Tentara anak (child soldiers) merupakan salah satu contoh fenomena dampak konflik bersenjata. Fenomena ini hampir dijumpai di seluruh Negara di dunia. Berdasarkan penelitian lebih dari 30 negara, sekitar 300.000 anak- anak yang berumur di bawah 17 tahun baik laki-laki maupun perempuan terlibat sebagai tenaga militer dalam tentara pemerintah yang legal maupun kelompok bersenjata illegal.
Negara yang menggunakan tenaga militer anak- anak secara legal dalam pemerintah, misalnya Burma, Burundi, Ethiopia, Eritrea, Kolombia, maupun Indonesia (sebelum meratifikasi Konvensi Hak Anak). Salah satu kelompok bersenjata di suatu negara yang meggunakan tentara anak, misalnya Liiberations Tigers of Tamil Eelam (LTTE) di Sri Lanka. Kelompok militer pemberontak ini memiliki sejarah panjang dalam penggunaan tentara anak. Tetapi perekrutan besar- besaran terjadi pada bulan Oktober 1987, setelah terjadi pertempuran antaraLTTE melawan pemerintah Sri Lanka yang bekerjasama denganIndian Peace Keeping Force.
Konflik bersenjata antara LTTE dan pemerintah pusat Sri Lanka berakar dari masalah diskriminasi etnisitas dan kesenjangan distribusi ekonomi. Etnis Tamil -dibanding Sinhala- adalah etnis minoritas dan mengalami perlakuan diskriminatif secara sistematis dalam bidang ekonomi-politik oleh pemerintah pusat. Sehingga muncullah kelompok-kelompok gerilya yang memperjuangkan pembentukan negara Tamil Eelam -terpisah dengan pemerintahan negara Sri Lanka yang dikuasai oleh etnis Sinhala.
Kesuksesan LTTE merekrut anak-anak menjadikan factor pendorong bagi kelompok- kelompok pemberontak lainnya dalam penggunaan tentara anak. Kelompok- kelompok tersebut antara lain, yaiti Eelam Peoples’s Revolutionary, Liberation Front (EPRLF), People Liberation Organization of Tamil Eelam( PLOTE), dan tamil Eelam Liberation Organization. Namun jumlah yang paling banyak yaitu kubu LTTE, yaitu sekitar 75 persen bala bantuan militernya adalah anak-anak. Hal ini yang membuatLTTE banyak menjadi perhatian dunia.
Tentara anak memegang peranan penting dalam keberhasilan perlawanan LTTE. Fungsi tentara anak tidak sekedar menjadi kurir, dan mata-mata saja, tetapi juga perlawanan di garis depan. Apabila jumlah anak-anak yang dilibatkan dalam konflikini terus meningkat intensitanya, maka akan menambah daftar jumlah korban kekerasan konflik dalam kematian anak di dunia.
Keberadaan tentara anak dalam kelompok LTTE merupakan fenomena unik, karena terjadi dalam konflik di antara orang dewasa, dalam hal ini pemerintah Sri Lanka dan LTTE. Selama ini, keberadaan tentara anak cukup membantu eksistensi LTTE. Meskipun keefektifan penggunaan tentara anak ini perlu dipertanyakan, mengingat anak- anak memiliki kemampuan yang terbatas, hal ini tidak menjadi permasalahan yang begitu penting bagi LTTE, dilihat dari jumlah tentara anak sejak tahun 1987 semakin meningkat.
Mengapa muncul dan berkembang tentara anak di Sri Lanka?
Menurut Asian Human Roghts Coresspondence (AHRC), beberapa factor penyebab meningkatnya penggunaan tentara anak, yaitu :
1.Tentara yang berusia muda lebih mematuhi perintah dan takut pada atasan sehingga memudahkan control dan mobilisasi oleh kelompok bersenjata.
2.Penyebaran senjata ringan otomatis yang meningkatkan partisipasi anak-anak dalam pertempuran.
3.Meskipun sejumlah anak dipaksa menjadi tentara, sejumlah anak sejumlah anak secara sukarela bergabung dalam tentara regular maupun kelompok bersenjata, terutama anak- anak yang berasal dari keluarga miskin.
4.Represi yang kuat memaksa anak- anak dalm wilayah konflik untuk bergabung dalam kelompok bersenjata yang dapat menyebabkan dan meningkatkan intensitas tentara anak, yang terdiri dari beberapa variable antara lain: kemiskinan, kesenjangan ekonomi, mal-development, toleransi yang rendah dan diskriminasi, self-determination penurunan kualitas lingkungan,budaya kekerasan, konflik etnis, fundamentalisme agama, dictator otoriter, militerisasi masyarakat, dan sebagainya.
Dari literature di atas, dapat dilihat beberapa factor penyebab muncul dan berkembangnya tentara anak di Sri Lanka. Selanjutnya mengacu pada beberapa teori atau konsep yang berguna dalam menganalisa permasalahan tersebut.
ØKemudahan mobilisasi anak
Mobilisasi merupakan suatu proses diserahkan, dikumpulkan dan diikatkannya sumber daya individual pada suatu kelompok, digunakan untuk mencapai tujukan kepentingan dan memperjuangkan kepentingan bersama.
Dalam masyarakat berbasis etnis cenderung lebih mudah dimobilisasikan terutama demi keamanan nasional etnis tersebut. Hal yang memudahkan mobilisasi anggota kelompok etnis, termasuk-anak-anak, yaitu adanya diskriminasi dan identitas kelompok etnis.
Salah satu penyebab konflik yang terjadi di Sri Lanka yaitu karena diskriminasi etnis Tamil oleh etnis Sinhala dalam hal pendidikan, ekonomi, dan jabatan pemerintahan. Ikatan identitas kelompok etnis menyebabkan etnis Tamil dapat dimobilisasikan dalam kelompok militer seperti LTTE.
Beberapa ancaman kendala yang dihadapi oleh kelompok militer dalam memobilisasi massa, yaitu : jumlah laki-laki dewasa terbatas, memiliki nilai-nilai cultural yang cenderung melihat pada karir militer dengan daya tarik rendah, bagian dari sub-group yang sangat loyal terhadap rezim sebelumnya.
Oleh karena itu, hal yang menjadi pertimbangan dalam mendapatkan kekuatan militer suatu kelompok bukan disebabkan kekuatan militer itu besar atau kecil, tetapi apakah dapat memobilisasikan kekuatan militer itu agar mencukupi, demi fungsinya mempertahankan wilayah.
Meskipun tenaga dewasa sedikit, namun kekuatan militer dapat dicapai dari tenaga anak-anak. Kelompok anak-anak memiliki derajat kepatuhan yang tinggi, loyal, tidak terlalu menuntut, dan belum dapat berpikir logis dengan baik, karena anak-anak masih dalam tahap perkembangan kognitif sehingga lebih mudah dimobilisasikan dibandingkan orang dewasa.
ØRepresi kelompok bersenjata dalam militerisasi masyarakat.
Menurut Meriam Webster’s Collegiate Dictionary (1993), represi merupakan a process by which an unacceptable desire or impulses are excluded from consciousness and left to operate in unconscious.
Dalam militerisasi, masyarakat yang dimotori oleh suatu kelompok bersenjata, apabila masyarakat tidak mau bergabung dengan kelompok bersenjata tersebut secara sukarela, maka kelompok bersenjata biasanya melalukan represi. Represi tersebut dilakukan oleh kelompok bersenjata pemberontak untuk menghimpun kekuatan masyarakat.
Perekrutan anak pun dilakukan secara represif dengan cara mengadakan wajib militer dan berpartisipasi dalam pertempuran. Kasus ini terjadi di bulan Oktober 1999, di mana tentara anak LTTE berjumlah 49 orang terbunuh oleh tentara pemerintah Srilanka dalam pertempuran di Oddusudan, sebelah utara Kolombo. Tentara anak tersebut berusia sekitar 11 sampai 15 tahun. Anak-anak tersebut tertarik dengan gambaran heroism LTTE, ataupun balas dendam terhadap represi yang dilakukan oleh pemerintah Srilanka.
ØPenyebaran senjata ringan
Senjata ringan dapat diperoleh dengan harga murah di beberapa negara. Contoh dari senjata ringan yaitu “machetes, axes, swords, military-style guns( seperti AK-47s),grenade launchers, mortars, mobile anti-tank guns, rocket launchers, and shoulder-fired anti-aircraft missile launchers. Jenis senjata ringan yang mudah digunakan oleh manusia yang berusia 12-20 tahun, yaitu jenis AK-47s, M-16s, G3, dan G4s.
Sejak tahun 1947, senjata ringan ini tersebar di seluruh dunia. Bahkan sepertiga Negara di dunia ketiga dapat memproduksinya sendiri. India, Israel, Mesia , Pakistan dan Korea Utara merupakan contoh Negara yang dapat memenuhi kebutuhan senjata ringannya sendiri.Beberapa Negara lain yang memproduksi senjata ringan antara lain Rusia, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Brazil, Cina dan Afrika Selatan.
Perusahaan tersebut dapat dikaitkan dengan eksistensi military industrial complex (MIC), menurut Safire’s Political Dictionary adalah kombinasi kekuatan yang cukup besar, selanjutnya mengontrol ekonomi Negara produsen dan kebijakan luar negerinya. Dalam Negara-negara besar yang apat diartikan pula sebagai Negara produsen, berbagai kelompok domestic yang berpengaruh dan berkepentigan atas pengeluaran militer serta ketegangan internasional, menggunakan pengaruhnya untuk menciptakan pertentangan antar Negara atau konflik antar kelompok bergaris primodial dalam suatu Negara. Kelompok kepentingan ini terdiri dari pihak militer dan kaum industrialis, kemudian meluas ke golongan elit, seperti pengusaha, pejabat tinggi Negara, politisi, ilmuwan, dan organisasi buruh tertentu. Kepentingan mereka adalah menyediakan semua peralatan perang yang diperlukan pada setiap saat dan dapat digunakan di seluruh penjuru dunia, dengan teknologi mutakhir, demi kepentingan nasional yang tertinggi yaitu keamanan nasional.
Kondisi komflik yang terjadi di Sri Lanka menyebabkan diperlukannya senjata oleh tentara pemerintah maupun kelompok pemberontak LTTE. Senjata ringan memiliki harga yang relative murah dan mudah didapatkan maupun digunakan, sehingga senjata tersebut lebih banyak digunakan dalam konflik bersenjata di Sri Lanka. Anak- anak dengan pelatihan selama beberapa waktu saja dapat menggunakannya dengan baik, sehingga kemungkinan penggunaan senjata ringan sejalan dengan penggunaan tentara anak di Sri Lanka.
Ditinjau dari perspektif Hukum Intenasional
Fenomena tentara anak menyebabkan berbagai implikasi apabila ditinjau dari sisi kemanusiaan. Fenomena ini menunjukkna bahwa hak-hak anak itu telah dilanggar oleh LTTE. Hak tersebut dapat dikaitkan dengan hukum internasional karena merupakan hukum legal yang melindungi dan memperjuangkan hak-hak anak yang terviolasi. Ketika menjaadi tentara anak dalam konflik brsenjata, anak-anak Tamil kehilangan haknya. Hak- hak in terutama hak atas kelangsungan hidup (hak atas kehidupan yang layak dan pelayanan kesehatan), hak untuk berkembang (hak pendidikan dan waktu luang), serta hak perlindungan. Anak- anak Tamil saat itu hanya memikirkan bagaimana mereka dapat bertahan hidup alam kondisi konflik.
Problematika pelanggran HAM bagi tentara anak, apabila dikaitkan dengan Hukum Internasional, terkait dengan hak-hak yang tercantum dalam pasal- pasal Konvensi Hak Anak serta hokum internasional lain yang relevan, seperti Konvensi Pekerja Anak ILO 182, yang merupakan Hukum Pekerja Internasional tentang larangan merekrut wajib militer anak sebagai tenaga militer dalam konflik bersenjata karena merupakan bentuk terburuk dari pekerjaan anak, serta Statuta Roma yang merupakan hukum kejahatan Internasional. Statuta ini mengkategorikan perekrutan dan penggunaan anak-anak sebagai kejahatan perang (war crime).