Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tuah Kangkung

21 Februari 2012   02:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24 232 0
Cah kangkung, adalah salah satu menu yang paling saya favoritkan. Menu berbahan kangkung, yang ditumis, dan dicampur tauco, begitu membuat lidah saya jatuh cinta. Rasa dari kangkung yang 'dicacah' seperti punya tuah yang membuat lidah tak selalu ketagihan.

Maka, jika makan di rumah makan atau warung sea food kelas tenda, cah kangkung tidak akan pernah terlewat untuk dipesan. Makan sea food tanpa cah kangkung, nikmat makan rasanya tidak sempurna.

Saya punya cerita tentang tuah kangkung. Ceritanya, ketika itu liputan ke Bandung. Yang mengajak liputan adalah Kementerian Dalam Negeri. Beberapa wartawan diajak ikut, termasuk saya.

Usai liputan dan menulis berita, saya dan beberapa wartawan lain berniat makan malam. Udara malam di kota kembang, cukup membuat perut cepat keroncongan. Apalagi, saya dan lainnya menginap di sebuah hotel di Dago Atas, sebuah kawasan yang lumayan berudara dingin. Terlebih jika malam tiba.

Naik angkot, saya dan empat kawan wartawan lainnya, meluncur ke bawah, tujuan ke Simpang Dago. Rencananya mau makan sea food di warung tenda. Akhirnya, warung sea food pun ketemu. Letaknya dekat gedung milik perusahaan kereta Api.

Tiba di warung, langsung mencari tempat. Warung tendanya sederhana, hanya beratap terpal dengan tiang-tiang dari besi yang sudah dibentuk sedemikian rupa, sehingga bisa di bongkar pasang.

Dinding warung hanya bentangan kain, sekaligus penanda nama warung. Tertulis di kain warna putih, tulisan mencolok warna hijau merah, Sedia Sea Food dan Nasi Uduk, dilengkapi dengan gambar kepiting, udang dan ikan. Gambar-gambar itu menandakan bahwa tenda itu khusus menyediakan menu sea food.

Sayang, saat menu tiba, dan pesanan sudah ditulis, salah seorang pelayan warung, seorang lelaki masih cukup muda, memberi tahu, bahwa cah kangkung habis. Maksudnya yang habis kangkungnya.

Ternyata, ada seorang kawan yang ikut, adalah pencinta cah kangkung sejati. Sampai-sampai, ia menegaskan, tak jadi makan bila cah kangkung tak ada di meja. Yang lain tersenyum kecut saja mendengarnya. Tetap memesan makanan, tak peduli ada tidak menu bernama cah kangkung.

Sedangkan kawan pencinta cah kangkung sejati, tetap dengan sikapnya, tidak makan, kecuali cah kangkung datang terhidang. Pelayan warung tenda sepertinya merasa tak enak. Ia pun berkata, akan mencari kangkung ke bawah. Maksudnya ke ujung Simpang Dago, disana ada sebuah pasar.

Baru saja dia keluar, tiba-tiba terdengar sebuah motor. Saya yang duduk di dekat ujung bentangan kain pembatas warung, melihat sebuah motor melaju penuh muatan kangkung, dan si pelayanan yang sudah menginjak kaki di jalan, langsung setengah melompat menghentikannya.

Cericit rem terdengar. Si pengendara pembawa kangkung terlihat kaget. " Aya naon euy," tanya di pembawa kangkung dengan bahasa sunda. Pertanyaan itu bila dialih bahasakan dalam bahasa Indonesia, "Ada apa sih,"

Si pelayan pun tanpa ba bi bu langsung memesan kangkung. Tanpa banyak cingcong, transaksi kangkung pun berlangsung. Alhasil kawan saya, bisa makan dengan lahapnya, karena di mejanya tersedia cah kangkung kegemarannya.

Soal kangkung, tak hanya tuahnya yang nikmat kala diracik menjadi menu masakan. Tapi kangkung adalah juga tuah rejeki. Coba, hitung berapa warung sea food di ibukota. Juga di kota kembang dan kota lainnya. Mungkin puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu warung tenda sea food yang menyediakan menu cah kangkung.
Artinya itu berapa banyak petani kangkung yang bisa dihidupi. Dan kangkung produk petani negeri sendiri. Rasanya, si pemilik warung tenda tak mungkin berani-beraninya impor kangkung. Selain tak pernah saya dengar berita negeri ini kebanjiran impor kangkung, seperti impor garam yang ramai diberitakan.

Jadi kangkung itu rejeki rakyat. Rejeki kaum jelata. Dan juga makanan yang banyak diminati orang biasa.

Saya pun coba berselancar, mencari tahu berapa sebenarnya produksi kangkung di tanah air. Setelah klak klik kesana kemari lewat google, didapatlah sebuah alamat blog : http://blog.ub.ac.id/mickoputro/2011/05/02/budidaya-kangkung. Dalam blog itu dituliskan, menurut data statistik tahun 1983, produksi kangkung di Indonesia sebesar 59.110 ton, sedangkan sayuran lain seperti bayam yaitu 50.382 ton dan petsai atau sawi 134.804 ton. Harga kangkung di pasar saat ini sekitar Rp.400,- per ikat (tahun 1999).

Itu data lama, sebab data baru tak kunjung saya bisa temukan. Namun, setidaknya data itu menunjukan potensi kangkung tuahnya luar biasa. Tak hanya memuaskan selera lidah seperti teman saya, tapi juga penggerak roda ekonomi kaum informal, seperti warung-warung sea food. Juga tumpuan nafkah para petani kangkung.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun