Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Sejenak Menjadi “Tamu” Di Beranda Alam – Review Identifikasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi

13 Oktober 2010   22:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27 268 0
[caption id="attachment_288941" align="alignnone" width="300" caption="Berjalan berdampingan dengan alam (Sumber: Pribadi)"][/caption]  

 

Musibah bencana alam yang kerap melanda negeri ini, mungkin selain menyisakan tangis pilu dan penderitaan moril juga materi, sedikit banyak memberikan kita sebuah pembelajaran buat kita semua bahwa ada batas yang harus dihormati antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Kadangkala kita lupa akan batas itu, dan tanpa sadar kita sudah (terlalu jauh) melewati batas yang memang tak terlihat itu. Sebut saja bencana alam tanah longsor yang di Papua awal bulan Oktober ini dan musibah tanah longsor lainnya di beberapa wilayah di Indonesia beberapa waktu yang lalu.

 

Teori Ruang Hidup

Mendengar teori ruang hidup, mungkin ingatan kita akan menjurus ke salah satu dasar pemikiran ekspansi Jerman pada awal masa pemerintahan NAZI. Pada teori tersebut dijelaskan manusia membutuhkan ruang hidup untuk untuk beraktivitas, kebutuhan ruang hidup tersebut akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan peradaban dan kebutuhan sumber daya yang tinggi dan akhirnya mendesak wilayah bangsa lainnya, tapi dalam tulisan kali ini saya coba sedikit mengambil sudut pandang interaksi manusia dengan alam dan lingkungan tanpa ada unsur politis dalam konsep geopolitik tersebut. Memang benar adanya didalam kehidupan peradaban manusia, kita memerlukan ruang hidup untuk menunjang aktifitas kita, namun yang juga perlu disadari adalah bahwa alam juga mempunyai dan memerlukan ruang hidupnya sendiri untuk mempertahankan kelangsungan dan daya dukung atas kehidupan alam sendiri, dan alam punya cara tersendiri dalam menyuarakan protesnya ketika ruang hidupnya sudah terganggu yang ironisnya protes sang alam acapkali dalam bentuk musibah dan bencana alam seperti yang sudah sering kita rasakan.

    

Manusia, Alam dan Kepentingan

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, kebutuhan ruang manusia akan semakin meingkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia tersebut, dalam hal ini dapat saya katakan adanya “kepentingan” yang bermain di balik setiap pergerakan ekspansi ruang yang dilakukan manusia, baik itu kepentingan politik, kekuasaan, ekonomi, maupun kebudayaan. Sedangkan alam? Apakah alam juga mempunyai kepentingan yang sama? Dalam hal ini, walaupun dalam keterbatasan pengetahuan saya memahami kepentingan alam, setidaknya dapat saya katakan kepentingan alam adalah “untuk terus bertahan hidup” ya… seperti juga halnya manusia yang ingin terus mempertahankan peradabannya. Pengalaman pernah bekerja di lokasi perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan Selatan selama 3 tahun, setidaknya dapat membuat saya sedikit berfikir lebih dalam, bukan hanya dari segi pengembangan mental dan professional belaka, namun juga coba memahami “batas-batas” antara 2 pihak yang salaing berkepentingan, yakni Alam dan Manusia. Ada sedikit pelajaran berharga yang saya dapatkan di tahun-tahun terakhir saya bekerja, yakni ketika perusahaan tempat saya bekerja sedang dalam proses sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yaitu organisasi yang beranggotakan para pengelola perkebunan kelapa sawit dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dala industri kelapa sawit. Serifikasi RSPO dalam industri perkebunan dan pengolahan kelapa sawit sangat mempunyai peranan penting, dimana merupakan standar untuk memasuki pasar komoditas Minyak Kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil), sebagai contoh, pasar di negara-negara Eropa yang mengharuskan semua pelaku industri Kelapa sawit harus memenuhi sertifikasi RSPO terlebih dahulu. Dalam proses sertifikasi RSPO tersebut, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah aspek lingkungan atas lingkungan yang benilai konservasi tinggi, biasa disebut sebagai NKT (Nilai Konservasi Tinggi) atau HCV (High Conservation Value), yang saat itu dilakukan penilaian oleh tim dari Yayasan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (YASBI).

 

Kriteria NKT

Dalam proses serifikasi RSPO ada beberapa kriteria pendukung dalam pemanfaatan area atau kawasan NKT, adapun pengertian NKT secara umum adalah adalah sesuatu yang bernilai konservasi tinggi pada tingkat lokal, regional atau global yang meliputi nilai-nilai ekologi,  jasa lingkungan,  sosial dan budaya. Nilai-nilai tersebut dan tata-cara identifikasinya ditentukan dalam Panduan NKT Indonesia. Sedangkan  Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi  (KBKT) adalah suatu areal yang memiliki satu atau lebih NKT. Penilaian dan identifikasi kawasan NKT mengacu pada “Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia, 2008” dan ditetapkan ada 6 kriteria kawasan NKT yang memuat 13 sub-nilai yang secara garis besar dikelomokkan mebjadi 3 kelompok kategori, yaitu:

1.       Keanekaragaman Hayati : Terdiri dari NKT-1, 2 dan 3

2.       Jasa Lingkungan : Terdiri dari NKT-4

3.       Sosial dan Budaya : Terdiri dari NKT-5 dan 6

 

1.      NKT-1. Yaitu kawasan yang mengandung konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional maupun nasional (seperti: endemis, spesies yang terancam punah, refugia)

 

Dengan sub-nilai sebagai berikut:

1.      NKT-1.1 yaitu Kawasan yang Mempunyai atau Memberikan Fungsi Pendukung Keanekaragaman Hayati Bagi Kawasan Lindung dan/atau Konservasi

2.      NKT-1.2 yaitu Species Hampir Punah

3.      NKT-1.3 yaitu Kawasan yang Merupakan Habitat bagi Populasi Spesies yang Terancam, Penyebaran Terbatas atau Dilindungi yang Mampu Bertahan Hidup (Viable Population)

4.      NKT-1.4 yaitu Kawasan yang Merupakan Habitat bagi Spesies atau Sekumpulan Spesies yang Digunakan Secara Temporer

 

 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun