Siapa yang tidak kenal Pasar Oyehe? Pasar terbesar di Nabire ini selalu ramai. Dari pagi buta, pedagang sudah sibuk menata dagangan, pembeli berdesakan mencari kebutuhan sehari-hari. Tapi di balik keramaian itu, ada satu hal yang bikin banyak orang mengeluh: tumpukan sampah.
Plastik, sisa makanan, dan limbah lain menggunung, baunya menyengat, apalagi di siang hari. Pedagang tetap harus berjualan, pembeli pun tetap datang, tapi rasa tidak nyaman itu nyata. Pasar yang seharusnya jadi etalase ekonomi Nabire malah terlihat kumuh.
Padahal, sejak 2019 sudah ada Perda yang melarang buang sampah sembarangan. DLH pun mengaku rutin mengangkut sampah tiap hari. Bahkan, himbauan sudah diputar lewat RRI. Tapi tetap saja, masalah tidak selesai. Kontainer sampah pun sering dibakar entah siapa yang tega melakukannya. Akhirnya, pasar kembali kotor, dan lingkaran masalah berputar terus.
Dari Masalah Jadi Peluang
Di titik ini, kita bisa melihat masalah dari sisi lain dan memandang jahu kedepan. Bukankah sering kita dengar pepatah: "Sampahmu bisa jadi emasmu"? Artinya, limbah yang hari ini dianggap beban, bisa jadi peluang usaha besok.
Contoh nyata datang dari Kota Malang. Setiap hari, kota ini menghasilkan sekitar 607 ton sampah. Dari jumlah itu, sekitar 30% berhasil dikelola langsung oleh masyarakat lewat bank sampah, kompos, dan usaha daur ulang. Hasilnya luar biasa: ada 2,5 ton sampah per hari yang masuk bank sampah, 58 ton sampah organik diolah jadi kompos, dan sekitar 110 ton sampah anorganik dijual kembali. Tidak hanya mengurangi timbunan sampah, tapi juga menambah pendapatan warga. Bahkan, riset mencatat pendapatan keluarga yang aktif di bank sampah meningkat signifikan.
Kita juga bisa menengok Surabaya. Kota ini punya program Suroboyo Bus, di mana penumpang bisa membayar tiket dengan botol plastik. Dari program ini, ribuan botol terkumpul setiap hari, plastik berkurang, dan daur ulang jalan. Sementara di Makassar, sampah organik pasar diolah jadi kompos untuk petani dan taman kota. Jadi, sampah yang dulu jadi masalah, kini kembali ke masyarakat sebagai manfaat ekonomi.
Tidak Sekadar Usaha, Tapi Juga PAD
Kalau Malang bisa mengubah ratusan ton sampah menjadi pemasukan, mengapa Nabire tidak bisa mulai dari Pasar Oyehe? Bayangkan jika dari total sampah pasar misalnya 10 ton per hari setidaknya 30% atau 3 ton bisa didaur ulang.
Jika 1 kg plastik dihargai rata-rata Rp3.500, maka dari 1 ton plastik saja bisa menghasilkan Rp3,5 juta per hari.
Dalam sebulan, potensi itu bisa mencapai Rp105 juta hanya dari plastik. Belum lagi dari kardus, kaleng, atau sampah organik yang bisa diolah jadi pupuk kompos.
Kalau dikelola lewat koperasi pedagang atau BUMD lingkungan, sebagian hasil ini bisa masuk ke PAD Nabire melalui retribusi dan pajak usaha kecil. Artinya, sampah yang hari ini bikin pusing bisa berubah jadi sumber uang untuk rakyat sekaligus kas daerah.
Apa yang Bisa Dilakukan Pemda?
Tentu, ide ini tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah daerah perlu mengambil langkah nyata:
- Menegakkan perda dengan sanksi tegas.
- Membangun bank sampah resmi di Pasar Oyehe.
- Mengadakan pelatihan daur ulang dan kreativitas bagi masyarakat.
- Memastikan kontainer sampah terlindungi dan aman dari sabotase.
- Mengintegrasikan hasil daur ulang ke sistem PAD.
Pasar Oyehe adalah wajah Nabire. Kalau wajah itu kusam karena sampah, citra Nabire pun ikut turun. Tapi kalau kita bisa mengubah masalah sampah menjadi peluang ekonomi, Nabire akan dikenal bukan hanya karena pasarnya yang ramai, tetapi juga karena inovasi warganya.
Belajar dari Malang, Surabaya, dan Makassar, kita bisa lihat jelas bahwa sampah bukan sekadar beban. Di Nabire, sampah bisa jadi aset pembangunan. Tinggal, maukah kita melihatnya begitu?