Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Hikayat Sang Penulis Legendaris

29 Desember 2020   09:37 Diperbarui: 29 Desember 2020   17:52 185 21
Malam hari ini, Dul Kaher begitu sulit untuk memejamkan matanya. Sungguh aneh, padahal waktu telah menunjuk ke dentang pukul 02.15 WIB. Hingga menjelang saat-saat sahur, belum hadir sedikit pun rasa kantuk yang biasa menggelanyuti kedua kelopak matanya itu.

Setiap kali menutup mata, perasaannya selalu saja gundah. Tiba-tiba ia terbayang akan kehadiran beberapa penulis kawakan yang telah ia tumbangkan karyanya dengan senapan tulisan.

Entah kenapa, akhir-akhir ini bayangan mereka serasa hadir di setiap malamnya dengan menodong sebuah pertanyaan ke arah dadanya, bagaimana seandainya ia sendiri yang berada di posisi mereka yang menanggung rasa derita bercampur malu akibat bantahan hasil pikirnya itu?

Sungguh miris hati Dul Kaher jika membayangkan akan hal itu. Seakan tak kuasa jika keadaan yang demikian pelik ini benar-benar akan terjadi pada dirinya. Apalagi ia tahu bahwa sudah terlalu banyak penulis yang gentar dengan sepak terjangnya, sehingga merasa enggan untuk mengukir karya lagi.

Terbersit keinginan dalam sanubarinya untuk menyudahi semua kenaifan itu. Tapi, setiap hendak memulai hal ini ia berulangkali bimbang. Lantaran menulis adalah pencaharian utamanya yang membuat asap dalam cangkir kopinya terus mengepul. Akankah ia membuang segala potensinya bersama jati diri yang telah ia asah bangun selama hidupnya itu?

Pertanyaan itu terus saja menggelanyuti angan-angannya. Ia membayangkan, jika sampai melakukan hal itu, tentu ia takkan melakukannya dengan serta merta.

Tiba-tiba saja terbersit dalam imajinasinya untuk menjalani dua peran sekaligus, yakni menjalani kariernya sendiri sebagai seorang penulis kondang dan di sisi lain ia ingin memerankan diri sebagai penulis samaran.

Hal itu ia putuskan setelah menimbang segala kemampuan diri yang terlalu berat untuk ia tanggalkan begitu saja. Apalagi kebesaran namanya sendiri yang telah begitu harum dan melegenda di jagat literasi.

Mendengar namanya saja, hati siapa jua pasti akan langsung bergetar. Seakan namanya adalah garansi keindahan atas sebuah karya.

Prestasi tulisnya tak hanya mendulang apresiasi di kancah negeri sendiri dengan raihan penjualan terbaik maupun memenangi sayembara tulisan, akan tetapi ia juga telah mampu menyedot kekaguman dari para penikmat sastra seantero dunia, sehingga tak mengherankan jika karyanya kemudian diterjemah ke pelbagai bahasa.

Akan tetapi, tekad Dul Kaher sudah bulat. Sang penulis legendaris itu memantabkan diri untuk menjalani kedua perannya, yakni peran sendiri sebagai penulis ulung yang penuh ingar bingar pujian sekaligus peran untuk menelusuri jalan sunyi sebagai penulis debutan.

Sesuai dugaannya, nama besarnya sebagai penulis senior tetaplah berkilau dengan mendulang berjuta apresiasi, meski karya yang ia susun seringkali ia anggap hanya sebuah mainan yang asal-asalan. Sementara itu, perannya yang lain sebagai penulis debutan masih saja redup dengan sedikit perhatian pembaca yang mungkin hanya sempat mencicipi judul karyanya saja.

"Ah, ternyata benar. Mereka hanya silau oleh kebesaran namaku saja." gumam Dul Kaher sambil membandingkan karya-karyanya, baik itu sebagai penulis maestro maupun karya yang tak kalah apik dari perannya yang lain sebagai penulis debutan.

Namun, fakta itu rupanya tak menyurutkan sedikitpun niatnya untuk menjalani kedua perannya. Sebab ia menyadari bahwa hati manusia kapan saja bisa berubah. Termasuk juga mengenai cara pandang mereka dalam menilai sebuah karya. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun