Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Gus Dur, Ziarah Kubur, dan Syirik Itu

5 Agustus 2012   07:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:14 538 0
KEMARIN ada artikel di kompas cetak yang menulis tentang "berkah" makam Gus Dur di Tebuireng Jombang. Kurang lebihnya, artikel itu menulis tentang efek ekonomi sejak Gus Dur dimakamkan di Tebuireng hampir 3 tahun lalu. Sejak itu, hampir setiap hari ribuan pengunjung menyemut untuk "berziarah" ke makam Gus Dur. Mereka datang dari berbagai kelompok masyarakat. Akibat berikutnya, banyak masyarakat yang membuka usaha (perdagangan) di kawasan Tebuireng. Kawasan Tebuireng yang di jaman kolonial belanda menjadi kota "metropolitan", makin ramai saja oleh kehadiran "pengusaha-pengusaha" baru ini. Tetapi bukan itu yang ingin saya cermati dari tulisan itu. Justru komentar "miring"-lah yang menjadi penarik dan pemantik saya menulis postingan ini. "Syirik", itu komentar singkat dari salah satu komentator pada artikel itu. Entah apa maksudnya dan tak tahu pula ditujukan pada siapa. "Syirik", kata-kata ini juga sering saya dengarkan dari orang-orang untuk mengomentari perilaku orang-orang yang suka pergi ke kuburan atau tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya. Apa memang demikian? Apa orang yang suka pergi ke kuburan atau tempat keramat lain itu selalu berperilaku syirik (menyekutukan Tuhan)? Terlalu sederhana sepertinya kalau memberikan nilai seperti itu. Padahal, syirik itu ada pada sikap hati, bukan pada makam atau pada tempat-tempat keramat. Tetapi mengapa kita dengan mudah menyematkan kata-kata itu pada saudara-saudara   kita yang lain? Akan lebih bijak jika kita mencari penyebab mengapa suadara-saudara kita berduyun-duyun suka pergi ke makam atau tempat keramat? Tentu setiap orang punya "preferensi" sendiri mengapa harus punya hobi pergi ke kuburan. Bisa jadi karena memang benar-benar ingin berziarah, berdoa dan intropeksi mengingat mati. Atau juga bisa karena berbagai kepusingan hidup yang "menelantarkannya", terlantar secara budaya, teologi, dan ekonomi, sehingga harus terpaksa "berziarah" ke kuburan dan "meminta" ketentraman, karena tak mampu "meminta" ketentraman pada yang seharusnya bisa memberi ketentraman. Dan seumpama perilaku seperti ini dikatakan "syirik", apakah tidak "lebih syirik" bagi para penguasa yang seharusnya bisa menciptakan ”ruang” bagi yang dikuasainya. Bukan justru mempersempit atau bahkan menghapus ”ruang” yang dikuasainya sehingga yang dikuasainya itu mencari ”ruang-ruang lain”, termasuk ”ruang” yang tercipta oleh keberadaan makam, seperti makam Gus Dur ini. Wallahualambishowab! Artiket terkait:

Syi’ir Gus Dur yang Makin Menyihir

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun