang berada pada rakyat, kesemuanya dirumuskan di dalam alinea IV Pembukaan.

Jadi, setiap negara lahir dan berdiri, sesungguhnya karena didasari oleh suatu cita-cita dan tujuan yang ingin diraihnya dalam penyelenggaraan bernegara bagi kehidupan masyarakatnya. Cita-cita yang ingin diraih itu, diwujudkannya dalam ideologi negara tersebut sebagai pijakan arah perjuangannya. Tanpa memiliki cita-cita dan tujuan, tampak akan kehilangan arah dalam merealisasikannya. Itu sebabnya, setiap pemahaman atau konsep tentang negara bergantung pada pemahaman atau konsep yang tepat tentang tujuan-tujuan Negara. Persoalannya apa tujuan-tujuan lembaga yang disebut Negara? Jellinek membagi dua tujuan Negara, yaitu yang objektif dan subjektif. Objektif dibagi dalam objektif universal/umum dan objektif partikuler/khusus.
Tentang tujuan Negara yang objektif universal, jauh hari sudah dibicarakan sejak Plato. Aliran ini mendeskripsikan tujuan Negara adalah dirinya sendiri, Negara sendiri merupakan tujuan, karena Negara sebagai organisme. Tujuan Negara yang objektif partikuler, dipilih dan ditetapkan oleh Negara masing-masing berdasarkan perkembangan sejarahnya sendiri. Adapun tujuan Negara yang subyektif bahwa tujuan-tujuan Negara beraneka ragam berdasarkan pandangan masing-masing negara hingga kepada aspek-aspek dan sifat-sifat tujuan itu sendiri secara khusus individual.
Bagaimana tujuan Negara Indonesia sendiri? Tujuan Negara RI dapat disimak pada Pembukaan UUD 1945:
a. Alenia kedua, …Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
b. Untuk mencapai tujuannya itu, maka dibentuklah suatu Pemerintahan Negara yang mempunyai fungsi seperti nampak pada tujuan (menurut Jellinek adalah alat yang saling bertukaran dengan tujuan), yaitu:
• Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
• Memajukan kesejahteraan umum;
• Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
• Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tujuan Negara RI mempunyai tujuan bersifat objektif particular, namun dalam menyimak fungsi pemerintahan Negara RI, mempunyai tujuan universal. seperti ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peran dan fungsi ideologi Pancasila terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia hendaknya dilihat Pancasila sebagai dasar/ideologi negara yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan jabarannya dalam pasal-pasal (termasuk yang telah diamandemen). Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi (UUD 1945) merupakan kebijakan umum nasional yang telah ditetapkan wakil-wakil rakyat di dalam sidangnya, dan kebijakan yang bersifat umum tersebut diperinci dalam bentuk perundang-undangan yang dibuat pemerintah bersama-sama dengan DPR. Penentuan kebijakan umum Negara tersebut, berikutnya fase implementasi kebijakan tersebut.
Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan ideologi nasional Negara Republik Indonesia, niscaya dapat terinternalisasi di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, melalui sosialisasi nilai-nilai Pancasila tersebut yang tidak bersifat indoktrinasi, sehingga dapat membudaya di kalangan masyarakat. Bila itu dirumuskan dalam konseptualisasi kebijakan bernegara dan berbangsa, maka nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional dapat berkembang dan bertahan terhadap gempuran ideologi-ideologi lain. Ini berarti, penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia, dapat merumuskan dan mengambil langkah-langkah yang tepat dalam setiap kebijakan-kebijakannya. Namun dapat pula terjadi sebaliknya, bila memang nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi nasional, hanya dijadikan sebagai alat politik kekuasaan pemegang kekuasaan, tentu saja ideologi Pancasila semakin terpinggirkan di bumi nusantara ini, dan terdesak, bahkan luntur oleh ideologi lain.

DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2002, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan, Jakarta.
Kuntowijoyo, 1994, Demokrasi & Budaya Birokrasi, Bentang Budaya, Yogyakarta
Rodee, Carlton Clymer, 1993, Pengantar Ilmu Politik, Rajawali Pers, Jakarta
Sukarna, 1981, Ideologi Suatu Studi Ilmu Politik, Alumni, Bandung.
Sumarsono, S. Drs. Dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Suseno, Franz Magnis, 1994, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suriasumantri, Jujun S., 2001, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
UUD 1945 Amandemen Keempat.
Zubair, Achmad Charis, 1987, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun